Bocoran APBN 2025 Prabowo-Gibran Tembus Rp 3.500 Triliun dengan Defisit Rp 600 Triliun
Ahmad Jaelani, telisik indonesia
Rabu, 05 Juni 2024
0 dilihat
Rancangan APBN 2025 yang akan dijalankan pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, defisit Rp 600 triliun. Foto: Instagram@prabowo
" Rancangan APBN 2025 direncanakan akan dijalankan oleh pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dengan defisit sebesar Rp 600 triliun "
JAKARTA, TELISIK.ID - Anggota Badan Anggaran DPR RI, Dolfie Othniel Fredric Palit, mengungkapkan bahwa jumlah belanja dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 diperkirakan mencapai Rp 3.500 triliun.
Rancangan APBN ini direncanakan akan dijalankan oleh pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dengan defisit sebesar Rp 600 triliun. Pernyataan ini disampaikan Dolfie saat rapat pembahasan rancangan APBN 2025 yang berlangsung di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (4/6/2024), dikutip dari CNBC Indonesia.
Rapat kerja ini turut dihadiri oleh beberapa pejabat tinggi negara, di antaranya Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa, dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.
Dalam rapat tersebut, Dolfie menjelaskan bahwa belanja negara pada tahun 2025 didesain untuk berada di angka Rp 3.500 triliun lebih.
Di sisi lain, melansir Kumparan.com, peningkatan belanja negara ini akan berdampak signifikan terhadap anggaran fiskal. Program-program yang direncanakan diperkirakan membutuhkan anggaran tambahan sebesar Rp 460 triliun, setara dengan 7,23 persen dari total belanja negara dalam APBN 2024 yang mencapai Rp 3.325,1 triliun.
Baca Juga: Dana Pemilu dan IKN Jadi Prioritas Belanja APBN 2023
Hal ini menunjukkan adanya peningkatan yang cukup signifikan dalam belanja negara di pemerintahan Prabowo-Gibran pada tahun 2025.
Pengamat ekonomi digital Indef, Eisha Maghfiruha Rachbini mengatakan, pengeluaran besar yang direncanakan saat ini harus dipertimbangkan dengan matang untuk memastikan keberlanjutannya. Belanja besar pada saat ini akan memiliki dampak jangka panjang, sehingga perlu ada pengawasan yang ketat dan kebijakan yang prudent.
Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan bahwa pengeluaran yang besar tidak menjadi beban berkelanjutan bagi generasi mendatang. Pengeluaran yang besar saat ini harus dibayar oleh generasi berikutnya, sehingga penting untuk memastikan bahwa kebijakan fiskal yang diterapkan tidak menimbulkan jebakan fiskal atau beban yang berkelanjutan.
Pada tahun 2023, defisit fiskal Indonesia mencapai 1,65 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dengan total utang mencapai Rp 347,6 triliun. Sementara itu, total utang nasional Indonesia sudah mencapai Rp 7.700 triliun per Maret 2024.
Kondisi ini menunjukkan bahwa penambahan utang untuk mendanai program-program dalam APBN 2025 dikhawatirkan akan memperburuk situasi fiskal dan membebani stabilitas ekonomi negara. Penambahan utang ini dapat menciptakan risiko fiskal yang lebih besar dan berpotensi mengganggu kestabilan ekonomi jangka panjang.
Program-program yang direncanakan dalam APBN 2025 juga harus dipertimbangkan dengan cermat dalam konteks prioritas belanja negara. Pemerintah perlu memastikan bahwa dana yang dialokasikan untuk program-program ini tidak mengalihkan dana dari program lain yang juga penting.
Masih dari Kumparan.com, selain itu, peningkatan belanja negara ini juga berpotensi memperbesar defisit fiskal dan mendorong pemerintah untuk menambah utang. Penambahan utang ini dapat memberikan dampak negatif terhadap stabilitas fiskal dan ekonomi negara dalam jangka panjang.
Baca Juga: Seluruh Kepala Daerah Terpilih Bakal Dilantik Januari 2025
Pemerintah perlu mempertimbangkan dengan matang setiap kebijakan belanja yang akan diambil untuk memastikan bahwa utang yang ditambah tidak menjadi beban berkelanjutan bagi negara.
Dampak lain dari peningkatan belanja negara dalam APBN 2025 adalah terhadap neraca perdagangan Indonesia. Program-program yang direncanakan dapat meningkatkan defisit perdagangan karena peningkatan impor yang diperlukan untuk mendukung program-program tersebut. Misalnya, impor bahan makanan seperti beras, daging, dan susu yang diperlukan untuk mendukung program-program peningkatan ketahanan pangan.
Peningkatan impor ini dapat menyebabkan peningkatan defisit perdagangan yang pada gilirannya dapat berdampak pada nilai tukar dan cadangan devisa negara. (C)
Penulis: Ahmad Jaelani
Editor: Haerani Hambali
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS