Bertopeng di Bulan Ramadan

M. Najib Husain, telisik indonesia
Minggu, 03 April 2022
0 dilihat
Bertopeng di Bulan Ramadan
Dr. M. Najib Husain, Dosen FISIP UHO. Foto: Ist

" Menonjolkan citra yang berintegritas agama, selalu menjadi salah satu strategi komunikasi politik, kesalehan yang dibungkus dengan ritual dan semiotika beragama melalui pakaian dan atribut menjadi hal penting "

Oleh: Dr. M. Najib Husain

Dosen FISIP UHO  

RAMADAN telah datang, semua lapisan masyarakat menyambut dengan gembira termasuk para politisi. Menonjolkan citra yang berintegritas agama, selalu menjadi salah satu strategi komunikasi politik, kesalehan yang dibungkus dengan ritual dan semiotika beragama melalui pakaian dan atribut menjadi hal penting.

Politik pencitraan dilakukan dengan berbagai cara di bulan Ramadan yang masih terasa dampak dari pandemi COVID-19, diantaranya berbagi minyak goreng dan sembako lainnya, buka puasa dengan anak yatim piatu, dan berbagai kegiatan sosial agar dikenal sebagai sosok yang peduli dengan rakyat sebagai ajang menjual diri untuk menunjukkan tingkat kesalehan.

Karena agama masih dianggap hal serius, agama merupakan senjata yang ampuh dalam hal menggali dukungungan para pemilih dalam meningkatkan elektabilitas. Integritas agama menjadi penting dalam setiap kegiatan politik di Indonesia karena agama menjadi kecenderungan mayoritas masyarakat indonesia.    

Momentum bulan puasa menjadi hal yang strategis, sehingga banyak politisi yang menggunakan topeng di bulan Ramadan. Para pemilik topeng telah memperbarui cat, mengubah karakter dan mencoba memakai topengnya dengan lebih hati-hati. Antara gesture tubuhnya dan karakter topeng tidak berbeda jauh.

Hari-hari kedepan di bulan Ramadan  penting memakai topeng, sebab para politisi akan menemui rakyat, ia memastikan selalu tersenyum kepada rakyatnya meskipun dalam hati dan pikiranya sudah mempunyai rencana jangka panjang untuk  kelangsungan dirinya dan keluarga.

Walaupun sebenarnya salah satu penyebeb dari distorsi komunikasi adalah penggunaan topeng, hal itu diungkapkan oleh Mochtar Pabotinggi (1993) bahwa dalam praktik proses komunikasi politik sering mengalami empat distorsi.

Pertama, distorsi bahasa sebagai "topeng"; ada euphemism (penghalusan kata); bahasa yang menampilkan sesuatu lain dari yang dimaksudkan atau berbeda dengan situasi sebenarnya, bisa disebut seperti diungkapkan Ben Anderson (1966), "bahasa topeng."

Kedua, distorsi bahasa sebagai "proyek lupa"; lupa sebagai sesuatu yang dimanipulasikan; lupa dapat diciptakan dan direncanakan bukan hanya atas satu orang, melainkan atas puluhan bahkan ratusan juta orang. Ketiga, distorsi bahasa sebagai "representasi"; terjadi bila kita melukiskan sesuatu tidak sebagaimana mestinya.

Baca Juga: Apresiasi Puan Maharani Tolak Penundaan Pemilu 2024

Contoh, gambaran buruk kaum Muslimin dan orang-orang Arab oleh media Barat. Keempat distorsi bahasa sebagai “ideologi”. Ada dua perspektif yang cenderung menyebarkan distoris ideologi.

Pertama, perspektif yang mengidentikkan kegiatan politik sebagai hak istimewa sekelompok orang—monopoli politik kelompok tertentu. Kedua, perspektif yang semata-mata menekankan tujuan tertinggi suatu sistem politik.

Mereka yang menganut perspektif ini hanya menitikberatkan pada tujuan tertinggi sebuah sistem politik tanpa mempersoalkan apa yang sesungguhnya dikehendaki rakyat. Untuk itu, maka para pemilik topeng itu harus cerdas memilih topeng, warna wajahnya dan lekukan-lekukan yang diperlukan agar topeng yang dikenakan mampu mengelabui rakyat yang terkensan religius.

Dengan memainkan drama, memiliki wajah yang merakyat, bercahaya, tenang, menjelekan para kompetitor. Maka rakyat harus hati-hati pada setiap wajah yang terpasang di baliho dengan wajah yang tampak cerdas, berwibawa dan tulus dengan pesan-pesan ramadhan yang menempel di sisi kiri kanannya dam kadang diperkuat dengan ayat dan hadist.

Dramaturgi dan ruang intim itu berhadapan dengan upaya negosiasi wajah. Maka ketika aktor politik tengah berbicara soal mencari muka atau sekaligus menampar wajah. Maka tafsirnya menjadi berbeda dan  format face negotiation theory adalah satu bagian dari ilmu komunikasi yang dapat menjelaskan dan telah dikembangkan, dengan menempatkan muka atau wajah sebagai identitas kultural, baik menjadi simbol individu ataupun identitas kelompok.  

Maka diksi dari kalimat menyelamatkan wajah, ataupun mencari muka, adalah bagian dari bentuk episode konflik di ranah politik. Mudah dipahami, bila periode kampanye adalah masa etalase dengan tampilan wajah ramah senyum. Dengan begitu, bagi aktor politik, kompromi dalam wajah yang tersenyum secara simbolik, adalah sebuah hal yang temporal, sifatnya jangka pendek.

Titik persambungan dari beberapa teori tersebut seolah saling terkait, para aktor memainkan peran, membangun ruang jarak yang hangat dan ideal, dengan menggunakan selubung peran, yang ditampilkan dengan menggunakan topeng-topeng wajah.

Politik rangkul tampar adalah gambaran pragmatisme dalam upaya menuju kekuasaan. Permainan peran, di panggung politik dimainkan seolah mengabaikan kemampuan dan kecerdasan publik dalam membaca gerak laku sandiwara politisi yang sudah dikenal luar dalamnya.        

Baca Juga: Minimnya Narasi Kebangsaan

Kepribadian palsu adalah sebuah topeng/wajah yang dipakai ketika menghadapi publik. Hal tersebut pada akhirnya mencerminkan persepsi masyarakat mengenai peran yang harus dimainkan dalam hidupnya. Jung percaya bahwa setiap manusia  terlibat dalam peranan tertentu yang dituntut oleh dunia sosial.

Misalnya seorang politikus diharapkan menampilkan muka penuh keyakinan untuk memenangkan suara masyarakat dan aktor dituntut untuk memamerkan gaya hidupnya sesuai dengan keinginan publik (Jung dalam Feist & Feist, 2010).

Namun jika kepribadian palsu  dipakai secara berlebihan tanpa menghadirkan sosok asli dalam diri kita maka akhirnya tidak akan sehat secara psikologis, dan hal tersebut tentunya bisa berakibat fatal untuk kelangsungan hidup.

Jika kita terlalu sering menggunakan Kepribadian palsu maka akan membuat diri kita asing dengan diri sendiri dan perasaan sendiri yang akhirnya bisa menjadi manusia palsu, yang tentunya bukan manusia yang otonom.

Namun perlu diingat, wajah asli para aktor politik akan terkuak, seiring dengan keberadaan kekuasan. Sebagaimana, Abraham Lincoln sampaikan, "Jika Anda Ingin Menguji Karakter Seseorang, Maka Berilah Dia Kekuasaan." (*)

Artikel Terkait
Baca Juga