Praktisi Hukum hingga Akademisi Sorot Kasus Alfamidi

Erni Yanti, telisik indonesia
Senin, 04 Desember 2023
0 dilihat
Praktisi Hukum hingga Akademisi Sorot Kasus Alfamidi
Praktisi hukum, akademisi dan LBH Kendari saat bicara perkara yang menguak fakta persidangan kasus PT MUI di Hotel Zahra Kendari. Foto: Erni Yanti/Telisik

" Soal kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), pengurusan izin pendirian PT Midi Utama Indonesia (MUI), di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara mendapat sorotan dari praktisi hukum, akademisi dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) "

KENDARI, TELISIK.ID - Soal kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), pengurusan izin pendirian PT Midi Utama Indonesia (MUI), di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara mendapat sorotan dari praktisi hukum, akademisi dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Senin (4/11/2023).

Kasus dugaan Tipikor ini direntet oleh Prkatisi Hukum Nasruddin, Akademisi Wahyu Prianto dan LBH Kendari Saddam Husain, berdasarkan fakta persidangan kasus gratifikasi PT MUI, hingga Jaksa walk out.

Praktisi Hukum, Nasruddin mengatakan, perkara yang disidangkan tersebut terlebih dahulu harus melihat bagaimana jaksa menyusun dan menguraikan peristiwa yang terjadi sehingga didakwakan.

Uraian peristiwa yang didakwakan oleh jaksa harus jelas, khususnya identitas terdakwa, penyusunan berdasarkan hasil pemeriksaan, berita acara pemeriksaan, bukti-bukti yang ditemukan oleh penyidik, terkait dengan perkara Alfamidi.

"Kalau mendakwa lebih dari satu orang, jaksa harus menguraikan locus delicti uraian peristiwa, kalau lebih dari pada satu berarti harus digunakan pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP," ungkap Nasruddin, pada acara gelar perkara di Hotel Zahra Kendari, Senin (4/12/2023).

Baca Juga: Hakim Ketua Kasus Alfamidi Diganti, PN Kendari: Tidak Ada Kaitan dengan Walk Out JPU

Nasruddin menegaskan, ketika perkara yang didakwakan terdiri dari dua orang atau lebih maka harus menggunakan pasal 55 dan tidak boleh terpisahkan, namun dalam perkara PT MUI pasal 55 tidak digunakan pada terdakwa Sulkaranain Kadir.

Dalam kasus ini sesuai fakta persidangan, divonis bebasnya dua terdakwa karena ada beberapa saksi yang mencabut laporan persidangan.

Terkait ini, Nasruddin melihat ada kejanggalan dalam perkara pada dakwaan terdakwa Sulkarnain Kadir, yang bersangkutan tidak didakwa dengan pasal 55 ayat 1, sehingga dalam perkara ini splitsing, menurutnya perkara displist ada 2 terdakwa sudah menggunakan pasal 55, maka Sulkarnain juga harus ada pasal 55.

"Dalam pengamatan saya, diberikan kesempatan untuk pengacara untuk mengajukan eksepsi untuk diuraikan bahwa dakwaan itu kabur tidak ada pasal 55 ayat 1 atau pasal 56 KUHP," beber Nasruddin.

Ia mengatakan, jaksa sudah was-was, seharusnya pada saat itu hakim kabulkan, namun ada pertimbangan ketika dikabulkan jaksa akan bermasalah dan kena eksaminasi.

"Kenapa jaksa walk out karena dia sudah punya perasaan bahwa perkara ini akan bebas, karena ada dua yang bebas dan saksi sudah mencabut keterangannya. Kalau dia tidak berbuat seperti ini dia akan eksaminasi, karena ketika jaksa medakwah seseorang dia bebas, jaksa pasti eksaminasi, makanya segala cara dilakukan agar tidak eksaminasi," jelas Nasruddin.

Penilaian keterburu-buruan jaksa dalam perkara tersebut, Kata Nasruddin sehingga sudah tidak sesuai dan kasus gratifikasi yang disidangkan terdapat kekurangan barang bukti, sehingga tidak dapat dikatakan demikian.

"Hal lain pengamatan saya perkara ini terburu-buru, seolah-olah menjadi satu prestise bagi kejaksaan banyak memeriksa perkara korupsi, akhirnya rambu-rambu itu tidak diikuti dengan baik. Karena ini perkara gratifikasi, saya lihat ada kekurangannya yang diperiksa oleh jaksa, tidak ada barang bukti kuat bagaimana mau dikatakan itu gratifikasi ada pemerasan uang tidak ada," ungkap Nasruddin.

Ia mengatakan, ketika mendakwa orang dalam gratifikasi atau pemerasan maka ada yang diperas. Ketika menerima gratifikasi, berarti gratifikasi adalah uang, jika tidak ada uang apa yang untuk dibuktikan, hal tersebut menuduh orang dengan berangan-angan.

"Ini strategi seorang jaksa ketika dia walk out mengharapkan perkara itu tidak berlanjut dan hakim menggugurkan perkara itu dan akan diulang, inikan perilaku yang tidak bagus, mempertontonkan kepada masyarakat seolah-olah dia paling benar, tapi ada hal-hal di balik itu, pura-pura marah sudah tahu dia melakukan kesalahan dan kemudian mengharapkan perkara ini gugur," ungkap Nasruddin.

Sementara, dari Akademisi, Wahyu Prianto mengatakan, jika cara walk out adalah stategi jaksa, maka bagaiamana jika hal demikian dilakukan oleh pengacara.

Ia yakin tindakan walk out tersebut jika dilakukan oleh pengacara maka akan dikatakan Contempt of Court, sehingga terdapat diskriminasi hukum.

Wahyu Prianto mengatakan, hal demikian sangat dikoreksi dan menjadi perdebatan di lingkungan akademisi bahwa penegakan tindak pidana korupsi itu apakah masih relevan dengan banyaknya ditangkap tindak pidana korupsi. Karena itu diuji dengan bagaimana proses peradilannya, proses persidangannya.

"Saya melihat perkara ini sederhana saja, sebenarnya gratifikasi itu ada uang terus terjadi transaksi apa tidak. Apakah itu menjadi hal yang dihukum di persidangan atau tidak oleh Majelis Hakim, lihat fakta persidangan saja, kalau memang fakta persidangan tidak ada yang dihukum, jaksa juga harus fair, harus berlapang dada mengakui.

Hal demikian juga dilakukan Penasehat Hukum juga begitu menerima putusan hakim bahwa kliennya bersalah atau tidak.

Secara akademisi ia mengungkapkan, tindak pidana korupsi ini memang menjadi tugas dalam penegakan hukum, karena suka tidak suka, peradilan pidana dinaungi oleh KUHAP dan hukum acara pidana yang dibangun dengan mental kolonial.

"Artinya ada yang di atas dan ada yang di bawah," kata Wahyu Prianto

Hal ini menempatkan setiap terdakwa dan penasehat hukum, yang walaupun Undang-Undang mengatakan equaliti (persamaan), mental dalam proses ini selalu menempatkan terdakwah dan penasihat seolah-olah lebih rendah dari penegak hukum dalam hal ini jaksa.

Baca Juga: Perjalanan Syarif Maulana di Kasus Alfamidi, dari Tersangka hingga Vonis Bebas

"Betapa ironisnya suatu bidang mendewakan equality before the law, yang mendewakan hak asasi manusia yang mengatakan semua harus setara tapi dalam proses menjalankan amanat itu ada pihak-pihak yang bertanggung jawab, tapi merasa lebih tinggi kepada pihak yang lainnya ini tidak terbaca secara hukum namun fenomena secara etis," jelas Wahyu Prianto

Direktur LBH Kendari, Saddam Husein mengatakan, dalam aturan formil dan materiil KUHAP dan dakwaan ini seiring sejalan.

Kemudian juga ia menerangkan terkait Undang-Undang yang menjelaskan terkait kejaksaan.

Berdasarkan Undang-Undang oleh Kejaksaan itu sangat besar, terkait tugas dan tanggubg jawab sesuai dengan Undang-Undang No 16 Tahun 2004 dan Undang-Undang No 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan.

Ia kengatakan, masyarakat bisa menilai dan melihat jalannya fakta persidangan yang terjadi pada PT Midi Utama Indonesia tersebut. Kemudian bersarkan Undang-Undang Jaksa dan Kehakiman. (A)

Penulis: Erni Yanti

Editor: Kardin

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baca Juga