Kontradiksi Antara Pendapatan dan Kinerja Wakil Rakyat

Efriza, telisik indonesia
Sabtu, 25 September 2021
0 dilihat
Kontradiksi Antara Pendapatan dan Kinerja Wakil Rakyat
Efriza, Dosen Ilmu Politik di beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

" Nilai nominal pendapatan yang besar sebagai wakil rakyat, sayangnya tidak disertai dengan hasil yang memuaskan dalam proses kerja sebagai wakil rakyat, sebab kinerja DPR selalu menjadi sorotan publik "

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

PUBLIK kembali harus mendengar angka kisaran dari tunjangan dan gaji anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Artis Krisdayanti yang sekarang menjadi politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) membeberkan angka-angka nominal yang fantastis.

Sebagai anggota DPR menerima gaji setiap tanggal 1 sebesar 16 juta, empat hari berselang tepatnya tanggal 5 masuk lagi ke dalam rekening untuk tunjangan sebesar Rp 59 juta. Tak hanya itu, masih ada pula aliran uang yang terdiri dari dana aspirasi sebesar Rp 450 juta yang diterima sebanyak 5 kali setahun, dan dana reses sebesar Rp 140 juta yang dibagi dalam delapan kali setahun, (suara.com, 17 September 2021).

Nilai-nilai ini tentu saja begitu fantastis, disampaikan di tengah pandemi COVID-19 ketika ekonomi Indonesia sedang mengalami kemerosotan. Nilai nominal gaji dan tunjangan ini tentu akan terjadi silang pendapat jika berbicara dari segi kepantasan.

Wakil Rakyat Tak Mewakili Rakyat

Terbukanya angka-angka terkait pendapatan dan aliran dana wakil rakyat, semakin mendorong banyak orang termotivasi sebagai wakil rakyat. Wakil rakyat dalam bayangan banyak orang begitu menggiurkan, sedikit bekerja tetapi pendapatannya fantastis. Sehingga wajar jika setiap menjelang Pemilu, disiapkan lokasi-lokasi untuk menampung calon anggota legislatif (caleg) yang gagal berupa rumah sakit jiwa maupun tempat terapi kejiwaan.

Padahal menjadi wakil rakyat itu tidak enak tak seperti yang diperkirakan. Saifullah Ma’shum melalui bukunya “DPR terhormat DPR dihujat,” yang menjelaskan refleksi dirinya sebagai wakil rakyat dan juga bentuk pelaporan kinerjanya selama 5 tahun pada periode 2004-2009 dalam format buku.

Ia bercerita, tentang seorang anggota legislator yang merasakan tekanan dalam dirinya sehingga yang bersangkutan sering keluar-masuk ruangan. Berkali-kali ia menuju toilet dan terkadang berdiam diri di depan pintu masuk ruang rapat.

Ternyata ia mengalami konflik di dalam dirinya, bahwa dirinya mengalami minder, ingin berbicara tetapi takut salah dan merasa tidak berani, sehingga mengurungkan niatnya, namun diam saja tentu tidak enak (Saifullah Ma’shum, Penerbit KCP: 2012).  

Laporan dan evaluasi mengenai wakil rakyat, banyak dapat kita telusuri, “sentilan” juga acap menjelaskan wakil rakyat cenderung diam, ia tak menjalankan posisi dirinya yang semestinya cenderung berbicara mewakili rakyat. Kecenderungan ini terjadi kepada wakil rakyat perempuan, artis, bahkan juga aktivis buruh sekalipun. Bahkan, duduk, diam, tak menghadiri rapat pun, mereka akan mendapatkan gaji karena tak dinilai keaktifan di rapat maupun tidak.  

Nilai nominal pendapatan yang besar sebagai wakil rakyat, sayangnya tidak disertai dengan hasil yang memuaskan dalam proses kerja sebagai wakil rakyat, sebab kinerja DPR selalu menjadi sorotan publik.  

Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) sampai menggunakan kata lebih buruk dalam menggambarkan kinerja anggota DPR pada periode 2019-2024 ini jika dibandingkan periode lalu.

Formappi mengatakan DPR periode 2014-2019 terburuk di era reformasi, tetapi tampaknya ada yang lebih buruk dari 2014-2019 dalam hal kinerja adalah DPR yang sekarang ini. Kinerja dua tahun dari 100 sekian RUU prioritas untuk 5 tahun baru 4 di antaranya yang berhasil disahkan oleh DPR 2019-2024, (suara.com, 12 Agustus 2021).

Kepekaan secara sosial anggota DPR juga sering membuat miris masyarakat. Misal saja, anggota DPR banyak mendorong disediakan fasilitas mewah dan diperlakukan istimewa sebagai wakil rakyat dalam masa pandemi COVID-19 ini.

Problematika ini juga diperburuk, jika anggota DPR melakukan kunjugan ke daerah pemilihan seperti melaksanakan serap aspirasi, acap anggota DPR mengeluhkan hubungan antara wakil dan yang diwakili, mereka mengeluhkan masyarakat yang lebih cenderung meminta bantuan dana kepada mereka.

Baca Juga: Bawaslu Masuk Kampus

Baca Juga: Sosialisasi Peraturan Daerah Mendekatkan Legislator kepada Konstituen

Berkali-kali dalam forum-forum seminar maupun webinar keluhan itu lancar sekali disampaikan bukan lagi sekadar curhatan semata. Ini sebenarnya terjadi karena perilaku anggota DPR sendiri yang sebelumnya terpilih ketika di Pemilihan Umum (Pemilu) mereka jor-joran dengan lebih sibuk menggelontorkan uang untuk “membeli” suara dibandingkan menyampaikan visi dan misi, sehingga wajar masyarakat merasa hubungan mereka dilekatkan dalam bentuk pendapatan semata.  

Hal ini sebenarnya juga sudah banyak berserak dari hasil penelitian akademis yang menjelaskan konsep diri legislator dan motivasi legislator. Misal, hasil disertasi dari Pramono Anung Wibowo, yang telah membuka tabir bahwa konsep diri legislator dibangunkembangkan dari konsep diri pragmatis, dominan, dan materialistis. Hal yang sama juga terjadi dengan motivasi legislator, kepentingan ekonomi dan politik cenderung dominan, (Pramono Anung Wibowo, 2013).

Hubungan Legislator sebagai Wakil

Sayangnya peran sebagai wakil juga dirasakan sangat minim oleh rekan-rekan partainya. Acap terdengar oleh publik, legislator menyatakan dirinya bahwa semestinya lebih sibuk di daerah pemilihannya dibandingkan dengan berada di gedung parlemen.  

Nyatanya keduanya di daerah pemilihan dan di gedung parlemen, juga tidak berjalan dengan baik, misal, rumah aspirasi. Rumah Aspirasi dibanyak daerah hanya digembar-gemborkan untuk sekadar diliput oleh media massa semata, padahal realitasnya tidak dijalankan.  

Konsep rumah aspirasi, yang dianggap tempat menyerap aspirasi, mendekatkan rakyat dan wakilnya, ternyata jarang pula ditempati oleh wakil rakyat, lagi-lagi wakil rakyat khawatir didatangi konstituennya untuk menuntut berbagai hal, maupun meminta pemenuhan realisasi janjinya.

Penyerapan aspirasi, maupun mensosialisasi legislasi dan/atau peraturan daerah, mereka tak sepenuhnya juga serius menjalaninya. Sebab, kedekatan mereka sebagai wakil rakyat dengan pemilih kurang dibangun dalam hubungan sinergi, kecuali hubungan layaknya “jual putus” semata dalam konsep jual-beli.

Ternyata, hal yang sama juga terjadi dalam hubungan dengan konstituen partai, legislator kesusahan melakukan serap aspirasi, karena malah ditolak penyelenggaraannya dalam suatu lingkungan oleh internal partainya. Konsep diri pragmatis itulah yang akhirnya acap membuat konflik internal anggota legislator dengan internal kepartaiannya.

Sehingga demikian, jika kita meneliti mengenai wakil rakyat dan/atau parlemen, tampak jelas bahwa terdapat kontradiksi antara pendapatan dan kinerja sebagai wakil rakyat. Era Reformasi ini dapat dikatakan, belum dapat sepenuhnya kita menghadirkan wakil rakyat yang bekerja untuk memenuhi keinginan dari rakyat yang diwakilinya, jika tak ingin menggunakan kata kemerosotan. (*)

Artikel Terkait
Baca Juga