Mahkamah Konstitusi (MK) dan Sahabat Pengadilan

Efriza, telisik indonesia
Sabtu, 20 April 2024
0 dilihat
Mahkamah Konstitusi (MK) dan Sahabat Pengadilan
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

" Demokrasi di Indonesia dengan adanya amicus curiae dapat dianggap sebagai bentuk kepedulian dan kesadaran politik yang tinggi dari banyak kalangan baik dari masyarakat umum, budayawan, sampai kalangan akademisi dan juga dari tokoh-tokoh nasiona "

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

AMICUS Curiae (Sahabat Pengadilan) lagi marak, sebab banyak masyarakat yang mengajukan diri kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan catatan website mkri.id bahwa sebanyak 23 pengajuan permohonan sebagai Sahabat Pengadilan sejak menangani Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 (PHPU Tahun 2024) hingga 17 April 2024.

Sahabat Pengadilan ini dari mulai tokoh partai politik, tokoh agama, budayawan, seniman, advokat, kalangan pendidik, maupun unsur kampus, maupun kelompok, maupun perseorangan. Ini menunjukkan bukan sekadar antusias semata tetapi juga diharapkan geliat politik, hukum, dan demokrasi yang lebih baik di Indonesia ke depannya.

Sahabat Pengadilan dan Kondisi Politik

Jika membaca kondisi perpolitikan saat ini, dapat disampaikan bahwa menunjukkan ada keprihatinan mendalam atas proses pemilihan umum presiden (Pilpres) kemarin.  

Dari gugatan kubu 01 Anies-Imin dan kubu 03 Ganjar-Mahfud dapat dipelajari utamanya terkait etika dalam berdemokrasi perihal hasil keputusan MK yang memberikan “karpet merah” dengan menghadirkan norma baru sehingga Gibran Rakabuming Raka dapat memenuhi persyaratan sebagai calon wakil presiden (cawapres).  

Ini menunjukkan demokrasi di Indonesia dengan adanya amicus curiae dapat dianggap sebagai bentuk kepedulian dan kesadaran politik yang tinggi dari banyak kalangan baik dari masyarakat umum, budayawan, sampai kalangan akademisi dan juga dari tokoh-tokoh nasional. Mereka menyadari kondisi politik, polemik etika berdemokrasi, dan juga ingin turut hadir dalam bentuk partisipasi politik sebagai Sahabat Pengadilan berupa bentuk kesadaran dan kepedulian politik.

Namun dari sisi lain, ini juga menunjukkan demokrasi di Indonesia mengalami masalah di akhir kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), bukan saja kemunduran demokrasi yang menyertarinya seperti terjadi pada tahun 2020 lalu, tetapi juga proses pemilihan umum (Pemilu) yang dianggap ternodainya pemenuhan dari enam azas yang bersifat Langsung, Umum, Bebas, Rahasia (Luber) dan Jujur dan Adil (Jurdil).

Mahkamah Konstitusi, Harapan Terakhir

Sahabat pengadilan tentu saja akan membuat MK dalam posisi dilematis. MK tentu punya tantangan tersendiri para hakim MK harus membuktikan sikap objektifnya dalam mempelajari permasalahan dan mengambil keputusan. Sebab gugatan saat ini adalah preseden baru, bukan banyak membicarakan sengketa hasil semata atas hasil Pilpres 2024, tetapi proses pra dan pasca pemilu yang dijadikan permasalahan dalam proses pengadilan di MK ini.  

Baca Juga: Jokowi sebagai Ketua Umum Partai Golkar?

MK sudah sepatutnya memang mengawal demokrasi, juga mempelajari dan menjaga atas proses dari penyelenggaraan pemilu, ke semuanya menjadi bagian dari MK sebagai pengawal konstitusi.  

Penilaian-penilaian ini tidak sekadar alat bukti semata melainkan juga mencerna dan mempelajari realitas permasalahan dan memahami situasi politik pra dan pasca pemilu di masyarakat.

Ini menunjukkan MK juga mesti memahami, mengkaji, dan memilah-memilih amicus curiae yang dapat dianggap memenuhi kriteria dan yang tidak. Sebab pengajuan amicus curiae tidak bisa serta-merta dianggap positif semata bahwa ini adalah sikap independen si pengaju, maupun bahwa si pengaju memang benar-benar peduli terhadap pengadilan.

Bisa saja yang terjadi sebaliknya adalah adanya konflik kepentingan, adanya orang-orang yang dapat dianggap tidak layak tetapi berusaha memantaskan diri sebagai sahabat pengadilan. MK melalui Fajar Laksono sebagai Kepala Biro Hukum dan Kepaniteraan MK menyampaikan dalam laman web mkri.id, bahwa ada banyak kemungkinan posisi dari amicus curiae ini.

Bisa saja mungkin dipertimbangkan seluruhnya dalam pengambilan keputusan. Atau mungkin dalam pembahasan dipertimbangkan sebagian atau mungkin tidak dipertimbangkan sama sekali karena dianggap tidak relevan. Ini betul-betul otoritas dari hakim konstitusi.

Jadi dalam proses penilaian terhadap Sahabat Pengadilan maupun nanti keputusan yang akan diputuskan oleh MK, bahwa MK harus berlaku adil, bersikap objektif, menilai fakta persidangan dengan seksama, baik, dan benar, hingga keputusan yang diambil adalah benar-benar menjadi suatu dasar keputusan final dan mengikat yang sudah semestinya dihormati oleh seluruh masyarakat, tokoh-tokoh nasional, maupun partai-partai pendukung calon kandidat serta seluruh kandidat yang bertarung di Pilpres 2024 kemarin.

Harapan dan Pembelajaran Pemilu Serentak 2024

Amicus curiae yang sedang digandrungi dan banyak diajukan ini adalah sebuah ujian netralitas MK, dan objektifitas MK. Semua masyarakat sudah sepatutnya, turut mengawasi dan mengawal PHPU ini, agar MK dapat berlaku adil. Sebab, bukan sekadar soal etika berdemokrasi semata yang dipertaruhkan, tetapi juga selisih suara sebesar 55 juta lebih misalnya antara suara kubu 02 dengan kubu 01 yang telah memberikan suaranya untuk pasangan Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024 kemarin.

Baca Juga: Menerka Rencana Pertemuan Prabowo dan Megawati

Harus diakui bahwa disinyalir Sahabat Pengadilan memungkinkan beberapa atau malah banyak yang bersifat konflik kepentingan. Memungkinkan juga adanya upaya memobilisasi kegandrungan Sahabat Pengadilan, maupun memang ada yang amat memahami lalu tergugah dan memiliki kesadaran sendiri sehingga merasa terpanggil untuk melakukan pengajuan sebagai amicus curiae, tentunya hal ini yang perlu dicermati oleh para hakim MK.  

Dari kasus PHPU dan amicus curiae bahwa pembelajaran yang dapat dipetik adalah Pilpres 2024 ini adalah pemilihan umum serentak yang penuh narasi pendidikan politik dengan terjadinya “tragedi” diawali dari proses pengadilan di MK yang memberikan peluang untuk Gibran berdasarkan adanya norma baru dihadirkan oleh MK.  

Fakta lainnya yang menyertai adalah dalam proses penyelenggaraan pemilu di era reformasi ini malah kembali dipertanyakan dari sisi azas pemilu seperti luber dan jurdil. Ini semua terjadi juga tak bisa dilepaskan dari adanya ambisi penguasa politik utamanya Presiden Jokowi yang terobsesi untuk pemerintahan ke depannya diharapkan benar-benar bisa berlanjut program pembangunannya. Sehingga dalam bahasa Sarkas, Presiden Jokowi bukan saja melakukan “cawe-cawe” sebagai Presiden, tetapi Presiden Jokowi juga telah mencampuri proses penyelenggaraan pemilu.

Akibatnya, Pemilu keenam di era Reformasi yang semestinya kita sudah menuju Pemilu Substansial, tetapi malah proses Pemilu di negeri ini kembali dibawa kepada Pemilu langsung yang mengesankan adanya mobilisasi untuk pemenangan satu calon tertentu, hal inilah yang menjadi pertimbangan untuk pengajuan PHPU ke MK oleh Kubu 01 Anies-Imin dan Kubu 03 Ganjar-Mahfud. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga