Begini Perkembangan Dokumen Lingkungan Pembangunan RSUD Busel

Deni Djohan, telisik indonesia
Jumat, 06 November 2020
0 dilihat
Begini Perkembangan Dokumen Lingkungan Pembangunan RSUD Busel
Kondisi pembangunan RSUD Busel di Bandar Batauga. Foto: Ist.

" Jadi, prosesnya itu dari kelurahan Masiri sebagai lokasi awal. Tapi, sesuai dengan kajian teknis dan Permenkes lokasi, ternyata tidak memenuhi syarat. Makanya saat itu kita putuskan untuk merelokasi pembangunan RSUD tersebut. "

BUTON SELATAN, TELISIK.ID - Salah satu yang menjadi perhatian serius ketika melakukan pembangunan rumah sakit adalah dokumen lingkungan, yang di dalamnya mengatur tentang tempat pembuangan limbah

Begitu ada pembangunan rumah sakit, maka dokumen lingkungannya pun layak dipertanyakan. Apakah sudah dimiliki atau belum sama sekali.

Di Kabupaten Buton Selatan (Busel), Sulawesi Tenggara (Sultra) terdapat rumah sakit umum daerah (RSUD) yang sedang dibangun. Lantas, bagaimana dengan dokumen lingkungan RSUD Busel yang terletak di Kelurahan Bandar Batauga, Kecamatan Batauga ini?

Berikut wawancara Telisik.id, terhadap dua instansi yang berwenang atas pembangunan yang menggunakan dana alokasi khusus (DAK) hingga miliaran rupiah tahun 2020 tersebut, yakni pihak RSUD dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH).

Direktur RSUD Busel, dr. Frederick mengaku pihaknya sudah merampungkan seluruh dokumen menyangkut pembangunan RSUD tersebut, termasuk dokumen lingkungannya.

"Jadi, prosesnya itu dari kelurahan Masiri sebagai lokasi awal. Tapi, sesuai dengan kajian teknis dan Permenkes lokasi, ternyata tidak memenuhi syarat. Makanya saat itu kita putuskan untuk merelokasi pembangunan RSUD tersebut," katanya.

Baca juga: Pantai Mutiara Penyumbang PAD Terbesar Sektor Pariwisata Buteng

Menurutnya, kendala utama dalam pembangunan RSUD ini adalah lokasi. Namun berdasarkan proses kajian ilmiah, wilayah penambangan pasir itu adalah lokasi strategis untuk mendirikan bangunan tersebut.

Apalagi, lokasi itu sesuai dengan peruntukan ruang yang tertera dalam draf dokumen RTRW Busel.

"Jadi semua itu sudah selesai," singkatnya.

Begitu juga dengan proses seminar dampak lingkungan, kata dia, itu sudah dilakukan. Hanya saja ada sedikit keterlambatan, mengingat bencana COVID-19 yang tiba-tiba mengharuskan beberapa daerah melakukan lockdown.

"Jadi dalam dokumen lingkungan yang dikantongi saat ini adalah. Namun proses seminarnya agak terlambat karena pandemi ini. Apalagi tim penyusunnya dari Semarang, Jawa Timur. Jadi kami juga meminta agar seluruh pihak memahami dengan kondisi ini," pungkasnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Busel, Untung mengaku tak mengetahui persis perkembangan dokumen tersebut. Pasalnya, urusan itu sepenuhnya ia serahkan kepada sekretaris dinasnya (Sekdin).

"Saya coba koordinasi dengan Sekdin sejauh mana perkembangan dokumen ini ya," beber Untung saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon belum lama ini.

Baca juga: Ratusan Rumah di Aceh Terendam Akibat Sungai Meluap

Begitupun saat ditanya soal penyelengaraan sidang seminar terkait dampak dari pembangunan itu, apakah pernah dilakukan atau tidak, pria berdarah Batuatas ini mengaku tidak pernah.

Hanya saja untuk lebih jelasnya, kata dia, perkembangan penyusunan dokumen lingkungan ini akan ia koordinasikan kembali dengan Sekdinnya.

"Itu nanti saya konfirmasi sama Sekdin, karena Sekdin yang tangani dokumen ini," jelasnya.

Perlu diketahui, Tindak Pidana Lingkungan Hidup diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Bab XV, yaitu mulai dari Pasal 97 sampai dengan Pasal 120 UUPPLH. Pasal 97 UUPPLH menyatakan, tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pidana UUPPLH, merupakan kejahatan (rechtdelicten).

Sedang Pasal 102 menjelaskan, setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang diwajibkan untuk setiap pembangunan rumah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun dan denda paling sedikit Rp 1 miliar dan paling banyak Rp 3 miliar.

Kemudian Pasal 103 menjelaskan, Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun dan denda paling sedikit Rp 1 miliar rupiah dan paling banyak Rp 3 miliar rupiah. (B)

Reporter: Deni Djohan

Editor: Fitrah Nugraha

TAG:
Artikel Terkait
Baca Juga