Tokoh Busel: Ganti Rugi Lahan di Busoa Bentuk Diskriminasi Pemerintah Busel Terhadap Warga

Deni Djohan, telisik indonesia
Kamis, 26 Maret 2020
0 dilihat
Tokoh Busel: Ganti Rugi Lahan di Busoa Bentuk Diskriminasi Pemerintah Busel Terhadap Warga
Mantan Bakal Calon Bupati Buton Selatan (Busel), periode 2017-2022 jalur independen, La Ode Budi. Foto: Istimewa

" Kan aneh, kenapa adik bupati justru mendapatkan harga komersial sebesar Rp 250 ribu permeternya, bukannya justru karena ini adik bupati, maka harga dapat disesuaikan dengan masyarakat. Sedangkan masyarakat, ada yang hibahkan tanahnya, atau terima harga rendah biar daerah maju, apalagi keluarga bupati. "

BUTON SELATAN, TELISIK.ID - Pengakuan mantan Kabag Tapem Buton Selatan (Busel), La Ode Asri, terkait polemik pembelian lahan yang melibatkan Bupati Busel, H. La Ode Arusani bersama adiknya yang tidak lain ketua DPRD Busel, La Ode Armada, mendapat tanggapan dari tokoh masyarakat Busel, La Ode Budi.

Mantan Bakal Calon (Balon) Bupati Busel periode 2017-2022 jalur independen ini menilai, telah terjadi diskriminasi terhadap warga dalam proses ganti rugi lahan oleh Pemda.

Pasalnya, Pemda hanya memberikan ganti rugi terhadap lahan milik, H. La Ode Arusani, yang dimana dalam sertifikatnya mengatasnamakan adik Arusani, La Ode Armada. Sementara, seluruh warga lainnya yang menghibahkan tanahnya untuk pembangunan jalan masuk menuju pasar Bandar Batauga, di Kelurahan Busoa, Kecamatan Batauga, hanya mendapat ganti rugi tanaman.

"Kan aneh, kenapa adik bupati justru mendapatkan harga komersial sebesar Rp 250 ribu permeternya, bukannya justru karena ini adik bupati, maka harga dapat disesuaikan dengan masyarakat. Sedangkan masyarakat, ada yang hibahkan tanahnya, atau terima harga rendah biar daerah maju, apalagi keluarga bupati," tanyanya.

Baca Juga : Terseret Kasus Hukum, Kadis Perindag Muna Serahkan ke Polisi

Terkait dengan pengakuan mantan Kabag Tapem, La Ode Asri, yang mengaku jika tak ada masalah dalam proses ganti rugi lahan tersebut, pemilik yayasan pendidikan di Tanggerang, Banten ini membantah itu. Faktanya, terdapat diskriminasi yang dilakukan pemerintah terhadap warga pemilik lahan lainnya.

"Masalahnya bukan apakah ini sesuai dengan peraturan atau tidak, tapi utamanya adalah rasa keadilan bagi masyarakat. Harusnya, Keluarga Bupati justru yang menjadi contoh teladan untuk berkorban bagi daerah.  Setidaknya, mempermudah Pemda dengan harga yang tidak jauh dari harga yang diterima masyarakat," nilainya.

Menurutnya, keterangan dari Kabag Tapem selaku pihak paling bertanggungjawab dalam kasus tersebut, untuk membuka seluruh data terkait daftar harga yang telah diterima oleh warga terkait pembebasan lahan itu.

"Semboyan “Busel Beradat” sudah bagus, dan harus dikonkritkan melalui keteladanan. Dan keluarga pejabat haruslah yang terdepan dalam mendukung semboyan ini, supaya jadi warisan nama baik sepanjang waktu di daerah," bebernya.

Baca Juga : Muna Nihil COVID-19, 36 Orang Terus Diawasi

Sebelumnya, Kabag Tapem Busel saat ini, LM. Martosiswoyo mengaku, seluruh dokumen arsip terkait ganti rugi lahan tersebut tak tersimpan di Tapem. Ia juga telah berusaha mencari dokumen tersebut.

"Tidak ada. Karena saya ini menjabat nanti tahun 2019 di sini. Sementara kegiatan itu di tahun 2018. Saya juga sedang cari dokumen itu," kata Toto, sapaan akrab LM. Martosiswoyo.

Dikutip dari kasemea.com, mantan Kabag Tapem Busel, La Ode Asri, memastikan tak ada kesalahan dalam proses ganti rugi lahan di jalan masuk menuju Pasar Bandar Batauga tersebut. Menurutnya, ganti rugi tanah tersebut, mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 148 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Selain itu juga, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Terkait dengan negosiasi harga atau nominal objek ganti rugi lahan, tanpa mengesampingkan NJOP, namun ditentukan dengan harga pasar tanah di lokasi tersebut, dan dengan penguatan adanya keterangan dari lurah setempat.

Baca Juga : Cegah Penyebaran COVID-19, DPRD Sultra Pasang Area Wajib Disinfektan

“Kemudian saat itu juga sudah mendesak, bahwa saat itu sudah akhir tahun, dengan kondisi keuangan yang terbatas, sehingga dari negosiasi, akhirnya disepakati harganya Rp 250 ribu per meter. Itupun awalnya pemilik tanah meminta harga Rp 400 ribu per meter, namun karena memang harga pasar tanah di situ Rp 100 ribu sampai Rp 300 ribu per meter, maka disepakati ganti rugi Rp 250 ribu. Dengan melihat NJOP dan harga pasar tadi,” jelasnya.

 

Reporter: Deni Djohan

Editor: Sumarlin

Baca Juga