Desa Para Santri, Mlangi Desa Wisata Religi dan Budaya

Affan Safani Adham, telisik indonesia
Jumat, 10 Juli 2020
0 dilihat
Desa Para Santri, Mlangi Desa Wisata Religi dan Budaya
Masjid Jami' mempunyai pesona tersendiri yang dapat memikat banyak orang untuk datang ke Desa Mlangi, baik yang bertujuan untuk salat maupun berziarah. Foto: Ist.

" Wisata religi, orang sering mengatakannya demikian. Anggota pengajian dan ibu-ibu kelompok pengajian seringkali menyempatkan waktunya untuk melakukan wisata religi ini. "

YOGYAKARTA, TELISIK.ID - Spiritual, bagian dari ketenangan batin dan jiwa. Setiap orang memiliki keyakinan masing-masing. Termasuk bagaimana melengkapi dirinya akan kebutuhan spiritual. Bisa melalui ibadah sehari-hari di mana untuk orang Islam melalui salat lima waktu. Selain itu mengunjungi makam ulama besar atau kyai, kemudian mendoakannya.

Wisata religi, orang sering mengatakannya demikian. Anggota pengajian dan ibu-ibu kelompok pengajian seringkali menyempatkan waktunya untuk melakukan wisata religi ini.

Daerah Istimewa Yogyakarta ternyata memiliki desa wisata religi. Tempat itu bernama Dusun Mlangi, Desa Nogotirto, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Tepatnya berada di Jl Masjid Pathok Negoro.

Salah satu lokasi yang cukup ramai pengunjung. Daya tarik utama Mlangi ini adalah wisata religi dan budaya. Aktivitas yang dapat dilakukan antara lain mengunjungi Masjid Pathok Negara, pesantren, dan ziarah.

Di komplek wisata religi Islam ini juga terkenal sebagai desa para santri. Sebab, banyak pesantren-pesantren yang mendidik para santrinya dari berbagai usia.

Pada tahun 2017 lalu, Puslitbang Pendidikan dan Keagamaan Balitbang Diklat Kementerian Agama menerbitkan buku "Top 10 Ekosantri, Pionir Kemandirian Pesantren".

Terdapat 10 pesantren atau lokasi yang kemandirian ekonominya dikupas dalam buku hasil penelitian tersebut. Salah satunya adalah Desa Mlangi.

Disebutkan dalam tulisan Muhammad Murtadho ini bahwa di Desa Mlangi ada sekitar 16 pesantren.

Pesantren paling tua adalah pesantren As-Salafiyah yang dibangun 5 Juli 1921 oleh KH Masduki. Awalnya, bukan sebuah pesantren. Melainkan komunitas belajar agama yang ada di musholla kecil. Akhirnya berkembang menjadi pesantren.

Selain itu ada pula pesantren Al-Huda, pesantren Al-Falakiyah dan seterusnya. Dengan banyaknya pondok pesantren inilah mengapa Mlangi disebut sebagai desa wisata religi. Apalagi warga kampung juga terlihat religius.

Berawal dari Hamengku Buwono I menghadiahi Kyai Nur Iman -- yang masih tergolong kerabatnya -- sebuah tanah. Kemudian tanah itu diberi nama Mlangi, berasal dari kata Mulangi yang berarti mengajar. Sebab, daerah tersebut kemudian digunakan Kyai Nur Iman untuk mengajar agama Islam.

Memasuki wilayah Mlangi, kita menemukan dusun ini dengan tingkat kepadatan yang tinggi. Warung-warung biasanya buka sore hari setelah Ashar sampai Maghrib. Buka lagi setelah salat Isya. Bahkan ada warung makanan yang buka setelah pukul 23.00 WIB.

Jam malam lebih terasa hidup dibanding siang hari. Pesantren-pesantren yang kebanyakan salafiyah dalam melaksanakan aktivitas lebih banyak malam hari.

Pada pagi hari, saat jam-jam sekolah formal, Dusun Mlangi terasa lengang. Malam Jum'at akan lebih ramai lagi karena hampir masing-masing pondok mengadakan pembacaan Barzanji dengan memakai alat musik terbang (rebana).

Identitas keislaman penduduk  bukan sesuatu yang dibuat-buat. Buktinya, dapat dilihat dari cara berpakaian penduduk. Di Mlangi, para lelaki biasa memakai sarung, baju Muslim dan peci, meski tidak hendak pergi ke masjid. Sementara hampir semua perempuan di dusun ini mengenakan jilbab, di dalam maupun di luar rumah.

Pengamalan ajaran Islam seolah menjadi prioritas bagi warga Mlangi. Konon, warga rela menjual harta bendanya agar bisa naik haji.  

Tak sedikit masyarakat dari luar Mlangi yang datang untuk wisata agama, semacam pesantren kilat.

Mlangi saat ini telah ditetapkan sebagai salah satu desa wisata religi oleh Pemerintah Kabupaten Sleman.

Desa Wisata Religi Mlangi didukung Masjid Jami', masjid Pathok Negoro, yang merupakan salah satu masjid di Yogyakarta yang disebut-sebut sebagai pathok negoro bersama-sama empat masjid yang lainnya: Masjid Sultoni di Ploso Kuning, Masjid Addarojah di Babadan Baru, Masjid Nurul Huda di Dongkelan dan Masjid Taqwa di Wonokromo Bantul.

Baca juga: Keunikan dan Filosofis Masjid Soko Tunggal

Keberadaan masjid pathok negoro di Mlangi menjadi ikon utama desa wisata religi Mlangi. Arsitektur masjid Jami' Mlangi pada awalnya sama dengan masjid keraton lainnya. Masjid ini mengikuti gaya arsitektur Jawa dengan banyak penyangga kayu.

Dahulu, soko guru masjid Jami' ini berjumlah 16 buah, termasuk soko utama di ruang utama masjid. Pawestri menjadi tempat khusus salat untuk kaum putri. Sementara, bagian sisi depan, kanan dan kiri masjid terdapat blumbang (sejenis kolam kecil) yang berfungsi sebagai tempat membersihkan kaki jemaah sebelum memasuki masjid.

Seiring dengan perkembangan zaman, Masjid Jami' Mlangi mengalami banyak perubahan. Setelah mendapatkan izin dari Keraton Yogyakarta, masjid mengalami beberapa proses renovasi tanpa menghilangkan keaslian bentuk bangunan dari Masjid Jami' sebelumnya, yakni dengan menjadikannya gedung bertingkat.

Konstruksi bangunannya pun diganti dengan pilar-pilar beton. Sekalipun demikian, mimbar yang ada di masjid ini juga termasuk yang masih asli. Beduknya juga menyerupai replika aslinya.

Hingga saat ini, masjid Jami' mempunyai pesona tersendiri yang dapat memikat banyak orang untuk datang, baik yang bertujuan salat maupun berziarah.

Di desa wisata Mlangi, masyarakat secara dinamis dan turun-temurun mengembangkan ekonomi mereka berbasis industri rumah tangga. Hampir 90 persen penduduknya adalah wiraswasta di bidang konveksi, kerajinan, kuliner, jamu-jamuan, maupun bidang lainnya. Banyak produk tercipta dari rumah-rumah produksi di Mlangi.

Warga umumnya akan melakukan semacam upacara saat istri-istri mereka hamil, melahirkan, hingga adanya anggota masyarakat yang meninggal dunia. Tradisi slametan atau syukuran pun terjadi saat pernikahan, dolanan anak hingga tradisi sunatan dan perkawinan.

Adat kebiasaan yang mereka jalankan merupakan kolaborasi tentang keislaman dengan tradisi Jawa. Tradisi itu kemudian ditafsirkan dari perspektif Islam sebagai upaya untuk menjawab kekinian.  

Ketua tim pengembangan Desa Wisata Mlangi, Ihsan, menyebutkan, di desa wisata Mlangi ini terdapat berbagai macam kesenian rakyat. Hingga sekarang, kesenian ini masih dibudayakan oleh masyarakat setempat. Ragam jenis kesenian tersebut adalah shalawatan Jowo, kojan, seni rodad, rengeng-rengeng, berjanjen, hadrah Ngarak, simthud duror dan sebagainya.

Tidak lengkap kiranya di dalam wisata tidak ada kuliner. Di sini bisa ditemukan beraneka macam lauk-pauk yang bisa menjamu para wisatawan ketika lapar. Jika ingin mencicipi makanan yang khas, banyak panganan tradisional diproduksi dari olahan tangan santri maupun masyarakat Mlangi. Salah satu kuliner paling khas adalah opor bebek. Konon menjadi makanan kegemaran Sultan Hamengkubuwono IX kalau berkunjung ke tempat ini.

Selain opor bebek, ada beberapa menu santapan yang bisa didapat di desa ini. Hidangan berbentuk lauk-pauk seperti jangan bobor, sego tumpeng sambel pitu, jangan kelontoko, jangan urip-urip, jangan kothok, jangan besengek, uyah salam, brambang salam.

Selain itu tersedia makanan ringan, yakni janagel, trasikan, legondo, lemper, mendut, jadah, wajik, jenang Mlangi, rambak, tetel gedang, carang gesing, krekes, klepon-puthu.

Selain itu, Dusun Mlangi ini menjadi tempat dimakamkannya Kyai Nur Iman, tokoh penyebar agama Islam di Mlangi.

Menurut sejarah, Kyai Nur Iman memiliki nama asli Pangeran Hangabehi Sandiyo, yang merupakan kakak dari Sri Sultan Hamengku Buwono I. Ia memilih keluar dari lingkaran politik untuk berdakwah dengan menyebarkan agama Islam.

Pantas saja, desa ini punya religiusitas yang cukup tinggi.

Reporter: Affan Safani Adham

Editor: Haerani Hambali

Baca Juga