Pejuang Lingkungan dan HAM Torobulu Jemput Dua Warga di Kejari Konawe Selatan

Bambang Sutrisno, telisik indonesia
Sabtu, 22 Juni 2024
0 dilihat
Pejuang Lingkungan dan HAM Torobulu Jemput Dua Warga di Kejari Konawe Selatan
Warga Torobulu mendatangi kantor Kejari Konsel. Foto: Ist.

" Dua warga Torobulu dijadikan tersangka karena diduga menghalang-halangi aktivitas pertambangan PT. WIN dan dikenakan pasal 162 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba "

KENDARI, TELISIK.ID - Pejuang Lingkungan dan HAM Torobulu, dengan jumlah massa 30 orang, datang untuk menjemput dua warga yang telah ditetapkan sebagai tersangka, di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara, Kamis (20/6/2024) siang.

Kedatangan Aliansi Pejuang Lingkungan dan HAM di Kejati Sultra, karena diduga kasus tersebut tidak sesuai dengan amanat konstitusi dan melanggar pasal 66 UU Nomor 32 tahun 2009 tentang PPLH yang menyatakan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun dituntut secara perdata.

Namun sesampainya massa aksi di kantor Kejati Sultra, ternyata kedua warga berada di Kejaksaan Negeri Konawe Selatan. Hal ini tidak sesuai dengan ungkapan penyidik Polda Sultra pada tanggal 12 Juni 2024 yang mengatakan bahwa perkara dua tersangka akan segera dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi.

Dengan rasa kecewa, Pejuang Lingkungan dan HAM merasa telah dikelabui oleh pihak penyidik dan memicu kekecewaan, mereka lalu menuju ke Kejaksaan Negeri Konawe Selatan.

Baca Juga: Jelang Tahun Ajaran Baru, Penjual Seragam Sekolah di Pasar Sentral Lacaria Sepi Pembeli

Kemudian pada pukul 12:00 Wita,  Pejuang Lingkungan dan HAM beranjak dari Kejati Sultra menuju Kejari Konawe Selatan. Pada pukul 14:00 Wita, mereka tiba di kantor Kejari Konawe Selatan. Pihak Kejari Konsel menutup rapat pintu gerbang, memicu kekecewaan massa, sehingga beberapa warga Torobulu memaksa masuk ke dalam kantor.

Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Konsel, Andi Gunawan, menemui massa dan menjelaskan secara singkat terkait kasus dua warga Torobulu, Haslilin dan Andi Firmansyah. Dikatakan, Kejari Konsel telah menerima pelimpahan perkara dari Polda Sultra yang sudah naik di tingkat P21, kemudian akan dipersidangkan di Pengadilan Negeri Andoolo.

Diketahui, kedua warga Torobulu tengah menjalani pemeriksaan di Kejari Konawe Selatan. Mereka dijadikan tersangka karena diduga menghalang-halangi aktivitas pertambangan PT. WIN dan dikenakan pasal 162 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba.

Andi Gunawan mengatakan, persidangan nanti terbuka untuk umum, dan tidak dilakukan penahanan terhadap dua warga Torobulu sampai pemanggilan oleh pihak pengadilan nanti.

"Barang bukti sudah terpenuhi untuk melakukan persidangan melalui P19," ujarnya.

Korlap Rasman mengungkapkan, sejak pertama bergabung dalam gerakan yang dibangun oleh masyarakat Torobulu, mereka sudah mosi tidak percaya kepada pihak kepolisian Polda Sultra.

Telah mencuat beberapa kejanggalan yang ditemukan, di antaranya adalah proses pemanggilan Haslilin dan Andi Firmansyah sebagai tersangka yang dibarengi dengan aksi protes dari sebagian masyarakat setempat, pihak penyidik Polda Sultra tidak memberikan klarifikasi yang jelas pada massa aksi yang mempertanyakan dasar pemanggilan dua warga tersebut.

Hingga tanggal 20 Juni 2024 pihak penyidik Polda Sultra yang semula memberikan pernyataan akan melimpahkan berkas tersangka pada pihak Kejati Sultra, pada kenyataannya bohong belaka. Penyidik Polda Sultra melimpahkan berkas pada Kejari Konsel dan tanpa memberikan konfirmasi kepada   Pejuang Lingkungan dan HAM Torobulu yang setia mengiringi perjalanan kasus yang menimpa dua tersangka tersebut.

Hal ini dianggap sebagai kongkalikong dari pihak kepolisian Polda Sultra untuk menghindari lautan massa yang terus memprotes kinerja pihak kepolisian.

Korlap Rasmin yang juga Ketua DPC GMNI Kendari mengatakan, kriminalisasi masyarakat adalah salah satu bentuk pembungkaman yang dilakukan oleh pihak PT. WIN beserta instrumen pemerintah yang terlibat dalam aktivitas pertambangan tersebut.

"Kami berharap kepada aparat penegak hukum agar melihat aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT. WIN karena sudah banyak mengancam ekosistem dan keberlangsungan masyarakat Torobulu," tuturnya.

Apalagi aktivitas pertambangan tersebut tidak memperhatikan aturan dan kaidah-kaidah pertambangan yang berlaku dalam hal ini analisis dampak lingkungan (AMDAL).

Korlap lainnya, Apriwan dari perwakilan Walhi Sultra menyatakan, penetapan tersangka dua masyarakat torobulu termasuk tindakan kriminalisasi yang diduga dilakukan oleh aparat penegak hukum.

Karena masyarakat yang memperjuangkan hak tanah dan tempat tinggalnya justru dijadikan tersangka, dengan tuduhan menghalang-halangi aktivitas pertambangan. Padahal mereka hanya mempertanyakan penambangan yang terjadi di pemukiman masyarakat, termasuk jalan, maupun lingkungan sekolah yang mana aktivitas penambangan sudah sangat merugikan masyarakat.

Akibat penambangan tersebut, masyarakat kehilangan sumber air bersih, polusi udara (debu), kehilangan area hutan lindung yang menyebabkan keadaan lingkungan menjadi tandus dan gersang, serta mengganggu perekonomian masyarakat, yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan dan petani. Mencemari pula air laut dan lahan pertanian dengan limbah perusahaan PT. WIN.

Mereka berharap pada aparat penegak hukum bisa netral dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai penegak hukum, dan seharusnya melindungi hak-hak masyarakat.

"Karena apa yang dituduhkan kepada orang tua kami tidak sesuai. Mereka hanya memperjuangkan lingkungan, tapi dianggap sebagai penjahat lingkungan dan ini tidak masuk akal," sambungnya.

Dikatakan, seharusnya mereka dibebaskan dari status tersangka dan segera memeriksa PT. WIN, karena diduga telah melakukan pelanggaran yang mengakibatkan rusaknya ekosistem lingkungan hidup dan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah penambangan.

Selain itu ia berharap pada pemerintah agar tidak menutup mata dengan keresahan dan tangisan masyarakat yang telah mengalami penindasan di tanahnya sendiri.

Pemerintah seharusnya menjadi garda terdepan untuk membela rakyatnya dan harus memperhatikan kebutuhan masyarakat dalam mengeluarkan kebijakan terkait masa depan lingkungan, masyarakat menginginkan lingkungan hidup yang aman dan nyaman, maka sudah seharusnya pemerintah mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. WIN agar kebutuhan akan lingkungan hidup yang sehat dapat terpenuhi guna keberlanjutan kehidupan masyarakat Torobulu.

Korlap lainnya, Tayci mengatakan, investor asing yang memasuki wilayah Desa Torobulu, Desa Wonuakongga dan Desa Labokeo, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan, bukan menjadi solusi untuk mensejahterakan warga Desa Torobulu, namun hanya akan menjadi bencana kemiskinan secara berkelanjutan dan menjadi bencana kaplingan di antara warga dan akan menyebabkan kematian perlahan-lahan warga setempat.

Baca Juga: Sosok Wanita Cantik Oknum ASN dalam Video Syur Belum Lama Pindah Tugas

Suara-suara ini menggema karena kerusakan lingkungan hidup masyarakat di sektor pertanian yang tidak bisa diandalkan lagi sebagai sumber pemenuhan kebutuhan rumah tangganya, air bersih yang menjadi kebutuhan pokok, dan wilayah laut yang menjadi sumber pendapatan utama warga Desa Torobulu, telah tercemari oleh lumpur merah.

Dampak sosial yang pertama kali terjadi ketika PT. WIN masuk dan menambang di area pemukiman warga menjadikan dua kelompok utama yang saling bertentang menjadi pro dan kontra. Yang dulunya hidup dengan harmonis secara kekerabatan, dan kerukunan, sekarang saling mengasingkan.

Kriminalisasi warga Desa Torobulu menjadi parameter kita menilai bahwa pihak perusahaan, pemerintah dan Polda Sultra tidak mengharapkan warga Torobulu untuk mendapatkan keadilan.

Terbukti kedua warga yaitu Haslilin dan Andi Firmansyah, dijadikan tersangka dengan delik pasal 162 UU 3 Tahun 2020 tentang Minerba, tanpa mempertimbangkan pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH. (A)

Penulis: Bambang Sutrisno

Editor: Haerani Hambali

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baca Juga