Pengrajin Tenun Tradisional di Muna Pertahankan Warisan Budaya Lewat Karya Kreatif
Siti Nabila, telisik indonesia
Selasa, 19 November 2024
0 dilihat
Sarfiah, pengrajin tenun asal Desa Mabulo, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna. Foto: Nabila/Telisik
" Di tengah gempuran modernisasi, pengrajin tenun tradisional di Sulawesi Tenggara (Sultra) terus berupaya menjaga dan melestarikan warisan budaya yang sarat nilai "
KENDARI, TELISIK.ID – Di tengah gempuran modernisasi, pengrajin tenun tradisional di Sulawesi Tenggara (Sultra) terus berupaya menjaga dan melestarikan warisan budaya yang sarat nilai.
Salah satun pengrajin tenun tersebut adalah Sarfiah. Ia warga Desa Mabulo, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, yang telah menekuni seni tenun khas daerahnya selama 15 tahun.
Bagi Sarfiah, seni tenun lebih dari sekadar pekerjaan—ia adalah cerminan identitas budaya. “Melalui setiap helai benang, saya mencoba menyampaikan cerita dan tradisi leluhur kami,” ujarnya kepada telisik.id, Selasa (19/11/2024).
Baca Juga: Ditpolairud Polda Sultra Libatkan Tim Scuba Diving UHO dan UMK Transplantasi Terumbu Karang
Proses pembuatan tenun memerlukan ketelitian tinggi, dengan waktu pengerjaan antara lima hingga tujuh hari, tergantung pada kompleksitas motif dan ukuran kain.
Motif-motif yang sering digunakan, seperti gunung, burung, dan bunga, mengandung makna mendalam, antara lain sebagai simbol harapan dan kesejahteraan.
“Motif-motif ini bukan sekadar hiasan. Mereka adalah simbol kehidupan yang diwariskan dari generasi ke generasi, penuh filosofi yang relevan bagi masyarakat kami,” tambah Sarfiah.
Sarfiah menggunakan bahan alami seperti benang dextra untuk menciptakan tenunan yang ramah lingkungan dengan karakteristik unik. Meski keindahan dan kualitas produknya tidak diragukan, tantangan utama yang dihadapi adalah pemasaran.
“Kami kesulitan menjangkau pasar yang lebih luas. Meski tenun ini memiliki nilai budaya tinggi, belum banyak yang memahami cara memasarkan produk kami dengan efektif,” ungkapnya.
Harga tenun bervariasi tergantung jenis benang yang digunakan. Tenun berbahan benang emas, misalnya, memiliki harga lebih tinggi dibandingkan benang biasa karena proses pembuatannya yang lebih rumit dan membutuhkan ketelitian ekstra.
“Benang emas memberikan kesan mewah dan eksklusif, sementara benang biasa lebih terjangkau, tetapi tetap indah dan berkualitas,” jelas Sarfiah.
Meski menghadapi berbagai kendala, Sarfiah tetap teguh menjaga seni tenun tradisional agar tetap lestari.
Ia berharap seni ini semakin dihargai, baik di tingkat lokal maupun internasional, serta mampu membuka peluang ekonomi lebih besar bagi para pengrajin.
“Saya ingin karya ini dikenal lebih luas, sehingga tidak hanya menjadi kebanggaan kami sebagai pengrajin, tetapi juga memberikan dampak ekonomi positif bagi komunitas kami,” harapnya.
Baca Juga: DPRD Sultra Bahas Tata Tertib untuk Pembentukan AKD
Rina, salah satu pelanggan setia produk tenun tradisional, memberikan apresiasi terhadap karya Sarfiah. Ia menyebutkan bahwa keindahan dan nilai budaya yang terkandung dalam setiap kain tenun membuatnya istimewa.
“Saya sering membeli tenun ini sebagai cendera mata atau pakaian adat. Selain motifnya yang cantik, saya merasa membeli tenun ini berarti ikut melestarikan budaya lokal,” ujarnya.
Dengan semangat yang tak pernah padam, Sarfiah dan para pengrajin lainnya berharap dukungan masyarakat untuk menghargai dan mempromosikan tenun tradisional sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia yang tak ternilai harganya. (B)
Penulis: Siti Nabila
Editor: Fitrah Nugraha
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS