New Normal tapi Bukan Abnormal
Kolumnis
Minggu, 31 Mei 2020 / 7:44 am
Oleh Dr. M. Najib Husain
Dosen FISIP UHO
Salah satu tulisan saya yang lalu, telah menyinggung tentang judul di atas. Melihat kondisi di lapangan, dimana masyarakat belum disiplin menjalankan protokol kesehatan untuk memutus penyebaran virus COVID-19, dengan tetap menggunakan masker saat keluar rumah. Terlihat, masih banyak yang beraktivitas di luar rumah tidak menggunakan masker.
Di pasar dan pusat perbelanjaan ditemukan masyarakat yang berdesak-desakan dan tidak menjaga jarak dan tidak adanya pembatasan jumlah orang dalam suatu tempat pertemuan. Namun, tiba-tiba pemerintah membuat kebijakan untuk menjalankan program new normal. Hal ini bisa menjadi abnormal jika melihat data perkembangan kasus positif corona dalam 3 hari terakhir di mana jumlah tidak pernah turun menjadi 500 kasus.
Ada 686 kasus positif pada 27 Mei 2020, 687 kasus positif pada 28 Mei 2020, 678 kasus positif pada 29 Mei 2020, Sultra data 29 Mei 2020 menunjukkan adanya 241 kasus positif corona dan 112 sembuh dan 4 yang meninggal. Tingkat kesembuhan sudah mencapai 46, 47%.
Baca juga: Di Tengah Ketidakpastian Meraih Kemenangan
Ini artinya virus corona masih ada di tengah-tengah masyarakat lalu pemerintah berani mengambil risiko untuk menjalankan kebijakan new normal saat kondisi yang abnormal.
Data-data tersebut menunjukkan bahwa grafik kasus positif corona masih curva yang naik untuk korban dan penderita COVID-19 masih tinggi.
Di mana sistem kesehatan kita belum mampu secara simultan menangani korban dan penderita COVID-19 dengan jumlah masif. Itu artinya kita harus mengambil risiko paling kecil dan tidak mengorbankan banyak jiwa rakyat dengan tetap tinggal di rumah.
Karena dengan “memaksakan” masyarakat untuk masuk dalam sebuah tatanan kehidupan baru untuk melakukan perubahan perilaku dengan tetap menjalankan aktivitas normal agar tetap produktif, yang dimulai dengan dibuka kembali pusat-pusat perbelanjaan, dibukanya kembali perkantoran serta dibuka kembali kegiatan belajar mengajar di sekolah pada pertengahan bulan Juli sama dengan menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pada masyarakat. Lalu, pertanyaannya di mana tanggung jawab negara?
Baca juga: Bermain dalam Pesta Demokrasi
Sama dengan kesepakatan pemerintah, DPR dan KPU RI untuk tetap melaksanakan Pilkada 9 Desember 2020. KPU RI dan pemerintah serta DPR seharusnya belajar dari sebuah tragedi di Pemilu 2019 yang menyebabkan meninggalnya 894 orang badan penyelenggara adhoc, dan yang sakit ada 5.175 orang.
Di dalamnya ada penyelenggara pemilu dari Provinsi Sulawesi Tenggara, yang pasca Pemilu 2019 ditemukan ada 436 orang yang sakit dan meninggal 6 orang. Tragedi itu terjadi di saat tidak ada bencana.
Lalu, bagaimana dengan saat ini yang akan melaksanakan Pilkada di tengah bencana COVID-19, apakah ada jaminan bahwa keselamatan penyelenggara pemilu akan terjaga? Atau benar yang saya katakan sebelumnya, bahwa kita lagi bermain-main dengan pesta demokrasi.
Baca juga: Pilihan Antara Sebab atau Akibat
Saat pemerintah ditanya apa dasarnya akan menjalankan kebijakan new normal, lebih banyak jawaban yang muncul atas dasar keyakinan, pemerintah tidak bisa menyerah dan hanya mengikuti trend dunia dalam penanganan COVID-19, yang saat ini lebih banyak memilih pendekatan new normal.
Semua kebijakan penanganan COVID-19 harus didasarkan atas pertimbangan yang ilmiah, yang didukung oleh data kualitatif dan data kuantitatif dan bukan hanya keyakinan.
Yang perlu dipikirkan adalah, jika kebijakan new normal yang dimulai bulan Juni ternyata menyebabkan terjadinya tsunami positif corona atau gelombang kedua (secondary wave) penularan virus corona COVID-19, apa langkah-langkah yang akan diambil pemerintah?
Bukan kemudian seperti jawaban salah satu pembantu Presiden Jokowi saat ditanya, jika program new normal ini gagal apa yang akan dilakukan pemerintah? Jawaban pembantu presiden, bahwa jika gagal maka kebijakan ini akan dihentikan. Ini nyawa manusia, pak menteri! (*)