Pilkades Gumanano: Cermin Berdemokrasi dari Aras Lokal
Haidir Muhari, telisik indonesia
Selasa, 14 Juli 2020
0 dilihat
Para kandidat Pilkades Gumanao saling berjabatan tangan dalam rembuk usak Pilkades di Kafewunta-a. Foto: Ist.
" Nopadamo kolowua, dopadamo. "
BUTON TENGAH, TELISIK.ID - Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) di Desa Gumanano, Kecamatan Mawasangka, Buton Tengah (Buteng), menampilkan wajah berbeda. Tak seperti 34 desa lainnya di Buteng yang juga turut dalam gelaran Pilkades serentak.
Demokrasi menampilkan wajah dualistik di banyak tempat. Sebagai perwujudan kesetaraan sesama warga bangsa, kerap mengubah kehangatan sosial menjadi bara dendam yang kian bergejolak bahkan sampai periode berikutnya.
Fenomena itu kerap terjadi tidak hanya pada skala nasional, melainkan juga regional, hingga desa sekalipun. Di aras desa, sebagai pilar tegaknya negara, gotong-royong renggang oleh karena rebutan kursi kepala desa (Kades).
Hal demikian menjadikan Kades terpilih vis a vis dengan pemangku adat. Sehingga berbagai hajatan desa pun kerap tertunda oleh karena keakraban yang telah raib.
Dalam Pilkades tersebut menampilkan empat kandidat, yaitu Langkaene K sebagai petahana, Halidun sudah beberapa kali mencalon, La Abudu pendatang baru dan Jamaluddin juga pendatang baru dan calon Kades termuda.
Masing-masing kandidat dan timnya bergerilya, mengampanyekan bahwa dirinya atau dukungannya adalah calon terbaik. Bantuan ditebar seperti menabur bibit jagung. Setiap lubang diisi dua sampai tiga butir jagung. Tak boleh ada satu lubang pun terlewat.
Rekam jejak para Cakades diurai helai per helai. Termasuk soal usia, muda atau tua. Kongkow-kongkow di gode-gode (balai-balai) atau di pos pemenangan menjadi trend dan lebih sering dilakukan.
Menyerang dan bertahan. Saling mengintip di pos masing-masing. Jika bertandang ke posko tertentu akan diklaim mendukung calon tersebut.
Di satu keluarga bahkan membelah diri, karena berbagai alasan. Bapak akan memilih calon tertentu, Ibu dan Anak memilih calon yang lain.
Alasan yang mereka kemukakan karena hubungan kekeluargaan, jasa baik calon atau tim suksesnya, hingga alasan lain. Demikianlah, antara Suami dan Istri berbeda pilihan, pun sesama Saudara. Ada yang perbedaan pilihan itu diatur, ada juga yang memang demikian adanya.
Baca juga: Bupati Nganjuk, Satu dari Seribu
Sama seperti pemilihan lainnya. Semua orang mafhum bahwa demokrasi yang kita anut adalah gelanggang kompetisi. Setiap kontestan dan kroni-kroninya akan melakukan berbagai macam cara.
Kamis, 10 Oktober 2019 Pilkades serentak itu digelar. Semua massa berbondong menuju tempat pemungutan suara.
Usai pemungutan suara dilakukanlah perhitungan. Hasilnya, Halidun diumumkan sebagai pemenang Pilkades di Gumanano tersebut. Langkaene K sebagai petahana, Jamaluddin sebagai Kades termuda dan La Abudu, kalah menurut perhitungan suara tersebut.
Sehari usai pemilihan, tepatnya Jumat, 11 Oktober 2019, para tetua kampung dan kandidat duduk bersila di rumah adat yang oleh masyarakat sekitar disebut kafewunta-a. Sama seperti namanya, kafewunta-a secara bahasa berarti kesetimbangan atau kemoderatan.
Dinamakan seperti itu selain oleh karena berada di tengah kampung, melainkan juga karena di tempat itulah segala aturan adat dirumuskan dalam berdiri sama tinggi, duduk sama rendah.
Di hari Jumat yang agung itu, traktat ditetapkan, hajatan politik telah usai. Para kandidat menyelami dalam diri masing-masing untuk membonsai onak duri yang masih berdiri. Menginsafi diri bahwa segala recik hitam dikucek bersih demi menjalani kehidupan yang harmonis.
Sama seperti yang diungkapkan oleh Amidun, Tokoh Pemuda yang turut hadir bahwa suasana bersahabat dan renyah meluputi rembuk itu.
"Suasana aman dan terkendali", kenangnya.
Setiap kandidat saling menjabat tangan sebagai tanda tetap terjalinnya persahabatan dan kekeluargaan. Sekejap itu pula sumringah dan tawa haru meretas dari para tetua dan hadirin.
"Nopadamo kolowua, dopadamo", tegas La Abudu salah satu kandidat dalam Pilkades tersebut. Artinya, kalau sudah selesai berarti sudah selesai.
Pemilihan usai dan pemenang diumumkan, semua orang kembali menyimpul temali persaudaraan. Laksana buang hajat, setelah usai rasa sesak di dasar hati menjadi lapang.
Tak hanya sebagai salah satu destinasi wisata andalan di Buton Tengah, Gumanano menjadi cermin berdemokrasi dari aras lokal.
Sama seperti pantai Mutiara dengan pasirnya yang halus nan putih memikat, benteng Lasayidewa yang tangguh dan permandian Gumanano yang sejuk, sikap bersahabat usai pemilihan patut dikenang untuk dijadikan tumpuan bagi insan demokrasi.
Sudah siapkah kita menyukseskan Pilkada Serentak 2020 dengan tetap menjalin kebersamaan seperti para kandidat Pilkades di Gumanano?
Reporter: Haidir Muhari
Editor: Kardin