Bermain dalam Pesta Demokrasi

M. Najib Husain, telisik indonesia
Sabtu, 09 Mei 2020
0 dilihat
Bermain dalam Pesta Demokrasi
Dr. M. Najib Husain, dosen FISIP UHO. Foto: Ist.

" Di era demokratisasi yang ditandai dengan pemilihan kepala daerah (Pemilukada) secara langsung telah menjadikan pemilukada sebagai arena kompetisi yang mahal, sejak 2004 hingga 2018, pilkada sebagai pesta demokrasi selain memberikan sisi positif juga memberikan sisi negatif, diantaranya konflik sosial berbasis identitas, keterbelahan masyarakat dalam dua kubu yang bertentangan dan memicu kerawanan sosial, serta biaya yang sangat tinggi. "

Dr. M. Najib Husain

Dosen FISIP UHO  

Konsolidasi demokrasi di tingkat lokal diyakini menjadi bagian yang krusial dalam mewujudkan konsolidasi tingkat nasional secara lebih kokoh dan demokratis (Titi Anggraini, 2011)

Di era demokratisasi yang ditandai dengan pemilihan kepala daerah (Pemilukada) secara langsung telah menjadikan pemilukada sebagai arena kompetisi yang mahal, sejak 2004 hingga 2018, pilkada sebagai pesta demokrasi selain memberikan sisi positif juga memberikan sisi negatif, diantaranya konflik sosial berbasis identitas, keterbelahan masyarakat dalam dua kubu yang bertentangan dan memicu kerawanan sosial, serta biaya yang sangat tinggi.

Sisi negatif pelaksanaan pilkada ditemukan  bukan saat pilkada dalam keadaan kondisi seperti yang tidak menentu saat ini, apalagi jika akan menyelenggarakan pilkada 2020  pada 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota di tengah pandemi corona sudah pasti permasalahan akan lebih kompleks mulai dari nasib Badan Adhoc KPU yang sudah terpilih akan merana karena ketidakjelasan dan ketidakpastian hidup.

Baca juga: Pilihan Antara Sebab atau Akibat

DPT yang bermasalah karena dikerjakan tergesa-gesa, ketidakjelasan verifikasi dukungan calon independen, vote buying yang dibungkus dengan alasan menolong warga terkena dampak COVID-19, logistik pemilu yang telat, perhitungan suara di TPS yang tidak membuka ruang bagi para saksi karena alasan pembatasan dan jaga jarak, serta berita hoaks yang bersebaran di dunia maya.

Jika tetap memaksakan diri melaksanakan pilkada Desember 2020 sudah pasti di setiap TPS akan kita temukan petugas TPS dan para pemilih yang akan menggunakan masker, wadah air cuci tangan, hand sanitizer, termometer pengukur suhu badan.  

Kecemasan ini juga yang terlihat di beranda Facebook Bang Hadar Nafis Gumay dengan memberi judul tulisan pendeknya Perppu ‘Coba2’, tulisan pendek ini lahir sebagai respon dari terbitnya Perppu No 2 Tahun 2020 tentang Pilkada yang sekarang ditunda akan dilanjutkan dengan pemungutan suara pada bulan Desember 2020.

Jika nanti ternyata tidak dapat dilaksanakan karena bencana (corona) belum berakhir, maka akan ditunda dan dijadwal kembali. Saya sempat bekerja tiga bulan bersama Bang Hadar saat sama-sama sebagai Tim Seleksi Anggota KPU Prov Sultra tahun 2018 dan saya mengenal karakter beliau yang jujur, tegas tapi  lembut dan santun.

Baca juga: Muhasabah: Refleksi Komunikasi Politik di Masa Pandemi

Hari ini Bang Hadar sangat berbeda yang bisa terbaca dari postingan tulisan pendeknya, apakah ini ungkapan dari kekesalan beliau selama ini dan baru diungkapkan terhadap kinerja para yuniornya di komisioner KPU RI yang hari ini dipertanyakan kemandirian dan konsistensinya.

Karena saat ini sudah dua orang yang diberhentikan oleh DKPP dengan kasus telah meruntuhkan marwah KPU yaitu masalah integritas yang selama ini menjadi benteng terakhir bagi penyelenggara pemilu dalam melaksanakan tugas suci dan yang menjadi tolak ukur masyarakat untuk melihat independensi penyelenggara pemilu.    

Sebenarnya pemerintah telah diberikan tiga usulan opsi pilkada 2020 oleh KPU RI, opsi pertama pilkada dilakukan pada 9 Desember 2020, opsi kedua dilakukan pada Maret 2021 dan opsi ketiga pada 29 September 2021. Dari tiga opsi tersebut jika dihubungkan dengan perkembangan virus corona di Indonesia memang sangat menghawatirkan jika memilih opsi pertama.

Hal ini yang juga menjadi “penolakan” Bang Hadar jika pilkada serentak akan dilaksanakan Desember 2020 yang artinya tahapan pilkada sudah harus dimulai pada Juni 2020 dan kemungkinan virus corona belum benar-benar hilang di Provinsi Sulawesi Tenggara.

Baca juga: Mengukur Kepedulian Calon Kepala Daerah di Masa Krisis

Pendapat saya lebih aman jika memilih opsi kedua karena pertimbangannya tidak tergesa-gesa dan juga tidak terlalu lama dan keselamatan dan kesehatan publik tetap terjaga dan kualitas hasil pemilu jauh lebih terjaga. Apalagi ini adalah pesta bagi rakyat dan bukan pesta bagi pemerintah atau elit tertentu saja, masa ada pesta dalam suasana kecemasan.

Walaupun Plato kemungkinan besar berpendapat bahwa demokrasi melahirkan pemimpin dan yang dipimpin dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat merupakan suatu impian belaka. Karena pada kenyataannya demokrasi hanya melahirkan segelintir orang mengatasnamakan seluruh rakyat.

Legitimasi memerintah atas nama orang banyak tersebut ternyata akan melahirkan bentuk pemerintahan tirani ketimbang demokratis. Pandangan terhadap demokrasi sebagai pemerintahan mengacu pada kehendak rakyat merupakan ide demokrasi tradisional.  

Artinya demokrasi tradisional sangatlah bercirikan moral, pertimbangan emosional ketimbang rasional. Dalam Capitalism, Socialism, and Democracy, Schumpeter mengatakan kekurangan teori demokrasi klasik tersebut yang selalu menghubungkan antara kehendak rakyat (the will of the people) dan sumber serta bertujuan demi kebaikan bersama (the common good).  

Baca juga: Politisi Berempati, Bukan Pencitraan

Schumpeter kemudian mengusulkan “teori lain mengenai demokrasi” atau “metode demokrasi” memaknai demokrasi dari sudut prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di dalamnya setiap individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetititf dalam rangka memperoleh dukungan berupa suara rakyat.  

Demokrasi pada taraf metode tidak melibatkan unsur emosi lagi, akan tetapi lebih menekankan pada akal sehat. Dengan akal sehat inilah maka seharusnya pemerintah tidak mengeluarkan Perppu yang galau,

Semoga KPU, pemerintah dan DPR RI lebih bijak dan lebih tenang dan tidak berspekulasi atau bermain-main untuk masa depan 270 daerah di Indonesia yang di dalamnya ada 7 kabupaten di Sulawesi Tenggara karena  jangan sampai pilkada rasa iklan, seperti iklan  Cap Lang: “buat anak, kok coba-coba.“ (*)

Artikel Terkait
Kelapa

Kelapa

Kolumnis Minggu, 29 Maret 2020
Atlit

Atlit

Kolumnis Selasa, 17 Maret 2020
Baca Juga