Ekspor CPO dan Kebijakan Setengah Hati Atasi Kelangkaan Minyak Goreng
Nurhayati , telisik indonesia
Sabtu, 07 Mei 2022
0 dilihat
Nurhayati, S.S.T, Pemerhati Kebijakan Publik. Foto: Ist.
" Meski sempat mengalami kelangkaan setelah keluarnya kebijakan baru yakni dicabutnya kebijakan HET, minyak goreng kembali memenuhi etalase-etalase toko dengan harga dua kali lipat dari harga sebelumnya "
Oleh: Nurhayati, S.S.T
Pemerhati Kebijakan Publik
BEBERAPA waktu lalu minyak goreng masih naik daun alias naik harga. Meski sempat mengalami kelangkaan setelah keluarnya kebijakan baru yakni dicabutnya kebijakan HET, minyak goreng kembali memenuhi etalase-etalase toko dengan harga dua kali lipat dari harga sebelumnya.
Dari harga 11.000/L saat ini sudah kembali ke harga normal pasca dicabutnya HET 24.900/L. Kini mengejutkan publik bahwa terungkapnya mafia minyak goreng yang menyeret salah satu orang pemangku kebijakan ekspor CPO.
Mirisnya, salah satu tersangka merupakan pejabat eselon I yakni Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Indrasari Wisnu Wardhana (IWW). Pejabat kementerian yang seharusnya mengawasi tata niaga CPO dan minyak goreng, malah menjadi bagian dari permainan mafia (liputan6.com, 21/4/2022).
Kebijakan Penghentian Ekspor Akankah Menormalkan Harga Minyak Goreng?
Seiring dengan terungkapnya tersangka mafia minyak goreng, pemerintah mengeluarkan kebijakan perihal pengehentian ekspor minyak sawit mentah/CPO keluar negeri. Kebijakan tersebut mulai diterapkan mulai 28 April lalu.
Namun kebijakan ini perlu ditinjau kembali, akankah kebijakan ini akan memberikan dampak baik untuk masyarakat atau angin segar peredaran minyak goreng dalam negeri. Seiring dengan hal itu Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) ini mengungkapkan, kebijakan tersebut harus dibarengi keputusan lainnya untuk menurunkan harga minyak goreng.
Beliau pun menyatakan belum tentu harga akan otomatis turun kalau tidak dibarengi dengan kebijakan HET di minyak goreng kemasan (Suara.com, 24/4/2022). Menurutnya, daripada melarang ekspor CPO, pemerintah diminta untuk mengembalikan kebijakan domestic market obligation (DMO) CPO, 20 persen.
Di satu sisi kebijakan tersebut memperlihatkan dukungan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri. Namun di sisi lain, kebijakan tersebut dapat memberikan dampak negatif yang besar. Belum lagi kartel minyak goreng menyebabkan masyarakat kecil sulit untuk mendapatkan minya goreng.
Jika ditelusuri, sebenarnya pangkal persoalannya adalah penguasaan lahan kelapa sawit dan juga minyak goreng, serta berbagai produk turunannya berada di tangan korporasi. Pengelolaan lahan diserahkan kepada korporasi sehingga menyebabkan para pemilik modal ini akan berorientasi kepada keutungan yang besar ketika melakukan ekspor ketimbang dimanfaatkan untuk kebutuhan dalam negeri.
Baca Juga: Zakat Fitrah dan Seni Mengatur Harta untuk tidak Dihambur-Hamburkan
Permasalahan ini adalah dampak dari penerapan sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini. Di Indonesia saat ini mayoritas lahan perkebunan kelapa sawit yang menjadi bahan dasar minyak goreng dikelola oleh pihak swasta yang memiliki modal besar. Akibatnya mereka menguasai komoditas sehingga pasokan dan distribusi ditangan pemodal besar. Negara sama sekali tidak berdaya mengendalikan harga.
Sehingga operasi pasar, kebijakan mencabut harga eceran tertinggi (HET) komoditas pangan sama sekali tidak efektif untuk menstabilkan harga justru menimbulkan kondisi distorsi ekonomi.
Penerapan Islam dalam Ketahanan Pangan
Islam memandang bahwa negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan primer (pangan, sandang, papan). Aspek produksi ditingkatkan pun dengan menjaga alur distribusi agar benar-benar dapat diperoleh dengan mudah oleh rakyat.
Negara di dalam Islam, menetapkan kebijakan untuk rakyat guna menjalankan kewajiban sebagaimana ketetapan Allah dan Rasul-Nya, yaitu untuk mewujudkan pengurusan yang benar segala urusan rakyat.
Sistem Islam memastikan berjalannya peran utama negara sebagai penanggung jawab atas seluruh urusan dan kebutuhan rakyat, serta tidak bergantung pada pihak mana pun yang berorientasi kepada aspek keuntungan materi semata. Namun sebaliknya saat ini negara justru seperti berdagang dengan rakyatnya.
Ada beberapa kebijakan utama yang dapat diambil oleh negara. Diantaranya, mengatur kembali masalah kepemilikan harta yang sesuai Islam dengan menerapkan tata kelola lahan sesuai syariat Islam. Individu dan swasta tidak diperbolehkan menguasai harta milik umum, seperti hutan misalnya, yang hari ini dijadikan sebagai perkebunan milik pribadi oleh para korporasi.
Baca Juga: Kisah tentang Turunnya Ruh
Selanjutnya, negara melaksanakan politik pertanian Islam untuk menjamin ketersediaan pasokan barang di dalam negeri, terutama mengupayakan dari produksi dalam negeri dengan mengoptimalkan para petani dan para pengusaha lokal. Di dalam Islam politik pertanian sendiri memiliki 2 kebijakan yang khas yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi.
Selain itu negara juga menjalankan politik distribusi perdagangan dengan melakukan pengawasan terhadap rantai niaga sehingga tercipta harga kebutuhan atau barang-barang secara wajar dengan pengawasan.
Pasar akan terjaga dari kecurangan pasar, seperti penimbunan, penetapan harga, penipuan, dan sebagainya.
Permasalahan pangan termasuk kelangkaan minyak goreng ini akan mampu diselesaikan manakala negara saat ini mengubah paradigma dengan paradigma yang benar yakni Islam. Islam akan memperbaiki proses produksi hingga terdistrusi dengan tepat, Islam pun meniadakan praktek kolusi akibat dari permainan korporasi dengan pejabat terkait. (*)