Pemda Muna Barat Ganti Rugi Tanaman Warga Sesuai Regulasi di Kompleks Perkantoran
Putri Wulandari, telisik indonesia
Senin, 23 Oktober 2023
0 dilihat
Pj Bupati Muna Barat, Bahri saat ditemui oleh awak media konfirmasi terkait ganti rugi lahan yang masih menjadi polemik di masyarakat. Foto: Putri Wulandari/Telisik
" Ini penjabaran pemerintah daerah terkait polemik yang beredar di masyarakat, tentang ganti rugi lahan di kompleks perkantoran Bumi Praja Laworoku, Kabupaten Muna Barat "
MUNA BARAT, TELISIK.ID - Ini penjabaran pemerintah daerah terkait polemik yang beredar di masyarakat, tentang ganti rugi lahan di kompleks perkantoran Bumi Praja Laworoku, Kabupaten Muna Barat
Diketahui, saat ini pembangunan perkantoran di kompleks bumi Praja Laworoku sedang berlangsung, terdiri dari pembangunan kantor bupati, kantor DPRD, rujab ketua dan wakil ketua DPRD, serta mall pelayanan publik. Sementara pembangunan di luar kompleks bumi Praja Laworoku yaitu masjid agung dan rujab bupati.
Penjabat (Pj) Bupati Muna Barat, Bahri mengatakan, pembangunan perkantoran di Bumi Praja Laworoku, dibangun di atas tanah seluas 250 hektare, ini sesuai dengan syarat pembentukan kabupaten Muna Barat sebagaimana ditetapkan pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2014, yakni disebutkan ibukota bertempat di Laworo dan diserahkan tanah seluas 250 hektare.
Tanah yang diserahkan oleh Pemda Muna untuk Kabupaten Muna Barat itu telah terjadi penurunan status HPL, kemudian secara eksisting saat ini tanah tersebut menjadi 163 hektare, dan sebelum terbentuknya Muna Barat telah ada pernyataan dari tokoh masyarakat yang menyerahkan ke Pemda Muna sebagai syarat terbentuknya Kabupaten Muna Barat.
Baca Juga: Muna Barat Jadi Percontohan Kampung Zakat di Sulawesi Tenggara
Bahri katakan, tanah itu sebagai aset daerah karena sebagai syarat terbentuknya Muna Barat, namun saat ini masyarakat telah mengelola di atas tanah tersebut, sehingga pemda merujuk pada Perpres Nomor 62 Tahun 2018 terkait pengenaan dampak sosial kemasyarakatan.
Yang mana secara teknis diatur dalam Peraturan Menteri ATR BPN Nomor 6 Tahun 2020 yang mengatur Perpres Nomor 62 Tahun 2018 yaitu ada beberapa tahapan, antara lain persiapan, pendataan, verifikasi, validasi, klarifikasi, penetapan penilai, pemberian santunan dan relokasi, penitipan uang santunan, dokumentasi dan adminitrasi.
Dalam tahapan persiapan, pemda mempersiapkan dokumen yang dikirimkan ke Gubernur Sulawesi Tenggara, sebab pengenaan dampak sosial adalah kewenangan gubernur, maka gubernur melimpahkan kewenangan tersebut kepada Pj bupati untuk membentuk tim terpadu untuk melakukan tahapan.
Kemudian di dalam persiapan, pemda juga mempersiapkan anggaran pada APBD dengan membutuhkan asumsi, standar terkait harga untuk mendapatkan pagu di APBD, yang mana saat itu asumsi diambil untuk ganti rugi tanaman senilai Rp 5.000 per meter untuk depan dan belakang Rp 10.000 per meter dengan asumsi anggaran total senilai Rp 8,1 miliar.
"Kan asumsi, dengan asumsi ini dianggarkan di APBD, selesai tahapan persiapan," ungkap Bahri, Senin (23/10/2023).
Selanjutnya, masuk dalam tahapan pelaksanaan yaitu ada proses penilaian appraisal, namun sebelum appraisal menghitung, ada tim verifikasi, validasi untuk mengukur patok-patok yang dibuat masyarakat sesuai tanah yang dikuasai.
Setelah diketahui isi di dalamnya berapa tim appraisal menilai dan menyampaikan laporan ke pemda, sehingga ditetapkan by name by address terkait besaran ganti rugi dan kemudian pemda memberikan santunan yang dilakukan secara dua tahap yakni 2022 dan 2023.
Dibayarkan secara dua tahap, pasalnya dari nilai tersebut ada penunjukkan langsung dan pengadaan lelang terkait penunjukkan appraisal sebab merujuk pada ketentuan pengadaan barang dan jasa, dan mengikuti Perpres Nomor 16 yang telah diubah menjadi Perpres 12, maka pemda meminta masyarakat berlakukan penunjukkan, dan pihak-pihak tersebut telah menerima uang.
Baca Juga: KPU Muna Terima 2.572 Bilik Suara, Muna Barat 1.016
Sementara itu, Kepala Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan, LM Amrin mengatakan, terkait ganti rugi lahan itu sebenarnya tidak diperbolehkan maka inisiatif pemda untuk mengganti tanaman masyarakat yang telah tumbuh di atas lahan tersebut, maka merujuk pada Undang-Undang Nomor 62 Tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam rangka penyediaan tanah pembangunan nasional.
"Tetapi jika diproses, pertanyaannya masyarakat izin kepada siapa untuk mengelola dan menggunakan lahan, sebab sampai saat ini status lahan itu HPL," ungkapnya.
Amrin katakan, terkait lahan dengan penurunan status HPL menjadi kewenangan pemerintah daerah, sehingga hak pemerintah untuk mengelola di lahan tersebut, salah satunya dengan membangun perkantoran. Kemudian untuk sertifikat tanah di lahan tersebut telah dikeluarkan yakni dengan sertifikat per kantor dan disahkan langsung oleh kementerian.
Selanjutnya, ia mengatakan seharusnya pembangunan perkantoran ini disupport oleh masyarakat bukan dijadikan polemik, jika dijadikan polemik sehingga mengakibatkan penundaan pembangunan, maka lakukan upaya hukum. (B)
Penulis: Putri Wulandari
Editor: Kardin
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS