Camilan Khas Wakatobi: Karasi

Ima Lawaru, telisik indonesia
Sabtu, 28 November 2020
0 dilihat
Camilan Khas Wakatobi: Karasi
Karasi khas Wakatobi berbentuk Epu-epu. Foto: Ist.

" Bahkan masyarakat Tomia tempo dulu, biasanya membuat karasi untuk selamatan atau syukuran menempati rumah baru. Juga untuk melepas sang kekasih atau tunangan ke perantauan. Untuk melepas keberangkatan kekasihnya, si wanita akan menyiapkan sajian berupa karasi, ketupat, lapa-lapa dan ayam masak. "

Oleh: Ima Lawaru

Penulis Novel Savannah Asal Wakatobi

MUNGKIN nama ini belum pernah Anda dengar sebelumnya. Tapi barangkali Anda pernah mencicipinya suatu ketika dari seorang kerabat Anda yang baru datang dari tanah Buton. Tapi Anda lupa nama makanan ini. Yang kemudian tersimpan sedikit di ingatan Anda bahwa rasanya itu garing, manis, sedikit tawar, dan....daaan? Ah, Anda penasaran? Mari langsung saja kita kenalan dengannya.

Ia adalah penganan khas Suku Buton. Yang diolah dari tepung beras. Tentu, daerah Buton tak asing lagi di telinga Anda bukan?

Suku Buton tersebar di Kabupten Buton dengan pusatnya Baubau dan Kabupaten Wakatobi yang berpusat di Wangi Wangi. Bagi masyarakat Tomia yang juga merupakan bagian dari Suku Buton, karasi biasanya disajikan dalam acara pernikahan, sunatan, lebaran, dan pada saat kematian.

Bahkan masyarakat Tomia tempo dulu, biasanya membuat karasi untuk selamatan atau syukuran menempati rumah baru. Juga untuk melepas sang kekasih atau tunangan ke perantauan. Untuk melepas keberangkatan kekasihnya, si wanita akan menyiapkan sajian berupa karasi, ketupat, lapa-lapa dan ayam masak.

Selain itu si wanita memberi si lelaki dua buah sarung. Sekarang adat ini telah hilang, entah kenapa. Selain itu karasi juga dijadikan sebagai oleh-oleh (cenderamata) bagi wisatawan, sanak keluarga, atau kawan yang ada di perantauan.

Pengolahannya cukup sederhana. Bahannya sedikit. Alat kerja yang digunakan juga sedikit. Dan pengolahannya cepat.

Anda cukup menyediakan satu kilogram tepung beras, satu kilogram tepung kanji, setengah liter gula pasir, sedikit terigu, air, frambozen atau vanili (pengharum adonan) secukupnya, dan satu liter minyak goreng. Ukuran banyak sedikitnya bahan tergantung keinginan Anda.

Tepung beras, tepung kanji, gula, frambozen dan air dicampur menjadi satu ke dalam wadah. Bahan dikucek sampai menghasilkan adonan yang merata dan kental. Kemudian panaskan minyak goreng di dalam wajan.

Adonan dimasukkan ke dalam cetakan khusus yang terbuat dari tempurung kelapa yang dilubangi. Lubangnya sekitar 31 lubang kecil-kecil, tergantung dari besar kecilnya tempurung. Tiap lubang ukurannya kira-kira sebesar biji lada.

Posisi cetakan berisi adonan tadi, berada tepat di atas minyak goreng yang sudah panas. Lalu adonan itu akan keluar dan jatuh ke dalam minyak goreng melalui lubang tempurung, yang sebesar biji lada itu. Bentuk adonan saat jatuh, panjang-panjang seperti mie.

Kemudian, saat setengah matang, adonan harus segera dibentuk sesuai keinginan Anda. Jika adonan terlambat dibentuk, yaitu pada saat sudah matang dan garing, niscaya karasi akan menjadi hancur (patah-patah). Jadi, saat membuat karasi tangan harus bergerak cepat dan cekatan.

Baca juga: Enak dan Lembut, Ini Resep Terang Bulan Mini

Masyarakat Tomia sendiri mengenal sekitar tiga belas model Karasi. Sepuluh di antaranya muncul sejak zaman dulu sekali, dan tiga di antaranya muncul di sekitar tahun 2000-an. Berikut macam-macamnya:

1. Lulubala. Bentuknya seperti gulungan kue dadar, rhisoles, dan semacamnya. Model lulubalalah yang paling umum digunakan sebagai karasi yang beredar luas di masyarakat Tomia.

2. Epu-epu. Bentuknya seperti lingkaran yang dibagi dua sama besar.

3. Sisi komba. Karasi ini berbentuk layaknya bulan sabit.

4. Korolipa. Bentuknya persegi panjang.

5. Koro bata. Modelnya seperti korolipa, hanya sedikit dilipat secara horizontal (dilekungkan).

6. Day tangkora. Model ini sama dengan jajaran genjang.

7. Fengke. Disebut fengke (paha) karena modelnya seperti paha manusia. Oleh orang Tomia karasi model ini biasa juga disebut poto lenso atau koro kampuru.

8. Kapa’a-pa’a. Seperti bintang laut.

9. Poporoki/tolu jikku/tolu pigu: bentuknya segitiga sama kaki. Karasi model ini khusus di buat untuk hari tujuh orang meninggal.

10. Koro tihe. Modelnya persis seperti bulu babi di laut.

11. Koro sampalu. Model layaknya buah asam jawa.

12.Tangaba. Modelnya seperti mangkuk terbalik.

13. Kulu-kulu. Modelnya menyerupai bubu, perangkap ikan yang dianyam dari bambu.

 

Karasi khas Wakatobi berbentuk Day Tangkora. Foto: Ist.

 

Karasi model koro bata, kapa’a-pa’a dan koro sampalu adalah karasi yang muncul pada abad modern. Yakni sekitar tahun 2000-an. Sedangkan sepuluh model lainnya muncul sejak zaman nenek moyang dulu kala. Beberapa sesepuh di Tomia, memperkirakan sejak zaman jahiliyah. Sepuluh model tersebut umumnya merupakan gambaran sumberdaya alam dan tradisi Tomia.

Karasi merupakan tradisi leluhur Buton. Yang masih terpelihara sampai kini. Ia memiliki nilai kearifan lokal tersendiri. Adalah kesederhanaan dalam pembuatan karasi, mencerminkan kesederhanaan hidup orang Buton umumnya, Tomia khususnya.

Orang Tomia sejak dulu hingga kini selalu hidup dalam kesederhanaan. Mulai dari makanan, berpakaian, berdandan, dan seterusnya. Kesederhanaan itu terbentuk karena keadaan, juga karena didikan orang tua mereka sejak lahir.

Baca juga: 5 Oleh-Oleh Khas Kendari yang Wajib Dikunjungi Pelancong

Menggali nilai falsafah dan historis dalam sepotong kue karasi, bak menggali sumur tanpa dasar. Semakin digali semakin dalam, tanpa tahu kapan berjumpa dasarnya. Nenek moyang orang Tomia sejak dahulu hidup begitu saja. Tanpa menggelisahkan diri, mencari tahu sebab adanya sesuatu. Untuk bertahan hidup saja merupakan bentuk kesyukuran bagi mereka.

Anak-anak yang suka banyak bertanya sesuatu, mengapa bisa begini, mengapa bisa begitu, biasanya selalu diskak mati Untuk ketiga perayaan tersebut segala model karasi dibuat. Terkecuali karasi model poporoki. Poporoki dikhususkan hanya untuk orang mati.

Diyakini oleh masyarakat Tomia, bahwa arwah orang mati selama tujuh hari masih tinggal di ujung atap rumah bagian depan. Ujung atap ini bentuknya segitiga. Setelah tujuh hari kematiannya, barulah arwah itu pergi meninggalkan rumah. Atap tempat bersemayamnya arwah itu dalam Bahasa Tomia disebut poporoki.

 

Karasi khas Wakatobi berbentuk Poporoki. Foto: Ist.

 

Lalu mengapa karasi ini disebut juga tolu jikku (tiga siku)? Dan tolu pigu (tiga sudut)?

Karena poporoki bentuknya menyerupai segitiga sama kaki. Juga terinspirasi dari mayat saat dikafani diikat dalam tiga ikatan: bagian kepala, perut dan kaki.

Konon, model karasi yang menyerupai benang kusut tanpa ujung itu, sebenarnya terinspirasi dari bulu badan manusia. Bulu badan manusia itu halus dan kecil-kecil seperti halnya karasi. Coba Anda perhatikan karasi, dan bandingkanlah dengan bulu badan Anda.

Ternyata karasi sejak zaman nenek moyang orang Tomia dulu, dibuat dari jagung, dan gula merah cair (gola bone lonsa). Di saat itu, konon belum ada tepung beras dan gula pasir. Kemudian seiring berjalannya waktu, jagung pun diganti dengan beras yang ditumbuk halus, kemudian diayak dengan menggunakan kain sifon. Lalu tepung beras(gulupu), ditambahkan dengan sedikit kore (endapan air ubi kayu parut).

Kini agar lebih praktis, karasi dibuat dengan memakai tepung beras kemasan, dicampur sedikit tepung kanji. Gula yang dipakai pun adalah gula pasir.

Karasi tempo dulu,  disajikan pada saat perayaan pesta nikah, sunatan, lebaran, syukuran penempatan rumah baru, dan pelepasan sang kekasih ke perantauan. Kini, adat karasi untuk syukuran rumah baru dan pelepasan kekasih sudah hilang.

Baca juga: Baruasa, Kue Tradisional Khas Baubau

“Entah kenapa dan sejak kapan adat itu bisa hilang. Padahal dulu saat saya masih muda kebiasaan itu masih ada” tutur Wa Halisa, yang usianya kini sekitar 90 tahun. Selain dibuat untuk perayaan dan kematian, karasi juga dibuat untuk dijual sebagai cenderamata dan cemilan sehari-hari.

Di Selayar, Sulawesi Selatan, karasi dikenal dengan nama "te're". Rasa dan bentuknya sama. Bedanya di Selayar, karasinya berwarna-warni. Sedangkan di Buton umumnya, karasi dibuat tanpa pewarna.

Bagi Anda yang belum pernah mencicipinya dan penasaran, silakan kunjungi setiap pasar-pasar lokal di Wakatobi. Karasi model lulubala yang umumnya dipasarkan dalam bentuk kemasan. Kue ini tidak pernah ketinggalan meraih tempat di pasar.

“Ketika hari pasar, karasi saya laris manis bahkan beberapa pelanggan sering memesan dalam jumlah besar”, tutur Wa Halima, pebisnis karasi.

Meskipun penganan ini adalah sebuah tradisi, masyarakat tak dipaksakan untuk membuatnya. Dalam pesta kawin dan sunatan misalnya, siapapun boleh buat, boleh juga tidak. Tergantung kemampuan ekonomi tiap orang. Di beberapa desa di Tomia bahkan mengganti sesajen karasi dengan uang, dengan alasan tidak ingin repot-repot.

Dalam lebaran pun, tidak membuat karasi juga tidak apa-apa. Terkecuali dalam kematian, karasi menjadi sesuatu yang sakral, adat yang wajib hadir dalam menu sesajen. Keluarga yang miskin ataupun kaya biasanya selalu membuat karasi. Jika tidak, biasanya si keluarga yang berkabung itu akan menanggung malu.

Karasi adalah warisan orang tua kita. Dari dulu hingga kini selalu ada dan terpelihara. Bahkan kini semakin hidup dan mendapat tempat di tengah masyarakat. Penganan ini mengalami transisi dari sekadar tradisi, menjadi hal yang bisa mendatangkan pundi-pundi rezeki.

Dengan teksturnya yang garing, enak, dan daya tahannya yang lama (jika disimpan di dalam wadah yang sangat tertutup rapat), orang akan terus ingin menikmatinya.

Semoga kelak karasi memiliki banyak peminat, baik dari tingkat lokal, nasional dan internasional. Dengan demikian akan meningkatkan ekonomi masyarakat Wakatobi yang berkelanjutan! (*)

TAG:
Artikel Terkait
Baca Juga