Di Tengah Ketidakpastian Meraih Kemenangan

M. Najib Husain, telisik indonesia
Sabtu, 23 Mei 2020
0 dilihat
Di Tengah Ketidakpastian Meraih Kemenangan
Dr. M. Najib Husain, dosen FISIP UHO. Foto: Ist.

" Teori pengurangan ketidakpastian (uncertainty reduction theory) dipelopori oleh Charles Berger dan Ricard Calabresse pada tahun 1975 yang menyatakan bahwa komunikasi merupakan alat untuk mengurangi ketidakpastian, sehingga saat ketidakpastian itu berkurang maka akan tercipta suasana yang kondusif. "

Dr. M. Najib Husain

Dosen FISIP UHO

Teori pengurangan ketidakpastian (uncertainty reduction theory) dipelopori oleh Charles Berger dan Ricard Calabresse pada tahun 1975 yang menyatakan bahwa komunikasi merupakan alat untuk mengurangi ketidakpastian, sehingga saat ketidakpastian itu berkurang maka akan tercipta suasana yang kondusif.

Saya pernah menegur sahabat saya kenapa harus “bermesra-mesraan” dengan lawan politik, sahabat saya berkata lawan politik jangan dijauhi dan dimusuhi tapi harus didekati dan harus semakin rapat agar kita bisa tahu dimana kelemahan dan kelebihan serta strategi apa yang akan diambil ke depan, jika memasang jarak akan menyebabkan kita buta dan akan sulit untuk mengetahui lawan kita dan sudah pasti sulit untuk mengalahkannya.

Makanya kata sahabat saya, kalau masuk dunia politik jangan “baper” karena dalam politik hanya kepentingan yang kekal dan itu pasti bro.  

Baca juga: Bermain dalam Pesta Demokrasi

Kalau hari ini Pak Jokowi mengatakan harus berdamai dengan corona dan bukan melawan serta berhadap-hadapan dengan corona serta menjadikan musuh, maka itu berarti kita diajarkan untuk bersahabat dengan corona agar dapat mengetahui cara dan obat apa yang bisa mematikan dan menghentikan virus corona, dan bukti perdamaian itu dibuktikan dengan membuat konser amal corona, mungkin karena corona lebih senang jika dihibur dengan lagu dalam sebuah konser apalagi dengar suara merdu Bimbo.

Wajarlah jika warga Indonesia semakin banyak yang menyepelekan bahaya penyebaran virus COVID-19, sehingga muncul orang-orang yang menolak social distancing dan ramai memburu diskon baju lebaran yang akan digunakan dan dipamerkan di dalam rumah, warga kita tidak mau lagi pakai masker saat keluar rumah dan melawan arahan dari petugas.

Warga kita yang menolak untuk tidak mudik karena sudah jadi tradisi, menolak isolasi diri/karatina karena tempatnya bukan di hotel tapi di tengah hutan, dan kesombongan diri yang  membanggakan kekebalan tubuh tidak akan ditembus virus.  

Semua ini perilaku warga Indonesia yang muncul dari wajah perilaku para pemimpinnya  yang hari ini diistilahkan covidiot. Sayangnya setelah dibuatkan konser ternyata corona makin menggila dan semoga tidak semakin menggila.

Baca juga: Pilihan Antara Sebab atau Akibat

Rekor penambahan tertinggi positif virus corona terpecahkan kemarin (21/5/2020) sejak Jokowi pertama kali mengumumkan adanya positif corona di Indonesia,  hampir 1.000 orang penambahannya atau sebanyak 973 kasus baru (19.189 positif) dengan jumlah yang sembuh sebanyak 4.838 dan 1.278 orang pasien corona yang meninggal.

Pertanyaan apakah pemerintah bisa bertanggung jawab terhadap kematian 1.278 orang warganya, inikah bukti new normal atau abnormal yang dijual di mana-mana.    

Saat ini betul-betul kita hidup dengan suasana ketidakpastian, dulu jika mau lebaran yang menjadi pemikiran kita adalah apakah lebaran tahun ini akan bersamaan lebaran versi Muhammadiyah dan NU atau tidak. Namun  hari ini semua penuh ketidakjelasan sepertinya tidak ada lagi teori komunikasi yang bisa menjelaskan bagaimana jalan keluar dari semua ini.

Di tim inti penanganan COVID-19 Provinsi Sulawesi Tenggara bekerja dengan rasa was-was karena sudah ada 2 tim inti/pemain depan (berposisi sebagai penyerang) yang harus diganti di tengah “peperangan” yang sementara bekerja dalam menangani dan mencegah semakin meluasnya virus corona yang sampai saat ini telah mencapai 202 orang positif dan hampir semua kab/kota di Sultra masuk zona merah.

Baca juga: Muhasabah: Refleksi Komunikasi Politik di Masa Pandemi

Sebuah pergantian yang sangat berisiko karena sudah pasti hadirnya “pemain” baru akan merubah pola dalam cara kerja penanganan virus COVID-19, namun dalam permainan catur dikenal ada 99 persen taktik jadi kita lihat saja bagaimana pion-pion ini mainkan dan mampu mengambil langkah-langkah taktis dalam penanganan COVID-19, walaupun tampaknya aneh (meminjam istilah mantan mahasiswa) buat saya dalam sebuah percaturan politik.

Saat ini banyak yang berharap-harap cemas apa dapat bantuan sosial (bansos) atau tidak,  karena bisa jadi bansos ini akan menjadi sumber perpecahan di kampung yang disebabkan salah sasaran dan dananya disunat atau karena bukan ring satu aparat desa.

Saat ini banyak yang berpikir apakah akan salat Idul Fitri di lapangan atau di masjid atau di rumah (ikut MUI atau perintah Pemerintah Daerah). Saat ini banyak pengantin baru yang galau kapan resepsi perkawinan mereka akan dilaksanakan karena COVID-19 tidak jelas kapan perginya dan jika benar prediksi pandemi akan berakhir pada 28 Oktober 2020 (sumber: Singapore of University Tecnology and Design) maka pestanya semakin tidak jelas dan bisa jadi keburu lahir si “otong.”

Saat ini KPU RI pun dalam dilema apakah mematuhi perintah Perppu untuk melaksanakan pilkada di bulan Desember atau menolak. Pertanyaan masih adakah keberanian untuk menentukan sikap hari ini KPU RI.

Baca juga: Politisi Berempati, Bukan Pencitraan

Belum cukupkah dengan kematian ratusan petugas penyelenggara pemilu di Indonesia tahun 2019, dan di Sulawesi Tenggara sakitnya 436 penyelenggara pemilu dan meninggalnya 6 orang badan adhoc, apakah ini bukan pelajaran bagi demokrasi di Indonesia agar lebih berhati-hati dan memikirkan secara komprehensif semua efek yang akan ditimbulkan, karena pemilu kita bukan hanya mahal tapi telah mengorbankan nyawa banyak orang yang sampai saat ini masih menunggu santunan dari KPU yang tidak jelas.          

Semua uraian di atas jelas penuh dengan ketidakpastian serta keraguan dan yang pasti hanya satu bahwa bulan Ramadan pasti berlalu dan akan membawa catatan berbagai ibadah yang dilakukan di hadapan Sang Khalik dan akan memvonis apakah kita termasuk orang-orang yang bertakwa atau tidak.

Sang Khalik yang jauh lebih tahu dari Bawaslu,  apakah bantuan dari 7 petahana di Sultra hari ini pada warganya adalah bantuan  pencitraan agar bisa dipilih kembali atau sebuah keikhlasan. Namun, yang pasti kita sudah menang melawan “setan” karena telah menyelesaikan puasa selama 30 hari walaupun dalam suasana ketidakpastian.  

Semoga tahun depan kita tetap sehat dan panjang umur sehingga dapat dipertemukan kembali dan momentum untuk semua bercerita bagaimana pengalaman berpuasa saat pandemi COVID-19, saat di Kota Kendari terjadi panic buying karena kebijakan walikota yang tidak disosialisasikan dengan baik, dan semua pengalaman lain akan jadi sebuah sejarah jika bertemu Ramadan tahun depan.  

Selamat hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1441 H/2020 M, minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin. (*)

Artikel Terkait
Kelapa

Kelapa

Kolumnis Minggu, 29 Maret 2020
Baca Juga