Perlindungan Terhadap Anak dan Wajah Bangsa

Zaenal Abidin, telisik indonesia
Sabtu, 06 Juli 2024
0 dilihat
Perlindungan Terhadap Anak dan Wajah Bangsa
Zaenal Abidin, Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia Periode 2012-2015. Foto: Ist.

" Hak kesehatan atau hak pelayanan kesehatan pada anak sangat berhubungan dengan hak untuk bertahan hidup. Termasuk di dalamnya adalah hak imunisasi dan pemenuhan gizi terbaik yang dapat diberikan oleh negara "

Oleh: Zaenal Abidin

Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia Periode 2012-2015

KONVENSI PBB tentang hak-hak anak, yang diratifikasi dengan Kepres No.36/1990, mengenal 4 kategori hak-hak anak yang sangat mendasar: 1) Hak untuk bertahan hidup; 2) Hak untuk bertumbuh dan berkembang; 3) Hak untuk memperoleh perlindungan dari berbagai bentuk tindakan kekerasan dan diskriminasi; 4) Hak untuk berpartisipasi dalam berbagai keputusan yang sangat mempengaruhi hidup dan nasibnya.  

Dua belas tahun setelahnya, Indonesia pun mengadaptasi konvensi tersebut ke dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian direvisi pada tahun 2014 pada UU No. 35 Tahun 2014. Kemudian tahun 2016 direvisi lagi dengan UU No. 17 Tahun 2016 dengan harapan dapat lebih memberatkan sanksi pidana, memberi efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak.

Undang-Undang Kesehatan No. 17 Tahun 2023 pun mengatur mengenai perlindungan berupa pemeliharaan kesehatan anak. Disebutkan bahwa upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak dalam kandungan, bayi, balita, hingga sebelum usia 18 tahun. Termasuk perlindungan dan pemeliharaan kesehatan kepada anak penyandang disabilitas dan yang berkebutuhan khusus.

Walaupun konvensi hak-hak anak sudah diratifikasi bahkan sudah menjadi UU Perlindungan Anak dan juga telah terakomodir di dalam UU Kesehatan, namun bukan berarti bahwa perlindungan dan pemenuhan hak anak atas kesehatan sudah terpenuhi dengan baik.

Hak Dilindungi Kesehatannya

Hak kesehatan atau hak pelayanan kesehatan pada anak sangat berhubungan dengan hak untuk bertahan hidup. Termasuk di dalamnya adalah hak imunisasi dan pemenuhan gizi terbaik yang dapat diberikan oleh negara. Implikasi nyatanya adalah negara harus mengupayakan standar kualitas kesehatan tertinggi untuk semua anak, tanpa membedakan tingkat sosial-ekonomi maupun faktor sosial lainnya.  

Berbagai laporan dari WHO, Unicef, maupun lembaga lainnya, menunjukkan masih tingginya mortalitas anak karena berbagai penyakit serta rendahnya status gizi balita dan anak sekolah, yang sebetulnya dapat dicegah. Selain itu, masih ada yang tidak memperoleh akses kesehatan hanya karena tidak memiliki orang tua atau tidak mempunyai surat bukti domisili.  

Fenomena di atas memang sungguh ironis, sebab anak bangsa yang seharusnya dilindungi, malah tersingkir di dalam negara dan di tengah pergaulan bangsanya sendiri. Beberapa upaya mulia telah dilakukan, baik oleh instansi pemerintah maupun non pemerintah, namun belum terlampau membantu. Ditengari upaya mulia tersebut justru melahirkan labelisasi atau stigma sosial baru bagi anak. Misalnya, digelari “anak miskin” dan “anak terlantar.”  

Baca Juga: Perokok Anak Meningkat, Alarm Sektor Kesehatan Indonesia

Pendekatan yang menstigmatisasi dalam bentuk apa pun tidaklah menguntungkan, sebab justru semakin meminggirkan anak secara psikologis dan sosial. Suatu hal yang mungkin perlu diingat bahwa pada waktu dilahirkan anak itu hanya menyandang gelar sebagai seorang anak, tanpa stigma lain.  

Terkait hak kesehatan. Sebetulnya konvensi hak-hak anak juga mengatur secara tegas bahwa setiap negara mengakui hak anak untuk menikmati norma kesehatan tertinggi yang dapat dicapai dari perawatan sakit dan pemulihan kesehatan.  

Negara-negara peserta konvensi sepakat untuk berusaha keras menjamin bahwa tidak seorang anak pun dapat dirampas haknya dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Dan tidak ditemukan adanya penjelasan pasal-pasalnya yang mengatakan bahwa hak untuk menikmati pelayanan kesehatan hanya bagi anak-anak tertentu.

Hak Dilindungi dari Tindak Kekerasan

Tidak jarang ditemukan hal memilukan pada anak, seperti keadaan sakit cacat, luka parah, bahkan sampai meninggal (tidak mampu bertahan hidup), namun bukan disebabkan oleh kurangnya perhatian di bidang kesehatan. Juga tidak disebabkan karena tidak terpenuhinya hak imunisasi atau asupan gizinya. Kejadian ini justru disebabkan oleh perlakuan kekerasan oleh orang dewasa.  

Perlakukan kekerasan orang dewasa kepada anak sering luput dari perhatian masyarakat karena beberapa faktor yang masih menjadi mitos, antara lain: Pertama, bahwa keluarga adalah sebuah lingkungan yang selalu harmonis dan penuh kasih sayang.  

Kedua, bahwa orang tua atau orang yang dituakan akan selalu melindungi anak-anak karena kasih sayang dan cinta mereka. Ketiga, adanya kesalahan persepsi bahwa yang mengakibatkan keadaan sakit dan disfungsional pada manusia hanyalah penyakit dan kekurangan gizi.

Ketiga alasan di atas cukup menjadi halangan bagi warga masyarakat ketika melihat ada anak yang mengalami kekerasan di dalam keluarganya. Mereka juga enggan melapor kepada pihak berwajib karena masih percaya bahwa orang tua, kakek, paman, guru, pembimbing, dan pelatih, tidak mungkin mencelakai anak-anak yang dalam pengawasannya sendiri.

Hal di atas pun terjadi pada profesi atau tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, bidan, dan lainnya. Misalnya, bila profesi atau tenaga kesehatan mendapatkan pasien yang luka, memar, patah tulang atau yang trauma lainnya, seringkali mereka luput menelusuri lebih jauh, apakah trauma yang dialami anak tersebut akibat tindak kekerasan atau bukan?

Andai pun para profesi atau tenaga kesehatan kemudian menemukan adanya dugaan tindak kekerasan ketika pada pasiennya, belum tentu berani melaporkan kepada pihak berwajib. Belum lagi bila mereka berpandangan bahwa tugasnya hanya sebatas merawat dan mengobati pasien sampai sembuh.  

Bahwa, bila mereka menemukan lalu menulisnya pada buku atau status pasien, tentu ya. Atau mungkin juga ada yang melaporkan ke institusinya. Tapi, apakah kemudian institusinya melanjutkan laporan tersebut kepada pihak berwajib? Atau apakah keluarga pasien bersedia? Ini semua jadi soal.

Fenomena serupa terjadi pada anak korban kekerasan seksual. Boleh jadi warga masyarakat tahu kalau anak itu korban kekerasan seksual, namum enggan melaporkannya. Sekalipun mereka tahu bahwa anak korban kekerasan seksual itu sangat menderita. Tidak hanya menderita trauma fisik, penyakit menular seksual, tetapi juga mengalami stres mental yang amat berat.  

Masyarakat juga tahu bahwa stres mental berat pada anak korban kekerasan seksual akan memberi pengaruh besar terhadap perkembangan jiwa dan perilaku sosialnya. Dan, secara sistematis akan membentuk penyimpangan moral dan sosial secara struktural di masa akan datang, namun tetap enggan melaporkannya.

Baca Juga: Tandus Nilai Agama, Tindak Asusila Marak di Kampus

Selain ketiga mitos di atas, faktor penghambat pelaporan lain yang ditengarai adalah karena masyarakat kita juga tidak mau repot-repot berhubungan dengan urusan hukum dan penegak hukum.

Catatan Akhir

Setiap anak perlu mendapatkan perlindungan atas kesehatannya, baik terkait kesehatan fisik, jiwa, sosial dan spiritual. Demikian pula perlindungan atas hak imunisasi dan kecukupan gizinya. Perlindungan atas kesehatan, pemenuhan hak imunisasi, dan gizi seimbang sangat penting bagi anak untuk dapat bertahan hidup dan jaminan masa depannya.  

Namun demikian, keadaan sakit atau meninggal bagi anak bukan saja disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak-hak seperti: hak kesehatan, hak imunisasi, dan hak gizi seimbang di atas. Terdapat faktor lain yang sering luput dari perhatian kita semua, yaitu perlakuan tindak kekerasan oleh orang dewasa.

Terkait perlakuan tindak kekerasan oleh orang dewasa sering luput karena tidak terlaporkan. Karena itu, perlu adanya mekanisme pelaporan dan perlindungan pelapor yang jelas. Mekanisme pelaporan perlu jelas agar setiap warga masyarakat maupun institusi tidak kesulitan melaporkannya.  

Hal yang sama pentingnya adalah perlindungan terhadap pelapor. Mengapa perlindungan pelapor penting? Agar setiap warga masyarakat maupun institusi tidak ragu atau takut melaporkan bila mengetahui adanya dugaan tindak kekerasan terhadap anak.

Perlindungan tehadap anak di negeri ini perlu dilakukan secara serius, komprehensif, sistematis, terkoordinasi, serta bebas dari stigmatisasi dan diskriminasi. Bila tidak, maka dikhawatirkan suatu saat wajah bangsa kita akan berubah menjadi menyeramkan. Jauh dari wajah bangsa yang beradab. Wallahu a'lam bishawab. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga