Perusahaan Kelapa Sawit PT Dua Perkasa Lestari Diduga Rebut Lahan Masyarakat
Marwan Azis, telisik indonesia
Senin, 24 Agustus 2020
0 dilihat
Ilustrasi penyerobotan lahan. Foto: google
" Sebagian besar anggota masyarakat tidak bisa bertahan karena keterbatasan ekonomi dan alasan lainnya, namun masih ada anggota masyarakat yang bertahan untuk memperjuangkan lahan mereka. "
JAKARTA, TELISIK.ID - Laporan investigasi terbaru Rainforest Action Network (RAN) dan dokumentasi LBH dan Walhi Aceh mengungkap bukti perusahaan kelapa sawit kontroversial PT Dua Perkasa Lestari (DPL).
Hal tersebut disampaikan Indonesia Communications Coordinator RAN, Leoni Rahmawati di Jakarta (24/8/2020).
Kata Leoni, perusahaan tersebut milik mantan Ketua DPRD Kota Aceh Barat Daya, yang saat ini menjabat sebagai Ketua DPD PAN Aceh Barat Daya, Said Samsul Bahri, terus menyuplai minyak kelapa sawit bermasalah ke perusahaan merek dunia seperti Nestle, Mars, Mondelez, PepsiCo dan Unilever melalui perusahaan kelapa sawit raksasa Golden Agri Resources (GAR) dan Permata Hijau, meski PT DPL terbukti melanggar hak-hak masyarakat Pantee Cermin di Aceh Barat Daya.
"Dokumentasi yang dikumpulkan oleh LBH dan Walhi Aceh mengungkap adanya konflik lahan yang belum selesai dengan masyarakat Pante Cermin, konflik ini mencakup izin bermasalah PT DPL untuk beroperasi di lahan yang bersengketa dengan masyarakat," papar Leoni.
Dugaan perampasan tanah yang terdokumentasikan dengan baik, hingga penghancuran tanaman pangan masyarakat tanpa Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) serta penggunaan kekuatan militer untuk mengintimidasi dan menggusur masyarakat yang melanggar aturan Kementerian Dalam Negeri Indonesia.
Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul mengungkapkan, sejak izin PT Dua Perkasa Lestari dikeluarkan pada tahun 2008, masyarakat telah diancam paksa untuk meninggalkan lahan mereka. Bahkan pihak perusahaan terus melakukan pembukaan lahan dan menghancurkan tanaman warga secara paksa.
"Sebagian besar anggota masyarakat tidak bisa bertahan karena keterbatasan ekonomi dan alasan lainnya, namun masih ada anggota masyarakat yang bertahan untuk memperjuangkan lahan mereka," katanya.
LBH juga telah melaporkan kasus ini kepada Pemda Kabupaten Aceh Barat Daya, Pemerintah Provinsi, DPRA, dan Kantor Staf Presiden, namun hingga kini masalah ini masih belum terselesaikan dan belum ada yang datang untuk memverifikasi klaim tanah masyarakat.
Kondisi pandemi COVID saat ini kian mendesak untuk segera bertindak melindungi hak-hak masyarakat agar mereka bisa tetap mengakses lahan dan mempertahankan mata pencaharian mereka.
Baca juga: PT OSS Diduga Serobot Lahan Milik Pepabri
"Fakta bahwa perusahaan seperti PT DPL terus menyuplai minyak sawit mereka ke pasar global meski secara aktif melanggar hak-hak masyarakat, menyalahgunakan aparat keamanan untuk mengintimidasi masyarakat, dan mengabaikan masalah hukum dalam proses perizinannya, menjadi bukti bahwa perusahaan merek-merek dunia tidak ikut mengambil tanggungjawab mereka untuk menerapkan kebijakan nol deforestasi, nol gambut, dan nol eksploitasi (NDPE) dengan serius,” jelas Direktur Kebijakan Hutan RAN, Gemma Tillack.
Menurutnya Nestle, Mars, Mondelez, PepsiCo dan Unilever perlu menempatkan PT DPL pada daftar 'Tidak Beli' dan meminta akar perusahaan yang terlibat dalam rantai pasok PT DPL untuk segera menyelesaikan konflik lahan dengan masyarakat sebagai syarat untuk melanjutkan bisnis mereka.
Ia menuturkan, bank-bank multinasional juga terlibat dalam memfasilitasi praktik-praktik suplai kelapa sawit bermasalah GAR, perusahaan minyak sawit milik Grup Sinar Mas, korporasi yang dikontrol oleh keluarga taipan Widjaya.
Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Central Asia (BCA) dan bank Belanda ABN AMRO merupakan tiga bank besar yang diketahui memberikan pinjaman aktif untuk GAR saat ini.
“Fakta bahwa Bank Negara Indonesia (BNI) terus membiayai GAR hingga 438 juta USD selama empat tahun terakhir meski berulang kali gagal menghormati hak-hak masyarakat dalam operasionalnya sendiri hingga pemasok pihak ketiga seperti PT. Dua Perkasa Lestari, tentu sangat mengejutkan,” ungkap Gemma Tillack.
Ditambahkan, divisi kelapa sawit Sinar Mas menerima lebih dari 3,5 miliar dolar AS dalam bentuk pinjaman dan penjaminan untuk periode 2016 - Aprill 2020 (periode yang sama di mana bukti pelanggaran hak asasi manusia dan deforestasi oleh PT DPL mengungkap adanya keterlibatan GAR).
Bank yang mendanai GAR harus melakukan intervensi segera untuk memastikan bahwa GAR mengadopsi posisi ‘Tidak Beli’ untuk PT. DPL sampai ada perjanjian untuk mengembalikan tanah kepada anggota komunitas Pante Cermin.
"Jika GAR gagal melakukannya, bank-bank tersebut harus menunda pembiayaan untuk perusahaan raksasa kelapa sawit tersebut," ujarnya.
Reporter: Marwan Azis
Editor: Kardin