COVID-19 dan Isi Perut
Penulis
Sabtu, 30 Mei 2020 / 12:27 pm
Antasalam Ajo, S.P, M.Si
Dosen Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Buton
Tak banyak yang duga munculnya virus corona. Begitu muncul langsung mematikan, penularan begitu cepat sedangkan obat belum ada. Banyak negara heboh, kaget, tak percaya hingga menimbulkan stres karena banyaknya korban yang meninggal.
Amerika saling tuduh dengan China. Negara Italia, konon dengan korban terbanyak yang sempat dialaminya menganggap virus corona ibarat perang dan pembantai yang menakutkan sehingga memberlakukan lockdown. Tak terkecuali, semua negara sibuk dan was-was, hingga sebagian besar negara menutup lalulintas ke luar masuk warga antar negara seperti pelabuhan dan bandara, serta perbatasan.
Segera ada kajian atau analisa dampak mengenai penyakit dari virus corona ini yang dipaparkan ke depan publik. Ada sajian menurut keahlian dan versinya masing-masing agar menjadi solusi yang ditawarkan dalam menghadapi penyebaran Coronavirus Disease, lalu diberi nama WHO sebagai COVID-19 ini. Bahkan ada juga yang melakukan penelitian guna memberi kontribusi bagi ilmu pengetahuan dan siapa tahu ‘dilirik’ dalam pengambilan keputusan.
Baca juga: Kembalinya Pendidikan Keluarga di Tengah Pandemi COVID-19
Juga, publik disuguhi pembahasan yang fokus kepada penanganan penyebaran virus dan penyakitnya, tenaga kesehatan, fasilitas, upaya pengadaan alat-alat kesehatan dan obat-obatan yang minim di berbagai tempat, hingga penentuan pemilihan kebijakan penanganan terbaik dari pemerintah pusat hingga daerah.
Namun ada hal yang sunyi-senyap dari banyak kajian meskipun sangat penting untuk diperhatikan terkait dampak COVID-19 ini, yaitu ‘isi perut’. Gara-gara ‘isi perut’ sempat terjadi sedikit ‘guncangan’ karena adanya kekhawatiran penerapan lockdown pada awalnya menyebabkan melonjaknya permintaan kebutuhan pokok terutama beras, naiknya harga-harga secara tak terkendali sebab kelangkaan, atau adanya kemungkinan permainan pelaku pasar demi keuntungan tapi merugikan orang banyak.
Padahal kebutuhan akan pangan adalah kebutuhan mendasar, yang dapat memicu kekacauan dan tindakan kriminal dalam skala luas. Saking pentingnya pangan, FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) mengingatkan akan ancaman krisis pangan akibat virus Corona. Hal yang sama juga diingatkan Presiden Jokowi.
Menariknya, kondisi ini membuat seakan-akan terjadi ‘kebingungan’ untuk menentukan prioritas antara menjaga stabilitas ekonomi termasuk ketersediaan pangan, atau menjaga warga negara agar tidak menjadi korban serangan wabah virus Corona yang cepat. Di antara keduanya seperti terlihat ada dikotomi (pembedaan).
Baca juga: Dampak Broadcast Informasi COVID-19 Melalui WhatsApp Terhadap Kecemasan
Padahal, kebutuhan akan isi perut adalah kebutuhan yang seumur dengan manusia, sebelum orang berbicara tentang kesehatan. Saat Nabi Adam (si manusia pertama) diciptakan dan berdiam di surga, Tuhan langsung menyiapkan kebutuhan pangannya. Setelah Adam dan Hawa turun ke bumi, maka persoalan pertama yang dihadapi juga adalah kebutuhan pangan. Begitu juga saat seorang bayi lahir, maka dia akan menangis karena kebutuhan pangan dan dekapan seorang ibu. Intinya, manusia akan marah besar dan mengamuk tak terkendali bila kebutuhan isi perutnya terancam.
Karena itu, dari sisi pembangunan dan prioritas dalam kehidupan, pembangunan bidang pertanian untuk menjamin tersedianya pangan adalah kebutuhan tertua yang harus diperhatikan. Selagi manusia hidup ia butun pangan.
Nah, mengenai darurat pandemi COVID-19 yang ‘terlihat’ menakutkan ini, memang argumen pentingnya kesiapan pangan tetap perlu diperkuat, baik melalui kegiatan usaha pangan di masyarakat seperti pertanian tanaman pangan, usaha dagang (bisnis) komoditas pertanian seperti sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman obat, hingga lembaga penyedia pangan pemerintah seperti Bulog, termasuk di antaranya promosi menanam di rumah-rumah perlu dijaga dan ditingkatkan guna mewujudkan ketahanan pangan di masyarakat. Di tingkat lokal atau daerah, perlu mendorong agar komoditi pangan andalan daerah terus digalakkan dan dijadikan sebagai alternatif pangan baru selain beras.
Kemudian, mengenai mana prioritas, apakah ketersediaan pangan atau mau difokuskan energi pada penanganan COVID-19 saja, tidak perlu dibuat dikotomi. Sementara ini, tulisan ini menyarankan sebaiknya dibuat saja keduanya seperti dua sisi mata uang, di mana keduanya saling melengkapi, atau tidak dipisahkan. Tapi arahnya harus jelas bagaimana pihak terkait khususnya negara beserta para pejabatnya memperlakukan, lalu secara bersamaan diterapkan dalam kehidupan di masyarakat secara luas.
Karena itu, tulisan ini menyarankan dua poin sebagai berikut: Pertama, biarlah penanganan masalah COVID-19 diserahkan sepenuhnya kepada pihak terkait, yaitu gugus yang telah dibentuk dari pusat hingga daerah, institusi kesehatan, pemerintah dan pihak terkait lainnya. Masyarakat tinggal mengambil bagiannya yaitu melaksanakan saja protokol kesehatan yang ada sesuai himbauan pemerintah, misalnya jaga jarak, pakai masker, sering cuci tangan, dan tidak berkeliaran ke luar rumah bila tidak penting atau mendesak, serta aktif mengecek kesehatan bila mengalami gejala serangan virus.
Dengan pilihan ini, maka tidak banyak energi yang terbuang percuma sebab ketakutan berlebihan terkena virus corona, seperti selama ini terjadi. Mewujudkan semangat positif manfaatnya akan meningkatkan imun tubuh terhadap potensi serangan penyakit. Begitu kata banyak ahli. Jadi mengurangi kepanikan.
Kedua, masalah “isi perut” tidak perlu terlalu dikhawatirkan apalagi menimbulkan kepanikan. Oleh sebab di bidang pemerintahan sudah ada yang menangani. Di masyarakat kegiatan usaha kecil hingga menengah sebagai pelaku bisnis pangan (pedagang), petani, pelaku agribisnis lain, pasar-pasar di mana banyak kebutuhan pangan tersedia dan lain-lain, diperlakukan protokol yang ketat namun tidak terlalu dibatasi.
Baca juga: Diskusi Demokrasi di Tengah Pandemi
Bahkan agar tidak was-was, di banyak tempat sistem pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat di masa darurat COVID-19 ini menggunakan sistem antar jemput seperti sistem pasar online. Untuk ketahananan pangan keluarga bisa menggalakkan menanam di rumah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Nah, ini yang perlu dipacu.
Hingga saat ini, dengan semakin meningkatknya tren jumlah korban terpapar COVID-19 di negeri ini, membuat situasi kedaruratan semakin meningkat. Jumlah korban menurut data Gugus Tugas Covid-19 Nasional hingga tanggal 27 Mei 2020 mencapai positif 23.851 kasus, sembuh 6.057, dan meninggal 1.473. Info grafis menunjukkan hal itu. Ini tentu tidak boleh dibiarkan.
Perlu ketegasan, kejelasan, keteladanan, dan langkah-langkah yang terukur semua pihak terkait terutama dari pihak pemerintah. Sebagai pemimpin negara di situasi krisis seperti ini, Presiden Jokowi memimpin dan memegang tanggung jawab ini. Lalu rakyat memenuhi berbagai protokol kesehatan menghadapi COVID-19 dengan baik dan benar. Himbauan seperti fokus bekerja di rumah adalah salah satu solusi dan bisa menjadi kebiasaan baru. Kalau tidak, tampaknya kasus COVID-19 ini belum akan berhenti sampai waktu yang tidak diketahui.
Baca juga: Mendadak E-Learning
Fokus pada 2 Kekuatan Pangan
Pada sisi terjaminnya kebutuhan akan pangan, mau atau tidak diperlukan upaya untuk bertumpu pada kekuatan sendiri. Sebab kekuatan sendiri adalah kekayaan terbesar dan dengan sendirinya atau otomatis akan ikut memperkuat ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat juga.
Kekuatan 1. Negeri ini adalah negeri yang telah dikaruniakan kekayaan alam yang luar biasa dan dikenal sebagai negara agraris dalam sejarah. Pemenuhan kebutuhan mendasar berupa pangan yang terjamin sudah semestinya selalu didengungkan, dan karenanya bukan hal yang sulit untuk diwujudkan.
Di masa Orde Baru secara nasional pemerintah bersama rakyat berhasil mewujudkan kemandirian pangan yang dikenal sebagai swasembada pangan (beras) yang berhasil, dan bahkan hingga bisa memenuhi kebutuhan ekspor. Sudah selayaknya posisi ini direbut kembali.
Kekuatan 2. Namun pada sisi lain, diversifikasi pangan dengan memperkuat pangan unggulan daerah atau pangan lokal sebagai alternatif dari beras. Kalau sudah terkait makanan lokal, maka tak akan jauh dari masyarakat kecil seperti petani, kalangan usaha mikro kecil hingga menengah dan pendukung-pendukungnya.
Baca juga: Di Tengah Ketidakpastian Meraih Kemenangan
Di antara caranya adalah memperkuat pangan sebagai komoditas ekonomi sebagai bisnis yang menguntungkan dan membawa kesejahteraan. Dengan memadainya pembangunan ekonomi masyarakat yang dimulai dari pedesaan, maka kota juga akan ikut mendapatkan manfaatnya.
Semangat gotong royong, saling peduli, atau membantu sesama warga bangsa dalam menghadapi dua tantangan tersebut, tampaknya semakin meningkat. Pada satu sisi tumbuh kepedulian terhadap kesehatan, namun di sisi lain pemenuhan kebutuhan pokok atau pangan masyarakat (isi perut) semakin banyak terlihat. Buktinya adanya aksi-aksi sosial yang banyak dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat guna meringankan beban masyarakat yang terkena dampak COVID-19 secara langsung di berbagai tempat.
Menghadapi situasi darurat yang belum jelas ujungnya kapan selesai ini, tentu akan menimbulkan masalah ekonomi dan sosial yang baru, karena dibatasinya gerakan mobilitas masyarakat, dan terkait ekonomi akan terjadi perlambatan pertumbuhan, serta diperkirakan munculnya kemiskinan baru. Karena itu membangun solidaritas di antara sesama anak bangsa merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Bila diibaratkan ini adalah badai, insya Allah badai akan segera berlalu. Tentu saja dengan kecepatan, ketegasan, kedisiplinan, dan kebersamaan semua pihak sangat dibutuhkan. Harapan terbesar adalah adanya obat penyakit COVID-19 semoga bisa segera ditemukan dan dapat digunakan untuk mengobati semua pihak terpapar tanpa kecuali, agar masa darurat bisa berakhir dan kehidupan bisa normal seperti sedia kala. (*)