Hukum Menikahi Anak Perempuan yang Belum Haid
Fitrah Nugraha, telisik indonesia
Jumat, 30 Oktober 2020
0 dilihat
Ilustrasi pernikahan. Foto: duniahalal.com.
" Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menentramkan mata dan kelamin. Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng baginya. "
KENDARI, TELISIK.ID - Pernikahan adalah syariat yang dianjurkan bagi pria dan wanita, khususnya bagi yang sudah mampu untuk menempuh kehidupan rumah tangga.
Hukum menikah bagi seorang Muslim adalah sunah bagi mereka yang mampu dan dalam kondisi khusus, hukum menikah bisa menjadi berbeda.
Sebagian Rasulullah SAW dalam sebuah hadits bersabda, "Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menentramkan mata dan kelamin. Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng baginya." (HR. Bukhari No. 4779).
Namun, bagaimana jika seorang laki-laki dewasa menikahi seorang anak perempuan yang masih kecil dan belum haid? Berikut penjelasan Ulama ahli fiqih, Ustadz M Shiddiq Al Jawi.
Menurut M Shiddiq Al Jawi, hukumnya boleh (mubah) secara syar'i dan sah seorang laki-laki dewasa menikahi anak perempuan yang masih kecil (belum haid).
Dalil kebolehannya adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Dalil Al-Qur`an adalah firman Allah SWT, "Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid." (QS Ath-Thalaq [65] : 4).
Baca juga: Ini 7 Amalan Seperti Pahala Haji
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa, yang dimaksud "perempuan-perempuan yang tidak haid" (lam yahidhna), adalah anak-anak perempuan kecil yang belum mencapai usia haid (ash-shighaar al-la`iy lam yablughna sinna al-haidh).
Ini sesuai dengan sababun nuzul ayat tersebut, ketika sebagian sahabat bertanya kepada Nabi SAW mengenai masa iddah untuk tiga kelompok perempuan, yaitu perempuan yang sudah menopause (kibaar), perempuan yang masih kecil (shighar) dan perempuan yang hamil (uulatul ahmaal).
Ayat di atas secara manthuq (makna eksplisit) menunjukkan masa iddah bagi anak perempuan kecil yang belum haid dalam cerai hidup, yaitu selama tiga bulan.
Imam Suyuthi dalam kitabnya Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil halaman 212 mengutip Ibnul Arabi, yang mengatakan, "Diambil pengertian dari ayat itu, bahwa seorang [wali] boleh menikahkan anak-anak perempuannya yang masih kecil, sebab iddah adalah cabang daripada nikah."
Jadi secara tidak langsung, ayat di atas menunjukkan bolehnya menikahi anak perempuan yang masih kecil yang belum haid.
Penunjukan makna (dalalah) yang demikian ini dalam ushul fiqih disebut dengan istilah dalalah iqtidha`, yaitu pengambilan makna yang harus ada atau merupakan keharusan (iqtidha`) dari makna manthuq (eksplisit), agar makna manthuq tadi bernilai benar, baik benar secara syar'i (dalam tinjauan hukum) maupun secara akli (dalam tinjauan akal).
Baca juga: Terapkan Syariah Islam Bentuk Cinta Kepada Rasulullah
Maka dari itu, ketika Allah SWT mengatur masa iddah untuk anak perempuan yang belum haid, berarti secara tidak langsung Allah SWT telah membolehkan menikahi anak perempuan yang belum haid itu, meski kebolehan ini memang tidak disebut secara manthuq (eksplisit) dalam ayat di atas.
Adapun dalil As-Sunnah, adalah hadits dari 'Aisyah RA, dia berkata, "Bahwa Nabi SAW telah menikahi 'A`isyah RA sedang 'A`isyah berumur 6 tahun, dan berumah tangga dengannya pada saat 'Aisyah berumur 9 tahun, dan 'Aisyah tinggal bersama Nabi SAW selama 9 tahun." (HR Bukhari, hadits no 4738, Maktabah Syamilah).
Dalam riwayat lain disebutkan, Nabi SAW menikahi 'A`isyah RA ketika 'Aisyah berumur 7 tahun [bukan 6 tahun] dan Nabi SAW berumah tangga dengan 'Aisyah ketika 'Aisyah umurnya 9 tahun. (HR Muslim, hadits no 2549, Maktabah Syamilah).
Imam Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar (9/480) menyimpulkan dari hadits di atas, bahwa boleh hukumnya seorang ayah menikahkan anak perempuannya yang belum baligh (yajuuzu lil abb an yuzawwija ibnatahu qabla al-buluugh).
Berdasarkan dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa mubah hukumnya seorang laki-laki menikah dengan anak perempuan kecil yang belum haid.
Hukum nikahnya sah dan tidak haram. Namun syara' hanya menjadikan hukumnya sebatas mubah (boleh), tidak menjadikannya sebagai sesuatu anjuran atau keutamaan (sunnah/mandub), apalagi sesuatu keharusan (wajib). Wallahu a'lam. (C)
Reporter: Fitrah Nugraha
Editor: Kardin