Perebutan Tahta Raja Moronene yang Menyentuh Tanah Warisan hingga Keterlibatan Investor

Gusti Kahar, telisik indonesia
Jumat, 12 Desember 2025
0 dilihat
Perebutan Tahta Raja Moronene yang Menyentuh Tanah Warisan hingga Keterlibatan Investor
Tim Advokasi Masyarakat Adat Moronene saat konferensi pers di salah satu cafe di Kota Kendari, Rabu, (11/12/2025). Mardan (kanan), Ahmed, perwakilan kelurga Raja Moronene VIII (tengah), Saksi Ahli, Agus Langara (kiri). Foto: Gusti Kahar/Telisik.

" Perdebatan penetapan status seorang Pauno Rumbia (Raja Morenene) kini menjadi isu hangat di kalangan masyarakat Kabupaten Bombana "

KENDARI, TELISIK.ID - Perdebatan penetapan status seorang Pauno Rumbia (Raja Morenene) kini menjadi isu hangat di kalangan masyarakat Kabupaten Bombana.

Pasalnya, pengakuan status Raja Moronene VII, Alfian Pimpie dan Aswar Latif Raja Moronene VIII memiliki dua versi yang berbeda. Raja VII bersama pengikutnya masih mengakui status Kemokoleannya, sementara Raja VIII bersama keluarga dan masyarakat adat lainnya berpendapat Alfian Pimpie telah dimakzulkan lalu mengangkat Aswar Latif menjadi Raja VIII.

Persoalan panjang ini menyangkut status tanah, struktur adat, hingga dugaan intervensi politik dan kepentingan investasi. Penelusuran berbagai pihak dalam rumpun keluarga murni menunjukan bahwa konflik tidak sekadar perebutan tahta, melainkan berakar dari masalah sengketa tanah yang telah berlangsung bertahun-tahun.

Oleh karena itu, Tim advokasi Lembaga adat Moronene (LAM) melakukan konferensi pers di salah satu coffe shop di Kota Kendari, Rabu 10 Desember 2025 malam, menyampaikan lima poin pokok persoalan yang terjadi di Negeri Dewi Padi julukan Kabupaten Bombana.

Ketua Tim advokasi LAM sekaligus mantan Ketua Panitia Pemilihan Raja Moronene VIII, Muhammad Mardhan mengatakan, lima poin pokok persoalan yakni, pertama, Pemakzulan Raja VII dan keabsahan Raja VIII, ke dua konflik lahan melibatkan keluarga Kerjaan Moronene Rumbia, ke tiga kriminalisasi yang dialami oleh tokoh adat dan Raja VII, ke empat keterlibatan investor, ke lima Lembaga Adat yang diakui keabsahannya.

Pemakzulan Raja VII dan Keabsahan Raja VIII

Raja VII, Alfian Pimpie, resmi dimakzulkan oleh Lembaga Adat Moronene (LAM) setelah dinilai melakukan pelanggaran adat yang serius. Alfian dianggap mencoreng martabat etnis Moronene Rumbia karena diduga menjual tanah masyarakat termasuk harta waris keluarga kepada investor dengan mengatasnamakan “tanah kerajaan”.

Lebih jauh, Alfian disinyalir memperjualbelikan lahan yang bukan menjadi hak kepemilikannya, menggunakan kop dan stempel kerajaan untuk melegitimasi transaksi yang kini dipersoalkan.

Baca Juga: Bawa Saksi Kunci ke Polda Sulawesi Tenggara, Tim Advokasi Soroti Penetapan Tersangka Raja Moronene

"Kami turun menginvestigasi kurang lebih 1 bulan, dan setiap yang kami tanya, beli dari siapa tanah ini? muaranya kepada satu nama yakni Alfian Pimpie," ujar Mardan.

Konflik Lahan Melibatkan Raja Moronene dan Keluarga

Menurut Mardan, konflik lahan ini bermula dari manuver kepentingan Raja VII yang tidak mendapat restu dari keluarga Raja VIII, Aswar Latif. Ia mengungkapkan bahwa sebelum persoalan ini mencuat ke publik, pemerintah daerah bersama perwakilan investor dan Raja VII pernah mendatangi mereka untuk menawarkan kerja sama guna meloloskan perusahaan Sultra Indonesian Park (SIP) beroperasi di wilayah yang diklaim sebagai tanah keluarga Raja VIII.

"Namun dalam diskusinya tidak ditemukan titik temu, terlebih lokasi yang ditunjuk oleh investor itu diklaim oleh Raja VII sebagai tanah kerajaan, sementara itu adalah tanah leluhur kami, dan warisan dari keluarga kami dan kami sebagai ahli warisnya. Jangan semuanya diklaim milik Raja VII," katanya.

Kriminalisasi Tokoh Adat hingga Raja VIII Moronene Terpilih

Dugaan kriminalisasi menyasar tokoh adat, Raja, hingga masyarakat adat Moronene. Kriminalisasi ini mencuat setelah adanya laporan dugaan pengrusakan dan pendudukan kawasan hutan produksi.

Menurut Mardhan, lahan yang dipersoalkan semula bukan kawasan hutan. Karena itu, ia dan keluarganya menempati area tersebut untuk berkebun dan menanam kelapa sawit. Kehadiran keluarga pihak Raja VII di lokasi itu, lanjutnya, dipicu oleh klaim Alfian Pimpie bahwa lahan perkebunan tersebut merupakan miliknya.

“Sebenarnya kami masuk itu untuk mengusir orang-orang yang menjaga lahan, karena itu diklaim milik Raja VII. Saat kami mengusir, lahan itu sudah terbuka dan pohon sudah ditebang. Setelah pengusiran kami mendirikan pondok, namun seminggu setelahnya tiba-tiba ada plang pengumuman bahwa itu daerah kawasan,” jelasnya.

Melihat plang kawasan yang dipasang oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), keluarga Raja VIII memilih mematuhi aturan. Mereka meninggalkan lokasi pada 2024. Namun, pada 2025, mereka justru dilaporkan ke Polda Sultra atas dugaan pengrusakan dan pendudukan kawasan hutan.

“Kami sendiri tidak tahu, tiba-tiba saja status lahan berubah menjadi kawasan hutan produksi yang sebelumnya APL. Terlebih sebelumnya, daerah tersebut adalah hibah dari PT Barito Investor Prima yang tidak lagi beroperasi di tahun 2023,” ujarnya.

Selain Aswar Latif, dua warga lain, Makmur dan Ratman Jaru Munara, juga terseret dalam dugaan kriminalisasi yang disebut dipicu oleh laporan dari pihak yang mereka anggap sebagai sekutu Alfian Pimpie, mantan Raja Moronene.

“Kami dalam aksi beberapa waktu itu menyampaikan mosi tidak percaya kepada APH, karena kami menduga adanya kriminalisasi dan Polda Sultra tutup mata. Pasalnya saat penyidik datang ke lokasi lahan tersebut, hutan kawasan sudah digarap oleh orang lain yang sampai hari tidak dilakukan penindakan,” terangnya.

Keterlibatan Investor

Menurut Mardhan, dugaan kriminalisasi yang menimpa keluarga adat Moronene tidak terlepas dari adanya kepentingan investor, Pemda Bombana dan Raja VII, Alfian Pimpie. Ia menjelaskan bahwa indikasi tersebut muncul seiring adanya kebutuhan investor yang hendak membangun perusahaan di wilayah Bombana.

“Seperti yang dijelaskan tadi, keluarga kami disambangi oleh ketiga pihak tersebut, dan tidak menemui hasil, setelah itu terjadilah kriminalisasi hingga saat ini,” ujarnya.

Mardhan menambahkan, mantan Raja VII Moronene, Alfian Pimpie, bersama Leo Chandra dan Pemda Bombana, diduga bersikukuh menolak penyelesaian damai lantaran menginginkan penguasaan dan eksploitasi lahan pertambangan yang diklaim sebagai milik keluarga besar Mokole Aswar Latif.

Lembaga Adat yang Diakui Keabsahannya

Di Kabupaten Bombana, terdapat dua lembaga adat Moronene yang saling mengklaim keabsahan: Lembaga Adat Moronene (LAM) dan Lembaga Adat Kerajaan Moronene (LMK). Kedua lembaga tersebut sama-sama menyatakan dirinya sebagai lembaga adat yang sah.

Menurut Mardhan, LMK lahir pada 2017 dan dianggap dibentuk untuk meloloskan kepentingan Raja VII dan koleganya. Sementara itu, ia menegaskan bahwa LAM merupakan lembaga adat pertama di Moronene Rumbia dan telah terdaftar di Kesbangpol Sultra.

Baca Juga: Raja Moronene VIII Ditersangkakan Atas Dugaan Pidana Kehutanan, Lembaga Adat Morenene Angkat Bicara

“Kami secara keabsahan jelas, ada akta notaris, berbadan hukum, dan telah terdaftar di Kesbangpol dan berproses untuk terdaftar di Kemenkum. Justru lembaga adat yang mengklaim sebagai lembaga SAH baru berdiri untuk meloloskan kepentingan pihak-pihak mereka,” ujarnya.

Konflik internal kerajaan yang melibatkan tokoh adat, perselisihan kelembagaan, hingga dugaan kriminalisasi, kini menjadi perhatian masyarakat Sulawesi Tenggara. Perseteruan ini menimbulkan ketidaknyamanan dan mengganggu keharmonisan di lingkungan keluarga kerajaan maupun masyarakat.

Saat dihubungi Telisik.id melalui via WhatsApp, pihak Alfian Pimpie melalui kuasa hukumnya, Jahrullah memastikan akan memberikan jawaban beberapa hari ke depan.

“Kami akan pastikan memberikan jawaban satu dua hari ke depan," singkat Jahrullah. Kamis, (11/12/2025) malam. (B)

Penulis: Gusti Kahar

Editor: Kardin

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baca Juga