Koalisi NGO Nilai Uji Kepatutan dan Kelayakan Calon Kapolri Minim Evaluasi HAM
Marwan Azis, telisik indonesia
Kamis, 21 Januari 2021
0 dilihat
Calon Tunggal Kapolri, Komjen Listyo Sigit. Foto: Repro Okezone
" Pertama, pengaktifan pamswakarsa. Kami menilai kebijakan ini berpotensi melanggar HAM karena tidak ada kualifikasi yang jelas mengenai organisasi yang dapat dikukuhkan sebagai Pam Swakarsa. "
JAKARTA, TELISIK.ID - Uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon tunggal Kapolri, Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo di DPR-RI dinilai minim evaluasi Hak Asasi Manusia (HAM)
Penilaian tersebut disampaikan Koalisi Reformasi Sektor Keamanan yang terdiri atas KontraS, Amnesty International Indonesia, HRWG, LBH Jakarta, Setara Institute, PBHI dan ICW.
Fatia Maulidiyanti dari KontraS menyayangkan minimnya evaluasi sektor penegakan HAM dalam uji kelayakan dan kepatutan tersebut.
Padahal, ada sejumlah persoalan yang berpeluang menjadi masalah bagi pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan HAM ke depan.
"Pertama, pengaktifan pamswakarsa. Kami menilai kebijakan ini berpotensi melanggar HAM karena tidak ada kualifikasi yang jelas mengenai organisasi yang dapat dikukuhkan sebagai Pam Swakarsa," ujarnya kepada Telisik.id di Jakarta, Kamis (21/1/2021).
Selain itu, kata Fatia, tidak ada pengaturan yang jelas mengenai batasan wewenang Polri dalam melakukan pengerahan massa Pam Swakarsa dalam menjalankan sebagian tugas dan fungsi Polri.
Hal ini berpotensi berujung pada peristiwa kekerasan, konflik horizontal, dan penyalahgunaan wewenang.
Baca juga: DPR RI Setujui Listyo Sigit Jadi Kapolri
"Kedua, pemberian rasa aman investor. Kami memandang Polri berpotensi menjadi alat kepentingan pemodal dan elite tertentu. Padahal UU No. 2/2002 tentang Kepolisian RI menegaskan arah institusi Polri adalah alat kepentingan publik dengan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat," tuturnya.
Polri harus netral dalam dinamika sosial-ekonomi. Keberpihakan pada investor ini telah berujung pada tindakan anggota Polri yang melanggar HAM di sejumlah wilayah, termasuk Surat Telegram Rahasia STR/645/X/PAM.3.2./2020 yang materinya bias kepentingan elite dan pemodal.
Sementara itu, Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia mengatakan, kebijakan tersebut bisa meningkatkan kriminalisasi atau pemidanaan yang dipaksakan terhadap aktivis lingkungan yang kerap mengkritik dan menolak korporasi yang merusak lingkungan.
Usman juga menyoroti tidak adanya solusi kongkret mengenai berbagai permasalahan mendasar di tubuh Polri seperti penyiksaan, extrajudicial killing, penempatan anggota Polri pada jabatan di luar organisasi Polri, kontrol pertanggungjawaban etik, korupsi di tubuh Polri, dan penghalangan bantuan hukum.
Akuntabilitas atas brutalitas polisi dalam penanganan aksi juga membutuhkan perhatian khusus.
Polisi kerap bertindak brutal dalam menangani unjuk rasa seperti tolak Undang-Undang Cipta Kerja pada Oktober 2020, unjuk rasa mahasiswa dan pelajar saat gerakan #reformasidikorupsi pada September 2019 dan unjuk rasa protes Pemilu pada Mei 2019 tanpa konsekuensi hukum yang jelas dan akuntabel.
Tindakan brutal terus terjadi karena tidak ada evaluasi menyeluruh dan minimnya pengawasan serta akuntabilitas terkait penggunaan kekuatan dalam menangani unjuk rasa.
Baca juga: 185 Bencana Terjadi hingga Minggu Keempat Januari 2021
Lebih lanjut, Arif Maulana dari LBH Jakarta menambahkan, faktor lain tidak adanya penghukuman secara tegas baik secara pidana maupun etik bagi aparat yang melakukan tindak kekerasan ataupun atasan yang membiarkan tindakan tersebut.
"Kami berpendapat jika masalah ini tidak dievaluasi maka sulit untuk memiliki pemolisian demokratis di bawah kepemimpinan Listyo. Ada 3 indikator yaitu pertama, melayani kepentingan elite, penguasa atau pemodal,kedua, tindakan pemolisian yang tak berdasarkan hukum atau penggunaan kekuatan yang eksesif, dan, ketiga, lemahnya pengawasan terhadap tindak pemolisian," tuturnya.
Koalisi mendesak Komjen Listyo Sigit Prabowo sebagai calon tunggal Kapolri mengevaluasi kembali terkait rencana kebijakan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai pemolisian yang demokratis dan segera melakukan reformasi internal kepolisian secara keseluruhan dengan:
1. Membatalkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa;
2. Memastikan Polisi memposisikan diri secara netral dalam menyikapi dinamika sosial-politik-ekonomi masyarakat;
3. Mengevaluasi cara Polri mengeluarkan arahan kepada jajarannya dalam bentuk surat telegram yang membatasi kebebasan sipil seperti saat peristiwa penanganan aksi massa penolak UU Cipta Kerja; dan
4. Mengevaluasi penggunaan kekerasan secara eksesif dengan melakukan penegakan hukum dan akuntabilitas secara tegas kepada aparat kepolisian yang telah melakukan kekerasan eksesif dalam menangani aksi massa dan memperbaiki sistem pengawasan internal Polri. (C)
Reporter: Marwan Azis
Editor: Fitrah Nugraha