Relawan Jokowi Ibarat Faksi dari PDI Perjuangan
Kolumnis
Minggu, 20 Juni 2021 / 2:54 pm
Oleh: Efriza
Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan
FENOMENA relawan politik memang tak dimungkiri merebak di era kemunculan Joko Widodo (Jokowi) yang kala itu dijagokan untuk maju dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta tahun 2012 silam.
Relawan politik akhirnya dirawat oleh Joko Widodo, bahkan mendapatkan apresiasi terhormat dibandingkan massa dari partai politiknya sendiri yakni PDI Perjuangan.
Dapat dipahami dari pidato Jokowi di acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas Sekretariat Nasional/Seknas Jokowi) secara virtual dari Istana Negara Jakarta, Sabtu 12 Juni 2021, yang mengungkapkan “Relawan Jokowi termasuk Seknas sudah terbukti menjadikan saya sebagai presiden 2 periode,”ujar Jokowi dalam pidatonya.
Dalam pidatonya Presiden Jokowi juga menekankan agar relawan jokowi untuk menahan diri terlebih dahulu dalam tarik menarik kepentingan untuk mendukung calon presiden pada Pemilu 2024 mendatang. Ia pun menyatakan relawan Jokowi ini seksi, sehingga menjadi daya tarik oleh para calon yang ingin maju pada Pilpres 2024.
Posisi Presiden Jokowi di dalam PDI Perjuangan tidaklah memiliki posisi tawar yang kuat. Tetapi kekuatan relawan Jokowi yang besar ini bagai faksi di tubuh PDI Perjuangan.
Relawan Jokowi hingga kini dianggap solid dalam komando Presiden Jokowi, realitas ini akan menghadirkan kegelisahan, bahkan mengganggu hak prerogatif Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan dalam memutuskan calon presiden dari PDI Perjuangan maupun pasangan calon presiden dan wakil presidennya.
Ini dibuktikan, gonjang-ganjing saat ini antara Puan dan Ganjar Pranowo, serasa tenang di internal PDI Perjuangan. Padahal gejolak begitu kencang di dalamnya. Lihat saja, begitu kencangnya, akhirnya pendukung Puan pun menunjukkan ketidaksolidan, mereka serasa mengangkat Puan sekaligus menjatuhkannya, dengan menyamakan Puan seperti minuman Teh Botol Sosro, “Siapapun capresnya, Puan cawapresnya.” Tulisan ini ingin menguraikan kekuatan Jokowi dan relawannya dalam penentuan calon presiden di Pilpres 2024 mendatang.
Relawan dan Kader Partai
Fenomena relawan Jokowi sejak di Pilkada hingga dua kali Pilpres yang solid mendukung dan memenangkan Jokowi, pada dasarnya menimbulkan kejengkelan di hati para kader PDI Perjuangan. Kader partai selalu diibaratkan mesin partai, mereka yang berjuang di lapangan dengan membawa citra partai. Tetapi kader partai, harus diakui sulit menembus wilayah-wilayah yang memang telah dikuasai oleh partai-partai lain.
Sedangkan relawan politik ini, acapkali disebut simpatisan. Mereka adalah masyarakat umum yang tidak terafiliasi pada salah satu partai politik tetapi tergerak untuk mendukung partai atau bakal calon yang dipandang menyuarakan aspirasi masyarakat.
Munculnya relawan dianggap berdasarkan budaya masyarakat yang bersifat gotong royong, pengejawantahan nilai kemanusiaan itu sendiri, (Kirstin Samah dan Fransisca Ria Susanti, 2011, xxiv). Sayangnya, awalnya relawan dianggap lahir dari semangat kemanusiaan, secara sukarela, tetapi fenomena relawan politik tentu saja ada pamrihnya.
Relawan tentu lebih dapat diterima oleh masyarakat. Mereka kerap dianggap merupakan kesadaran dari masyarakat itu sendiri. Sehingga, sekat-sekat wilayah yang tak bisa ditembus oleh para kader partai, bisa dilakukan oleh relawan.
Namun sayangnya, kehadiran relawan politik ini malah menunjukkan bahwa partai politik di Indonesia sedang mengalami kemerosotan kepercayaan di tingkat masyarakat.
Masyarakat di era reformasi ini kecenderungan terbesar tidak terafiliasi oleh partai politik, bahkan masyarakat lebih memilih sosok kandidat dibandingkan partai politik. Lihat saja, fenomena keterpilihan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jokowi, maupun Anies Baswedan, suatu pembuktian sosok kandidat lebih penting daripada partai politiknya.
Meski demikian, kehadiran relawan, tidak sepenuhnya menunjukkan keberpihakan kader-kader partai terhadap kehadiran mereka. Apalagi jasa kader-kader partai yang turut hadir membesarkan sosok kandidat, mengusung kandidat, berpeluh keringat menemani kandidat dalam kampanye sebagai mesin partai, bahkan turut hadir langsung sebagai bagian yang sah dalam mengawal perolehan suara di tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS), kader partai dianggap bagai angin lalu ketika kandidat terpilih.
Penafsiran ini bisa kita lihat, apakah dalam pembagian jabatan ala Presiden Jokowi, ada nama-nama dari pengurus tingkat masyarakat dari partai politik, seperti dari tingkat DPC.
Nyatanya memang nihil, bahkan diragukan akan tiba-tiba namanya menduduki kursi komisaris. Ini bukan soal semata karena keputusan di tingkat DPP, tetapi merawat relawan dianggap lebih penting dibandingkan mengingat jasa kawan sendiri yang pasti akan selalu mendukungnya.
Baca juga: Presiden Jokowi yang Terbebani Berbagai Kepentingan
Faksi di PDI Perjuangan
Pernyataan Jokowi yang nantinya akan mengarahkan relawan dalam Pilpres 2024 mendatang. Menunjukkan pesan dari Jokowi bahwa posisi ia adalah seimbang dengan Megawati sebagai ketua umum partai.
Misalnya, gerak politik relawan Jokowi di Jawa Tengah, yang sudah menunjukkan keinginan mendukung Ganjar Pranowo, merupakan upaya menekan dan mengirimkan pesan dalam mengganggu keputusan prerogatif Megawati sebagai ketua umum PDI Perjuangan.
Apakah ini akan berhasil? Tentu saja, kemungkinan besar akan sukses. Ada preseden yang kita bisa pelajari, ketika Megawati akhirnya terpengaruh oleh gerak politik relawan, pada Pilkada 2012, Pilpres 2014, bahkan Pilkada 2017 lalu ketika PDI Perjuangan memilih mendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat, padahal saat itu Ahok didorong maju melalui jalur independen.
Saat itu, pada awalnya kader PDIP tidak menunjukkan dukungan kepada Ahok, mereka lebih menginginkan mengusung kadernya sendiri, tentu saja keputusan Megawati yang membuat mereka berbalik arah mendukung Ahok. Ini tentu saja menghadirkan dilema hati, saat berkampanye memenangkan Ahok.
Baca juga: Popularitas Puan versus Tuan (Ganjar) Menuju Pilpres 2024
Dilema Merawat Relawan
Gerak politik relawan ini adalah dilema, di satu sisi dapat menyenangkan dalam mempengaruhi peningkatan popularitas PDI Perjuangan tetapi juga sekaligus dapat memerosotkan popularitas PDI Perjuangan.
Seperti, joke yang dilakukan berupa deklarasi Relawan Joko Widodo-Prabowo Subianto (Jokpro) 2024, melalui penasehatnya yakni M. Qodari yang adalah Direktur Eksekutif dari lembaga Survei Indo Barometer (IB). Tujuan pembentukan relawan ini, bagi Penulis, hanya ingin mengingatkan dan memberi pesan kepada Jokowi agar kekuasaan jangan sampai membuat ia khilaf.
Sebab, memang wacana yang hadir dari para relawan Jokowi, malah akan mencederai Jokowi dalam semangat demokrasi dan reformasi. Seperti dorongan agar Jokowi mencalonkan diri sebagai presiden untuk tiga periode, hadir dari relawan Jokowi sendiri.
Relawan politik Jokowi pada dasarnya acapkali mengganggu kerja presiden. Meski relawan adalah kekuatan politik Jokowi. Tetapi relawan politik tak sepenuhnya dapat dianggap benar-benar solid dalam mendukung Presiden Jokowi.
Seperti kasus Presiden Jokowi yang limbung, ketika digertak oleh Relawan Pro Jokowi (Projo) yang menyatakan akan menarik diri sebagai pendukung, karena Presiden Jokowi mengajak Prabowo Subianto yang adalah rival Jokowi di Pilpres malah diangkat sebagai pembantu presiden, akhirnya, kursi wakil menteri desa di share untuk mewakili kelompok relawan tersebut, (Telisik.id, 13 Juni 2021).
Ending-nya adalah relawan Projo tetap mendukung Jokowi dan bahkan siap bekerjasama dengan Prabowo Subianto setelah dapat kursi wakil menteri.
Kerja Jokowi sebagai presiden juga acapkali terganggu dengan malah sibuk terperangkap urusan Pilpres 2024 mendatang. Seperti Presiden Jokowi malah berjanji akan mengarahkan relawan Jokowi, nanti pada saatnya kemudinya akan diarahkan dari kapal besar relawan Jokowi.
Saking riuhnya gerak politik relawan yang menunjukkan ketidaksolidan, Presiden Jokowi juga mengingatkan bahkan mengesankan memohon, agar para relawan Jokowi bisa fokus membantu presiden untuk turut mengatasi pandemi COVID-19 yang sedang melanda. Apalagi pandemi COVID-19 saat ini sedang memasuki dua krisis sekaligus yakni krisis kesehatan dan krisis ekonomi.
Berdasarkan realitas di atas, memang sebaiknya Presiden Jokowi mulai mengendurkan peranannya dalam merawat relawan politik Jokowi. Sebab, pada dasarnya relawan politik ini akan terus bergerak mengikuti wacana politik yang berkembang, sementara pemerintah harus berfokus kepada upaya mengatasi krisis dan mengatasi pandemi COVID-19 yang sedang meningkat drastis kembali.
Merawat dukungan relawan malah akan menyebabkan pemerintah terjebak merespons isu per-hari dalam gerak politik yang semakin hari, malah semakin memanas. Saat ini waktu yang tepat, bagi Presiden Jokowi untuk tidak lagi terjebak pada wacana politik praktis menjelang Pemilu 2024 mendatang.
Posisi Presiden Jokowi sebagai king maker pada Pilpres 2024 mendatang, sebaiknya malah tidak banyak merespons dan cenderung memilih diam sambil mengamati, agar fokus dan kerja pemerintah dapat berjalan dengan baik, di sisi yang lain keputusan Jokowi akan ditunggu-tunggu seperti pelangi yang ditunggu setelah hujan. (*)