Haruskah Ketidaksabaran Berakibat Si Buah Hati Terbunuh?
Suryadi, telisik indonesia
Sabtu, 19 September 2020
0 dilihat
Suryadi, Wakil Sekjen Lembaga Kebudayaan Nasional, Jakarta. Foto: Ist.
" Itulah kesabaran! Sabar bukan saja unik, tapi amat universal bagi kebutuhan mengatasi semua persoalan. Dari hal yang sepele sampai kepada yang paling berat, sabar adalah jawaban pembuka jalan. "
Oleh: Suryadi
Wakil Sekjen Lembaga Kebudayaan Nasional, Jakarta
PANDEMI COVID-19 telah mengubah banyak hal termasuk kebiasaan hidup yang selama ini dianggap baik dan sudah benar sekalipun. Semua harus menyesuaikan dengan keadaan.
Esensinya adalah kemauan untuk masuk ke dalam ruang bernama ekstremitas perubahan.
Suka atau tidak suka, menerima atau menolaknya, toh harus patuh juga jika tidak mau akhirnya harus menjadi korban.
Ekstremitas perubahan itu, sesungguhnya adalah bukan sesuatu yang baru. Bahkan hampir setiap saat sering mudah diucapkan oleh siapa saja, tapi pada praktiknya --sengaja atau tidak-- sering terabaikan.
Itulah kesabaran! Sabar bukan saja unik, tapi amat universal bagi kebutuhan mengatasi semua persoalan. Dari hal yang sepele sampai kepada yang paling berat, sabar adalah jawaban pembuka jalan.
Apa yang dapat kita lakukan jika bukan dengan kesabaran ketika menghadapi tahapan-tahapan yang lazim kita sebut sebagai sebuah proses. Dalam kondisi normal sekalipun!
Persoalan kemudian muncul ketika dalam proses tersebut menemukan benturan dahsyat yang sulit dihindari, sementara gambaran bahwa semua akan berujung pada kenyataan berantakan terus menguntit.
Di sini lah diperlukan jeda sejenak. Ke dalam jeda itu lah sesungguhnya tanpa kita sadari bahwa sesungguhnya sabar telah mewujud.
Salah satu yang paling sibuk di masa COVID-19 menyerbu dewasa ini, adalah para orangtua, khususnya mereka yang di rumah harus menghadapi anak-anak di bawah usia 10 tahun (baputa) atau yang belum sepenuhnya berakal budi dalam menjalani pendidikan kelas 1, 2, 3, dan 4 Sekolah Dasar (SD).
Ujian bagi para orangtua, Ibu dan ayah atau dalam kerja sama keduanya, yaitu di samping harus bertindak sebagai pendidik di rumah, juga masih betumpuk-tumpuk lagi ujian duniawi lainnya yang menuntut ekstra sabar.
Di dalamnya termasuk pada saat berbarengan harus pula mengatasi kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, pada tingkat paling minimum sekalipun.
Dapat dimaklumi jika muncul teriak kesulitan mengatasi biaya untuk memenuhi keperluan belajar jarak jauh dengan sistem daring (dalam jaringan) bagi anak-anak, apalagi yang masih di tingkat baputa.
Akan tetapi, haruskah si anak baputa yang jadi korban, bahkan harus sampai meregang nyawa di tangan orangtua sendiri? Padahal, para orangtua itu notabene sering menyebut-sebut si korban adalah si buah hati obat pelega di kala lelah dan galau.
Lihatlah apa yang terjadi dengan seorang anak baputa. Si baputa yang baru ber-akal sepenjangkauan tangis dan masih harus dipupuk oleh kasih-sayang penuh dari Ibu itu, harus pula dijejali bukan hanya sistem belajar daring. Ia harus menerima kompensasi kejemuan dan kejengkelan Sang Ibu. Si Ayah pun tak memberi solusi terbaik untuk itu.
Mulai dari cubit paha dan tangan, mungkin pula jewer kuping, sampai juga pada pukulan kecil tangan kosong, ia terima dari sang ibu yang mengklaim si baputa adalah darah dagingnya sendiri.
Puncaknya, akumulasi kejengkelan dengan kemarahan meledak mewujud kepada kebengisan yang tersalur lewat gagang sapu.
Baca juga: Terjajah dalam Kemerdekaan
Dengan ringan si ibu melayangkan berkali-kali gagang sapu ke tubuh mungil darah dagingnya.
Dalam kemarahannya, mungkin si ibu tak mengira darah dagingnya tengah meregangnya nyawa. Maut pun menjemput si buah hati sebelum sempat dirawat di rumah sakit.
Kemudian, ibu pembunuh dan partnernya, sang ayah, memakamkannya secara diam-diam di suatu lokasi sepi di wilayah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Butuh waktu tiga jam perjalanan dengan sepeda motor untuk menjangkau lokasi itu --lewat tengah hari hingga jelang magrib.
Ironinya, ketika membawa jenazah si baputa, ayah – ibu itu juga membawa serta anak kembaran dari si baputa.
Seperti tak ada penyesalan, kedua orangtua pasangan muda itu masih sempat membangun sandiwara kehilangan anak.
Sasaran klaim palsunya adalah Polsek Setia Budi, Jakarta Selatan. Di situlah Sang Ibu memainkan sandiwara bahwa ia telah kehilangan anak baputanya, sebelum mereka dijemput oleh Satreskrim Polres Lebak.
Si ibu dan suaminya, kini menjadi tersangka pembunuhan anak yang sangat mungkin mereka amat cintai. Karena kasih sayang mereka itu pula, anak itu terlahir. Tentu, mereka berharap si anak hadir di dunia dan kelak bermasa depan cerah, jauh lebih baik daripada mereka.
KEJEMUAN berlarut-larut setidaknya selama enam bulan terakhir yang bermuara pada kejengkelan, pasti dialami oleh jutaan orangtua yang harus menanggung risiko menjadi guru pembimbing bagi anak-anak mereka yang menjalani aktivitas belajar daring dari rumah.
Teriak para orangtua mulai dari kesulitan rupiah pembeli pulsa sampai kepada sulitnya masuk kepada pembiasaan daring, bermunculan di mana-mana di seantero Tanah Air.
Baca juga: Gedung Kejagung Terbakar, Kasus Besar Apa Kabar?
Akan tetapi, jika para orangtua menyadari, mendidik anak agar terbiasa belajar dalam sistem daring, bukan lah risiko, melainkan bentuk tanggung jawab yang harus mereka "jabani".
Orangtua hendaklah menyadari bahwa merekalah sesungguhnya pendidik pertama dan utama dalam proses mendidik anak. Karena kewajiban para orangtua terhadap anak bukanlah sekadar mengajar matematika atau mata pelajaran lainnya, tapi mendidik mereka menjadi manusia dengan cara memanusiakan anak sesuai level keberakalan anak-anak.
Lembutnya sentuhan ibu dan hangatnya canda ayah adalah gizi pembangunan manusia masa depan. Anak yang nirsentuhan orangtua, bukan mustahil berjiwa kosong dan liar tak berhati.
Jika jutaan orangtua mengalami dampak dari tekanan terus "membiaknya" COVID-19, hal itu tidaklah berarti untuk mengantarkan mereka sampai kepada perbuatan kriminal seperti meluapkan kejengkelan hingga terbunuhnya si buah hati.
Kini, meninggalnya seorang anak baputa sudah terjadi dan dimulai dari Tangerang, Banten, dengan alasan yang sangat ironis: meluapnya kejengkelan hingga di luar batas takaran. Padahal, sabar itu tak berbatas, tak bertepi.
Orangtua gila pun --tentu saja karena ketidakwarasannya-- dapat dipastikan tak kan merampas hak prerogatif Tuhan mengakhiri hidup manusia. Apalagi, manusia itu anak kandungnya sendiri.
Kejadian seekstrem itu pasti juga di luar nalar para pemegang kebijakan di tengah amuk COVID-19 sekarang ini, termasuk para pelaksana di Dinas-dinas pendidikan di garis terdepan.
Pelajaran mahal itu tidak cukup hanya disahuti oleh luapan rasa perihatin dari siapa pun. Diperlukan ada kebijakan yang mampu menjangkau batas maksimal tekanan psikologis manusia agar tak ada lagi "kejengkelan yang amat sangat" berpuncak pada bertubi-tubinya hentakan gagang sapu pada si buah hati hingga harus meregang nyawa.
Diperlukan pendampingan bagi para orangtua yang sudah dihantam kesulitan akibat dari terus berlanjutnya serbuan COVID-19.
Baca juga: Pilkada dalam Paradigma Proses vs Hasil
Ya, diperlukan pendampingan dari para ahli yang sangat memahami dan mampu sabar menghadapi jiwa-jiwa yang tertekan oleh "ribuan ton beban" akibat lanjut dari COVID-19, dari hari ke hari. Ini terutama bagi kalangan bawah yang tanpa amuk COVID-19 pun, sesungguhnya memang sudah kesulitan.
Kapan serbuan COVID-19 kan berakhir, belum ada yang tahu. Sementara obat atau vaksin untuk melawannya belum final dapat digunakan.
"Vaksin" yang sudah tersedia adalah kemauan dan bersedia tertib dalam disiplin diri yang membangun kesadaran bahwa kita bisa membahayakan siapa saja saat berhadap-hadapan tak berjarak tanpa pengamanan apa pun.
Oleh karena itu, lakukan dengan kesadaran penuh jika bepergian: gunakan masker, jaga jarak antar individu, dan segera cuci tangan di air yang mengalir saat tiba di suatu tempat termasuk ketika tiba di rumah sendiri. Penuhi gizi sebaik mungkin (ini tentu butuh biaya, apalagi si saat dampak COVID-19 tak terhindarkan).
Sebab, COVID-19 terus mengintai di antara ketidaktahuan sesama. Kita tidak pernah tahu "ia" tengah menyelinap di mana dan dari siapa “ia” kan melompat lantas terbang ke siapa pula.
Di atas semua itu, sesuatu yang saya katakan sebagai paling universal bagi setiap upaya adalah sabar!
Sabar adalah esensi dari dan untuk melalui semua tahapan, proses kehidupan berjalan.
Esensi yang amat humanis itu pula yang harus dijalankan oleh para orangtua yang dari hari ke hari membimbing jalannya aktivitas belajar daring bagi si buah hati, seperti disampaikan di ujung wawancara Kabid Humas Polda Banten, Kombes Pol. Edy Sumardi di sebuah stasiun televisi swasta, Selasa petang, 19 September 2020.
Terlalu mahal, kalau cuma soal sulitnya membuat si kecil paham bagaimana belajar daring, harus berakibat hilangnya nyawa anak yang mengusap ingus sendiri pun jauh dari resik tuntas. Sabar, jangan terulang lagi! (*)