Viral Fenomena Mythomania Bikin Geger Warganet TikTok, Begini Cara Tangkalnya
Ahmad Jaelani, telisik indonesia
Jumat, 06 Juni 2025
0 dilihat
Berbohong terus-menerus, manipulatif, percaya kebohongannya merupakan ciri Mythomania. Foto: Repro Freepik.
" Fenomena gangguan psikis bernama mythomania mendadak menyedot perhatian luas setelah viral di TikTok "

JAKARTA, TELISIK.ID - Fenomena gangguan psikis bernama mythomania mendadak menyedot perhatian luas setelah viral di TikTok.
Di tengah banjir konten yang menghibur dan informatif, muncul diskusi serius mengenai kebiasaan berbohong yang tidak terkendali, yang kini diketahui sebagai bagian dari kondisi psikologis.
Banyak warganet terkejut saat mengetahui bahwa perilaku ini bukan sekadar kebiasaan buruk, melainkan bisa menjadi gangguan klinis yang memerlukan penanganan profesional.
Mythomania atau mitomania merupakan kondisi psikiatris yang ditandai dengan kebiasaan berbohong yang terus-menerus, meluas, dan bahkan dilakukan secara kompulsif.
Fenomena ini menjadi sorotan publik setelah banyak pengguna TikTok mengunggah pengalaman pribadi atau pengamatan mereka terhadap individu yang dinilai sering menyebarkan informasi palsu secara konsisten.
Tak hanya mencengangkan, fenomena ini juga menimbulkan kekhawatiran mengenai kesehatan mental dan dinamika hubungan sosial di era digital.
Psikolog klinis Angellia Lestari Christiani menjelaskan bahwa mythomania sebenarnya dapat ditangani dengan beberapa pendekatan yang tepat.
Angellia menyebut bahwa terapi perilaku kognitif hingga pendekatan farmakologis bisa membantu individu yang mengalami gangguan ini.
Baca Juga: Wanita Berkumis Disebut Punya Nafsu Seksual Lebih Besar, Begini Fakta Medisnya
Menurutnya, penting untuk memahami bahwa penderita mythomania bukan hanya sekadar “tukang bohong”, tetapi membutuhkan penanganan profesional secara serius.
“Biasanya (mythomania) memang bisa diatasi dengan beberapa hal,” kata Angellia seperti dikutip dari Kompas, Jumat (6/6/2025).
Ia menekankan bahwa pendekatan yang tepat sangat krusial agar penderita tidak semakin terjerumus dalam kebiasaan bohong yang sulit dikendalikan.
Penanganan ini melibatkan pemahaman terhadap latar belakang psikologis dan pola pikir penderita yang menyebabkan kebohongan muncul berulang.
Berikut ini adalah beberapa cara menangani orang dengan mythomania menurut penjelasan psikolog:
1. Terapi Perilaku Kognitif (CBT)
Terapi perilaku kognitif atau cognitive behavioral therapy (CBT) menjadi salah satu metode utama dalam menangani mythomania.
Menurut Angellia, terapi ini membantu penderita untuk memahami dan mengubah pola pikir serta perilaku berbohong yang mungkin dilakukan secara tidak sadar.
“Terapi perilaku kognitif berguna untuk mengatasi masalah yang mendasari serta memodifikasi perilaku,” jelasnya.
Melalui pendekatan ini, pasien diajak untuk mengenali dorongan internal yang menyebabkan mereka berbohong, serta belajar teknik untuk mengelola dan mengurangi kecenderungan tersebut.
2. Penggunaan Obat-obatan
Dalam beberapa kasus, mythomania juga dapat ditangani dengan bantuan obat-obatan tertentu. Obat-obatan ini terutama digunakan bila penderita mengalami kondisi komorbid seperti depresi atau kecemasan yang memperparah kecenderungan untuk berbohong.
“SSRIs dan SNRIs dapat digunakan untuk menangani kondisi komorbid serta gejala yang berkaitan, seperti depresi atau kecemasan,” tutur Angellia.
SSRIs (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors) dan SNRIs (Serotonin-Norepinephrine Reuptake Inhibitors) bekerja menstabilkan kondisi psikologis penderita dan mengurangi impuls untuk berbohong secara kompulsif.
3. Menunjukkan Ketidaktertarikan terhadap Cerita Bohong
Salah satu cara sosial yang bisa dilakukan dalam menghadapi orang dengan mythomania adalah dengan tidak memberikan reaksi berlebihan terhadap kebohongannya.
Baca Juga: Pasca Melahirkan Sesar, Ini Jeda Waktu Dianjurkan Berhubungan Intim
Menurut Angellia, sikap ini terbukti lebih efektif daripada mengonfrontasi langsung kebohongan yang dibuat oleh penderita.
“Pendekatan yang agresif justru terbukti meningkatkan frekuensi perilaku berbohong,” katanya.
Ia menyarankan agar kita menunjukkan ketidaktertarikan terhadap kebohongan, tetapi tetap menunjukkan perhatian terhadap orang tersebut secara umum. Dengan demikian, penderita tidak merasa ditolak sepenuhnya, namun juga tidak mendapat “penguatan” dari kebohongannya.
Fenomena mythomania menjadi alarm penting bagi masyarakat digital untuk lebih peka terhadap kondisi psikologis yang tersembunyi di balik konten media sosial.
Di era ketika validitas informasi menjadi krusial, mitomania bisa menjadi pengganggu komunikasi dan kepercayaan. Hal ini tentu tidak hanya berdampak pada hubungan pribadi, tetapi juga menyangkut kredibilitas individu di ranah publik. (C)
Penulis: Ahmad Jaelani
Editor: Kardin
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS