Pertarungan yang Sesungguhnya

M. Najib Husain, telisik indonesia
Sabtu, 06 Maret 2021
0 dilihat
Pertarungan yang Sesungguhnya
Dr. M. Najib Husain Dosen FISIP UHO. Foto: Ist.

" Konflik politik dapat dimaknai sebagai perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan dalam usaha mendapatkan alokasi keuntungan dari sebuah kemenangan. "

Oleh: Dr. M. Najib Husain

Dosen FISIP UHO

PEMILIHAN kepala daerah di 7 kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara sudah terlaksana dan hasil sudah kita ketahui untuk 6 daerah dan satu masih berproses di MK, itu artinya pertarungan sudah seharusnya selesai.

Tim sukses para pemenang bisa mengakhiri perjuangan karena sudah sukses dalam mencapai misi kemenangan paslon yang didukung  dan jika sudah tercapai maka mereka  tinggal dibubarkan saja karena apa yang dicapai adalah kemenangan rakyat dan bukan kemenangan kelompok tertentu.

Namun, kenyataan yang terjadi pertarungan sesungguhnya baru  terjadi diantara tim sukses. Benar kata teman saya lebih baik kita kalah dan berakhir semuanya dan pasti semuanya selesai dibanding kita menang tapi malahan terjadi gesekan di internal tim. Menang tapi menyakitkan kata teman saya yang tim sukses.

Dengan kondisi seperti ini peluang terjadinya konflik politik internal   dapat terjadi karena masing-masing menganggap dirinya memiliki  kontribusi besar atas kemenangan jagoan mereke di Pilkada 2020, yang sewaktu-waktu dapat meledak bila saling menonjolkan ego masing-masing untuk mendapatkan posisi strategis dan kepentingan yang sangat pragmatis.

Konflik politik dapat dimaknai sebagai perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan dalam usaha mendapatkan alokasi keuntungan dari sebuah kemenangan. Bentuk konflik politik harus diselesaikan dalam proses politik dengan mengumpulkan para aktor yang terlibat untuk mencapai konsensus.

Sehingga tidak menimbulkan akses negatif di tengah perjuangan para pemimpin pemenang Pilkada dalam berjuang membangun daerah dengan kas daerah yang semuanya dihabiskan untuk melawan COVID-19 yang tidak diketahui kapan berakhir.

Baca juga: Jangan Berbohong dengan Tuhan

Indonesia sebagai negara yang demokrasinya maju-mundur dan kadang juga tidak jelas warnanya, realitanya penyelesaian konflik politik tidak berjalan normal seperti “Kasus Partai Demokrat” saat ini.

Di mana sebuah hajatan besar KLB dapat dilaksanakan walaupun tidak sesuai dengan aturan organisasi (kalau tidak salah, karena saya bukan orang partai) dan seorang terpilih jadi ketua partai setelah mendapatkan KTA beberapa jam sebelum diumumkan sebagai pemenang dan menerima keputusan KLB sebagai ketua partai terpilih dengan mangajukan 3 syarat untuk menerima jabatan tersebut, partai yang besar dengan mekanisme bersyarat. Aneh.

Karena itu, upaya menemukan model pengelolaan konflik sehingga mampu merubah energi negatif menjadi energi positif bagi dinamika sosial (politik) lokal di Sulawesi Tenggara, terasa semakin penting bagi para pimpinan kepala daerah sebagai pemenang Pilkada 2020 untuk terbebas dari kelompok-kelompok yang punya kepentingan yang jauh dari kepentingan rakyat banyak.

Miftah Thoha mengemukakan bahwa, birokrasi baik secara langsung atau tidak langsung akan selalu berhubungan dengan kelompok-kelompok kepentingan. Karena itu, negara berupaya untuk memuaskan kelompok-kelompok kepentingan dari luar terkait dengan pengembangan birokrasi.

Miftah Thoha menyebutkan bahwa politisasi birokrasi ini terjadi karena tekanan kelompok kepentingan begitu menguat kepada pejabat politik untuk mengakomodir tuntutannya dalam hal pengisian jabatan-jabatan struktural birokrasi.

Kelompok-kelompok dimaksud seringkali memaksakan kehendaknya kepada pejabat politik untuk mengakomodir kepentingan kelompoknya dalam pengisian jabatan-jabatan struktural birokrasi.

Karena itu, pejabat politik sulit untuk menghindari intervensi kelompok tersebut, sebab desakan dari luar yang begitu kuat dengan cara-cara koersif, mengancam dan memaksa. Kekuatan kelompok ini begitu kuat bahkan menyamai kekuatan negara sehingga dapat dikatakan sebagai shadow state yang lebih berperan dalam menata birokrasi dari balik layar.

Baca juga: Kritik untuk Presiden Jokowi

Sehingga dengan mudah mengendalikan pemerintah atau pejabat politik untuk menempatkan personil birokrasi dalam jabatan-jabatan struktural menurut kepentingannya, bukan didasarkan pada pertimbangan kemampuan dan keahlian.

Untuk itu, representasi birokrasi merupakan upaya untuk memungkinkan pengambilan kebijakan yang dibuat lebih bersifat netral. Birokrasi yang representatif mencerminkan unsur politik, sosial budaya dalam penyelenggaraan pemerintahan yakni birokrasi mewakili karakter populasi dari suatu wilayah.

Studi mengenai birokrasi representatif dihadirkan oleh Kenneth J.Meier, representasi demokrasi yang dikembangkan oleh Kingsley mendeskripsikan bahwa pemerintah harus bersifat demokratis dalam pengelolaan birokrasi.

Wilayah Indonesia dengan berbagai ragam suku, budaya, etnis dan wilayah yang luas maka salah satu bentuk untuk mewujudkan budaya demokrasi dalam sistem pemerintahan adalah harus merepresentasikan berbagai unsur dalam birokrasi tanpa mengesampingkan kapabilitas dari seorang birokrat.

Pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan yang tidak berorientasi pada kepentingan, namun pemerintahan yang dengan ikhlas melayani kepentingan masyarakat tanpa memandang suku, agama, ras (etnis).

Jadi tidak perlu lagi ada istilah putra daerah, ring satu, pendukung bupati yang menang, anak Koltim, anak Konsel atau istilah lainnya yang jauh dari warna keberagaman yang sebenarnya menjadi modal besar membangun daerah.

Terimalah sebuah perbedaan dan jangan takut konflik, karena konflik bukanlah sesuatu yang harus diresistensi ataupun ditabukan, sebaliknya konflik harus dikelola agar supaya menjadi perekat hubungan sosial diantara masyarakat ataupun sebagai metode bagi para elit untuk mengkonstruksi ide dan cita-cita bersama. (*)

TAG:
Artikel Terkait
Atlit

Atlit

Kolumnis Selasa, 17 Maret 2020
Baca Juga