Menenun Kenangan di Jembatan Batu Baubau

Eka Putri Puisi, telisik indonesia
Kamis, 14 November 2024
0 dilihat
Menenun Kenangan di Jembatan Batu Baubau
Wa Titi mulai menekuni tenun saat berusia 12 tahun. Foto: Firman

" Wa Titi, perempuan paruh baya berusia 40 tahun, penenun terakhir di Jembatan Batu yang juga menolak punah "

BAUBAU, TELISIK.ID - Gudang-gudang tua tak berpenghuni berjubelan, lapak yang menjual aneka kebutuhan, kapal-kapal kayu pun turut bertengger di sekitarnya. Itu adalah Jembatan Batu yang terletak di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara. dengan keriuhan yang padatnya bukan main sejak dulu kala.

Tak banyak yang tau bahwa di sela-sela semua itu, di antara yang tak lekang oleh waktu, ada Wa Titi, perempuan paruh baya berusia 40 tahun, penenun terakhir di Jembatan Batu yang juga menolak punah.

Di sebuah rumah mungil bercat hijau pudar yang mulai terkelupas, ia hidup bersama keluarga kecilnya. Di sanalah ia menghabiskan separuh waktunya untuk menenun. Menggunakan peralatan sederhana peninggalan buyutnya.

Wa Titi mengaku, keterampilan menenun itu ia peroleh dari ibunya yang juga diperoleh dari neneknya, seperti halnya neneknya dari nenek buyutnya. Proses pewarisan pengetahuan ini sudah berlangsung turun temurun dalam keluarganya.

Baca: Kisah Bar Mencari Tuhan: Hindu ke Katolik Lalu Temukan Kedamaian di Islam

Wa Titi sendiri mulai menekuni tenun saat berusia 12 tahun. Seluruh prosesnya ia kerjakan dengan cara manual. Baginya, menenun bukan hanya proses produksi karya semata,  tapi juga bagaimana ia tetap merawat kenangan dan menjaga tradisi keluarga.

Hasil tenun Wa Titi biasanya disetor kepada para pengepul di Keraton Buton untuk dijual lagi. Selembar kain biasa dihargai sekitar 250 ribu rupiah hingga 350 ribu rupiah.

Baca Juga: Kisah Soekarno Bersedia ke Rusia dengan Syarat Bisa Temukan Makam Imam Bukhari

Selain itu, Wa Titi juga kerap menerima pesanan langsung dari pembeli yang menyambangi kediamannya. Biasanya, mereka bebas memesan motif tenun yang diinginkan. Dalam sebulan, Wa Titi biasa menghasilkan sarung 5 lembar.

Penghasilan suaminya sebagai tukang bangunan yang tak seberapa, membuat Wa Titi sangat menggantungkan hidupnya pada hasil penjualan sarung-sarung itu.

Untuk selembar sarung, ia habiskan modal sebesar 100 ribu rupiah. Sisanya, ia pakai untuk kebutuhan sekolah kedua anaknya dan keperluan sehari-hari. (C)

Penulis: Eka Putri Puisi

Editor: M Nasir Idris

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Baca Juga