Tuntunan Islam dalam Menyikapi Musibah
Fitrah Nugraha, telisik indonesia
Jumat, 26 Juni 2020
0 dilihat
Seorang muslimah bersedih atas musibah yang menimpanya Foto: Repro google.com
" Menurut Shiddiq Al-Jawi, para ulama mendefinisikan musibah sebagai segala sesuatu yang dibenci yang terjadi pada manusia (kullu makruuhin yahullu bi al-insan) (Ibrahim Anis dkk, Al-Mu’jam al-Wasith, hlm. 527). "
KENDARI, TELISIK.ID - Musibah yang belakangan ini terjadi di Indonesia, seperti gempa bumi, banjir, dan pandemi COVID-19 memberikan kerugian tersendiri bagi masyarakat.
Namun musibah tersebut ada yang menyikapinya sebagai keburukan, dan ada juga yang menganggap itu merupakan sebuah terguran untuk menjadi lebih baik. Lalu, bagaimanakah tuntunan Islam dalam menyikapi musibah? Berikut penjelasan Ulama ahli fiqih, KH. M. Shiddiq Al-Jawi yang dilansir dari fissilmi-kaffah.com.
Menurut Shiddiq Al-Jawi, para ulama mendefinisikan musibah sebagai segala sesuatu yang dibenci yang terjadi pada manusia (kullu makruuhin yahullu bi al-insan) (Ibrahim Anis dkk, Al-Mu’jam al-Wasith, hlm. 527).
Di mana, kata dia, bagi shahibul musibah (muslim yang terkena musibah) Islam memberikan pedoman bagaimana menyikapi musibah yang terjadi.
Pertama, Iman dan ridha terhadap ketentuan (qadar) Allah.
Setiap Muslim wajib beriman bahwa musibah apa pun seperti gempa bumi, banjir, wabah penyakit telah ditetapkan Allah SWT dalam Lauhul Mahfuzh. Sesuai kewajiban menerima ketentuan Allah ini dengan lapang dada (ridha). Pilih Allah SWT berfirman, "Tiada salah satu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (QS al-Hadid [57]: 22)
"Kita pun wajib menerima taqdir Allah ini dengan rela, sesuai sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Tirmidzi, "Sesungguhnya besarnya pahala itu seiring dengan besarnya cobaan. Sesungguhnya Allah jika mencintai satu kaum, maka Allah memberi cobaan kepada mereka. Maka barangsiapa yang ridha (terhadap cobaan itu), maka dia mendapat ridha Allah. Barangsiapa yang murka, maka dia mendapat murka Allah," tulisnya.
Baca juga: Sejarah Masjid Raya Medan Menjadi Daya Tarik Wisatawan
Jadi, lanjut dia, terhadap suatu musibah yang menimpa, seharusnya seorang Muslim menyikapinya dengan ridha kepada taqdir Allah, bukan dengan menggerutu atau malah menghujat Allah SWT. Misalnya dengan berkata,”Ya Allah, mengapa harus aku? Apa dosaku ya Allah?”
Hujatan terhadap Allah Azza wa Jalla ini sungguh kurang ajar dan tidak sepantasnya, sebab Allah SWT tidak bisa dimintai tanggung jawab atas apa pun yang telah menjadi kehendak-Nya, sebagaimana Allah SWT berfirman, “Dia [Allah] tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah (manusia) yang akan ditanyai.” (QS al-Anbiyaa` [21] : 23).
Kedua, sabar menghadapi musibah.
Sabar, menurut Imam Suyuthi dalam Tafsir al-Jalalain, adalah menahan diri terhadap apa-apa yang Anda benci (al-habsu li an-nafsi ‘alaa maa takrahu).
Sikap inilah yang wajib dimiliki saat seseorang menghadapi musibah. Selain itu, disunnahkan ketika terjadi musibah mengucapkan kalimat istirja’ (Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun ). Allah SWT berfirman, “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” . (QS al-Baqarah [2] : 155-156)
Dengan demikian, bersabarlah. Jangan sampai meninggalkan sikap sabar dengan berputus asa atau berprasangka buruk seakan Allah tidak akan memberikan kebaikan di masa depan.
Baca juga: Uwais Al Qarni, Penghuni Langit Kekasih Tuhan Semesta Alam
Ingat, putus asa adalah su`uzh-zhann billah (berburuk sangka kepada Allah). Su`uzh-zhann kepada manusia saja tidak boleh, apalagi kepada Allah.
Memang, orang yang tertimpa musibah mudah sekali terjerumus ke dalam sikap berputus asa dari rahmat Allah (QS 30 : 36). Namun Allah SWT menegaskan, sikap itu adalah sikap kufur (nauzhu billah mindzalik), sebagaimana firman-Nya, “Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum kafir,” (QS Yusuf [12] : 87).
Ketiga, mengetahui hikmah di balik musibah.
Seorang muslim yang mengetahui hikmah (rahasia) di balik musibah, akan memiliki ketangguhan mental yang sempurna.
Ini tentu berbeda dengan orang yang hanya memahami musibah secara dangkal hanya melihat lahiriahnya saja. Mentalnya akan sangat lemah dan ringkih, mudah tergoncang oleh sedikit saja cobaan duniawi. Apalagi kalau musibahnya besar, mungkin dia bisa gila.
Hikmah musibah antara lain diampuninya dosa-dosa. Sabda Rasulullah SAW, “Tidaklah seorang muslim tertimpa musibah tertusuk duri atau lebih dari itu, kecuali dengannya Allah akan menghapus sebagian dosanya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Muslim yang mati tertimpa bangunan atau tembok akibat gempa, tergolong orang yang mati syahid. Sabda Nabi SAW, “Orang-orang yang mati syahid itu ada lima golongan; orang yang terkena wabah penyakit tha’un, orang yang terkena penyakit perut (disentri, kolera, dsb), orang yang tenggelam, orang yang tertimpa tembok/bangunan, dan orang yang mati syahid dalam perang di jalan Allah.” (HR Bukhari dan Muslim).
Rasulullah SAW juga bersabda, “Allah akan mengampuni bagi orang yang mati syahid setiap-tiap dosanya, kecuali utang.” (HR Muslim).
Hikmah lainnya ialah, jika anak-anak muslim meninggal, kelak mereka akan masuk surga. Sabda Nabi SAW, “Anak-anak kaum muslimin [yang meninggal] akan masuk ke dalam surga. Mereka diasuh oleh Nabi Ibrahim AS dan Sarah (istrinya), hingga mereka akan dikembalikan kepada ayah ibunya pada Hari Kiamat." (HR Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al Hakim. Dinilai sebagai hadis hasan oleh Al Albani dalam As Silsilah Al Shahihah, no. 1467).
Baca juga: Pentingnya Peran Muhasabah dalam Mengobati Jiwa
Keempat, tetap berikhtiar.
Yang dimaksud ikhtiar, ialah tetap melakukan berbagai usaha untuk memperbaiki keadaan dan menghindarkan diri dari bahaya-bahaya yang muncul akibat musibah. Jadi, seorang Muslim tidak boleh diam saja, atau pasrah berpangku tangan menunggu bantuan datang.
Olehnya itu, beriman kepada ketentuan Allah tidaklah berarti kita hanya diam termenung meratapi nasib, tanpa berupaya mengubah apa yang ada pada diri kita. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS ar-Ra’du [13] : 11)
Seperti ketika terjadi wabah penyakit di Syam, Umar bin Khaththab segera berupaya keluar dari negeri tersebut. Ketika ditanya,”Apakah kamu hendak lari dari taqdir Allah?” maka Umar menjawab,”Ya, aku lari dari taqdir Allah untuk menuju taqdir Allah yang lain.” (Muttafaq 'alaihi).
Rasulullah SAW pun memberi petunjuk bahwa segala bahaya (mudharat) wajib untuk dihilangkan. Misalnya ketiadaan logistik, rusaknya tempat tinggal, robohnya masjid, rusaknya sekolah, dan sebagainya. Nabi SAW bersabda, ”Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri dan bahaya bagi orang lain.” (HR Ibnu Majah)
Kelima, memperbanyak berdoa dan berdzikir.
Disunnahkan memperbanyak doa dan dzikir bagi orang yang tertimpa musibah. Orang yang mau berdoa dan berdzikir lebih mulia di sisi Allah daripada orang yang tidak mau atau malas berdoa dan berdizikir.
Rasululah SAW mengajarkan doa bagi orang yang tertimpa musibah, "Allahumma ajurnii fii mushiibatii wa-akhlif lii khairan minhaa." (Ya Allah, berilah pahala dalam musibahku ini, dan berilah ganti bagiku yang lebih baik daripadanya.) (HR Muslim)
Baca juga: Surah Al-Maun, Siapa Orang yang Mendustakan Agama?
Dzikir akan dapat menenteramkan hati orang yang sedang gelisah atau stress. Dzikir ibarat air es yang sejuk yang dapat mendinginkan tenggorokan pada saat cuaca panas terik di padang pasir. Allah SWT berfirman, “Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS ar-Ra’du [13] : 28)
Dzikir yang dianjurkan misalnya bacaan istighfar,”Astaghfirullahal ‘azhiem”. Sabda Nabi SAW, “Barangsiapa yang senantiasa beristighfar, maka Allah akan memberinya jalan keluar bagi kesempitannya, akan membebaskannya dari kesedihan, dan akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (HR. Abu Dawud).
Keenam, bertaubat.
Tiada seorang hamba pun yang ditimpa musibah, melainkan itu akibat dari dosa yang diperbuatnya.
Maka sudah seharusnya, dia bertaubat nasuha kepada Allah SWT. Orang yang tak mau bertaubat setelah tertimpa musibah, adalah orang sombong dan sesat. Allah SWT berfirman, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS asy-Syuura [42] : 30)
Sabda Nabi SAW, “Setiap anak Adam memiliki kesalahan (dosa). Dan sebaik-baik orang yang bersalah, adalah orang yang bertaubat.” (HR at-Tirmidzi).
Bertaubat nasuha rukunnya ada tiga, yaitu menyesali dosa yang telah dikerjakan, berhenti dari perbuatan dosanya itu, dan ber-azam (bertekad kuat) tidak akan mengulangi dosanya lagi di masa datang.
Jika dosanya menyangkut hubungan antar manusia, misalnya belum membayar utang, pernah menggunjing seseorang, pernah menyakiti perasaan orang, dan sebagainya, maka rukun taubat ditambah satu lagi, yaitu menyelesaikan urusan sesama manusia dan meminta maaf.
Baca juga: Toleransi Umat Beragama di Kendari, Masjid Satu Tembok dengan Gereja
Ketujuh, tetap istiqomah pada Islam.
Dalam setiap musibah, selalu ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan musibah untuk tujuan jahat. Misalkan saja upaya kotor berupa memaksakan salah satu agama. Caranya adalah dengan memberikan bantuan logistik, medis, uang, rumah, dan sebagainya.
Tapi semuanya itu tidaklah diberikan dengan tulus, melainkan ada maksud keji di baliknya. Ujung-ujungnya, orang-orang kafir itu ingin sekali memurtadkan orang Islam yang diberi bantuan dan berpindah agama. Na`uzhu billah min dzalik.
Di sinilah seorang muslim dituntut untuk bersikap istiqamah, yaitu konsisten di atas satu jalan dengan mengamalkan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan (mulazamah al-thariq bi fi’li al-wajibat wa tarki al-manhiyyat). Allah SWT mewajibkan untuk istiqamah, “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS Huud [11] : 112)
Muslim yang murtad (keluar dari agama Islam) dan menjadi pemeluk agama lain, sungguh telah merugi dan tertipu mentah-mentah dunia akhirat. Allah SWT berfirman, “Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS al-Baqarah [2] : 217)
Karena itu wajiblah setiap Muslim untuk terus istiqamah mempertahankan keislamannya. Jangan mudah tergiur oleh bujuk rayu setan berbentuk manusia itu. Jangan mati kecuali tetap memegang teguh agama Islam. Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS Ali ‘Imraan [3] : 102)
"Demikianlah antara lain tuntunan Islam dalam menyikapi musibah. Khususnya bagi shahibul musibah (yang terkena musibah). Dengan berpegang teguh dengan tuntunan-tuntunan Islam di atas, mudah-mudahan Allah SWT akan memberikan rahmat, hidayah, dan ‘inayah-Nya kepada kita semua," tutupnya.
Reporter: Fitrah Nugraha
Editor: Sumarlin