Pelapor Bongkar Delapan Kejanggalan Penyidikan Kasus Ijazah Palsu Arusani

Deni Djohan, telisik indonesia
Selasa, 17 Desember 2019
0 dilihat
Pelapor Bongkar Delapan Kejanggalan Penyidikan Kasus Ijazah Palsu Arusani
Ridwan Azali, pelapor kasus dugaan ijazah palsu milik Plt. Bupati Buton Selatan (busel), H. La Ode Arusani, di Polda Sultra. Fot

" Nah, analoginya seolah-olah pihak penyidik Polda Sultra membenarkan, bagi siapa saja oknum yang ingin menggunakan ijazah palsu di wilayah Sultra untuk urusan kelengkapan administrasi, cukup dengan cara menghilangkan fisik ijazah aslinya lalu tinggal menggunakan copyannya, maka ijazah itu sudah sah digunakan dan tidak akan diproses hukum. "

BAUBAU, TELISIK.ID - Pelapor kasus dugaan ijazah palsu milik Plt. Bupati Buton Selatan (Busel), H La Ode Arusani, di Polda Sultra, Ridwan Azali, mengaku kecewa dengan kinerja pihak kepolisian yang menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atas kasus tersebut. Padahal saat gelar perkara, tak satupun bukti yang membenarkan keaslian ijazah pengganti Agus Feisal Hidayat itu.

Baca Juga: Sidang Hikma Sanggala, IAIN Serahkan Bukti Perkara

"Sebagai pihak pelapor terhadap dugaan penggunaan ijazah palsu oleh Plt. Bupati Busel, La Ode Arusani, jelas saya sangat kecewa dengan proses hukum yang dilakukan oleh pihak Polda Sultra. Bagaimana tidak, bahwa dengan banyaknya alat bukti baik dokumen dan keterangan para saksi yang dikantongi oleh penyidik seharusnya sangat tidak beralasan untuk menghentikan kasus tersebut bahkan idealnya berkas perkaranya sudah bisa dilimpahkan ke Kejaksaan untuk selanjutnya diadili di pengadilan," tutur Ridwan Azali melalui rilis persnya, Selasa (17/12/2019).

Ia menilai ada keanehan yang dilakukan penyidik Polda Sultra dalam menerbitkan SP3 dengan alasan pokok kasus tersebut telah di-SP3 oleh Polres Mimika. Pasalnya, secara hukum sangat jelas sekali alasan itu tidak punya korelasi. Sebab proses hukum yang ditangani oleh Polres Mimika menyangkut soal tindak pidana pembuatan ijazah yang diduga palsu dengan terlapor, Reki Tafre.

Pihak kepolisian berdalih, fisik ijazah asli La Ode Arusani terbakar. Sehingga yang ada saat ini dokumen fisik yang telah difotocopy.

"Nah, analoginya seolah-olah pihak penyidik Polda Sultra membenarkan, bagi siapa saja oknum yang ingin menggunakan ijazah palsu di wilayah Sultra untuk urusan kelengkapan administrasi, cukup dengan cara menghilangkan fisik ijazah aslinya lalu tinggal menggunakan copyannya, maka ijazah itu sudah sah digunakan dan tidak akan diproses hukum," jelasnya.

Menurutnya, publik tidak bisa disalahkan ketika menduga ada kejanggalan dalam penerbitan SP3 ini. Ia mencatat ada delapan poin kejanggalan dalam kasus tersebut.

Pertama, bukti surat keterangan dari pihak SMPN Banti, Mimika, Papua, Nomor: 421.2/005/SMP-NB/II/2017 yang secara tegas menerangkan bahwa Laode Arusani tidak pernah tercatat sebagai siswa di SMP tersebut. Dan sekolah tersebut pertama kali menggelar ujian nasional tahun 2006. Sementara ijazah terlapor terbit tahun 2005.

Kedua, Surat Keterangan dari pihak SMPN Banti tersebut juga diperkuat surat klarifikasi yang dikeluarkan oleh pihak Kementrian Pendidikan Kebudayaan, nomor: 17868/A4-2/ HK/ 2017. Ketiga, kode ijazah pada copyan ijazah Arusani menggunakan kode ijazah milik Provinsi Nusa Tenggara Barat, 23. Padahal SMPN Banti berada di Papua dengan kode wilayah, 25. Empat, usia Laode Arusani saat lulus di SMP Banti telah berumur 30 tahun. Padahal sesuai dengan SK Bersama mendikbud dan Mentri Agama, RI batas usia maksimal pelajar SMP negeri adalah 21 tahun.

Kelima, pada tahun 2005, La Ode Arusani telah menikah dan memiliki anak. Jika disesuaikan dengan usia putera pertamanya, sangat jelas bahwa La Ode Arusani tidak diperbolehkan lagi mengikuti pendidikan di sekolah negeri. Pasalnya, Arusani telah menikah. Keenam, saat gelar perkara, tidak ada satupun saksi yang bisa memberikan keterangan bahwa Laode Arusani benar-benar pernah bersekolah di SMPN Banti. Ketujuh, mata pelajaran Pertanian seperti yang tercantum dalam copyan ijazah Laode Arusani tidak termasuk mata pelajaran yang pernah di ajarkan di SMPN Banti.

"Kedelapan, kesaksian Kepala SMPN Banti yang kebetulan sudah mengajar di SMPN Banti sejak awal didirikan bersama beberapa orang guru tegas menerangkan bahwa tidak pernah ada siswa di sekolah mereka yang bernama Laode Arusani , apalagi saat awal didirikan 2003 sampai tahun kelulusan siswa angkatan pertama di tahun 2006 jumlah siswa di sekolah pedalaman itu tidak lebih dari 20 orang, jadi sangat mudah mengingat orang orangnya. Ditambah siswa siswa yang bersekolah saat itu semua adalah anak anak asli Banti tidak ada campuran siswa yang berasal dari tempat lain," jelasnya.

Baca Juga: Anggota DPRD Beberkan Masalah RSUD

Kata dia, masih banyak bukti dan keterangan lain yang bisa memperkuat dugaan bahwa ijazah SMP Laode Arusani benar-benar palsu. Namun, ia lebih memilih menyerahkan sepenuhnya hal itu pada Ombudsman RI untuk segera menelusuri dan mengeluarkan rekomendasi resmi kepada pihak kepolisian RI untuk mencabut SP3 atas laporan tersebut, sekaligus mengawal agar pihak kepolisian Polda Sultra benar benar serius menuntaskan kasus tersebut.

"Saya yakin 1000 persen, Kapolri, Jenderal Idham Azis memiliki komitmen kuat memerangi kejahatan pemalsuan ijazah tanpa pandang bulu, karena itu merupakan bagian dari kejahatan yang menghianati dunia pendidikan dan perjuangan anak negeri terutama yang ada di pelosok pedalaman. Mereka terkadang harus mempertaruhkan nyawa menepuh medan berbahaya yang jauh untuk mendapatkan ijazah," tutupnya.

Reporter: Deni Djohan
Editor: Rani

Baca Juga