Perempuan-Perempuan Jibu-Jibu
Penulis
Minggu, 22 November 2020 / 8:46 am
Oleh: Ima Lawaru
Penulis Novel Savana Asal Wakatobi
DI DERMAGA tua Usuku, nampak seorang wanita muda usia, mengenakan jilbab yang sedikit kusut. Usianya sekitar dua puluhan. Ia berdiri dengan sebuah ember cat bekas ukuran dua puluh liter, berwarna putih kumuh tergores-gores. Yang terletak malas di sampingnya. Di kulit wajahnya yang kencang, dilapisinya dengan bedak murah merek Berastagina.
Wanita muda itu rupanya tidak sendirian. Ia bersama seorang ibu muda, dan tiga puluhan ibu tua lainnya (nampak dari kulit wajah mereka yang sudah keriput, yang juga dilapisi bedak dengan merek yang sama) menunggu di sana. Sambil sesekali di antara mereka terjadi obrolan iseng. Sesekali juga obrolan yang nampak serius dan beberapa orang di antaranya sambil makan dan tertawa lepas.
Di kalangan mereka percakapan yang umumnya terjadi adalah seputar kehidupan rumah tangga mereka, anak-anak yang susah diatur, musim angin yang tak menentu, harga ikan yang tidak stabil, dan gosip-gosip miring yang masih hangat beredar di masyarakat. Hal yang terakhir itulah topik yang biasanya paling seru.
Di kejauhan, di tengah selat yang beriak, nampak tiga bodi bergerak lambat-lambat menuju dermaga, tempat dimana ibu-ibu yang sedang menunggu tadi mengobrol. Ibu-ibu itu menunggu sejak jam empat subuh. Nyaris sudah tiga jam lebih mereka di sana, hingga tak terasa matahari sudah nongol dari ufuk timur.
Tatkala bodi-bodi hampir merapat, menghamburlah ibu-ibu itu ke sisi dermaga dengan rasa ketidaksabaran seperti anjing-anjing kelaparan yang menanti sepotong tulang. Ketika bagian haluan bodi benar-benar mencium sisi dermaga, dan tangga-tangga kecil telah melekat pada sisinya, bergerak masuk berdesak-desaklah ibu-ibu tadi ke dalam kapal.
Ibu muda berjilbab, memegang ember putih dengan tingkah yang masih sedikit canggung mendekati seorang pelingkar dari Selatan yang merupakan langganan tetapnya selama sebulan belakangan ini. Si pelingkar berkumis, melempar senyum dan kerlingan mata yang sedikit nakal ke arah wanita muda berjilbab itu dan tanpa bicara apa-apa, lalu membuka terpal plastik di belakangnya. Tampaklah dua bakul ikan kembung yang masih segar di sana.
Diberikanlah ikan itu pada si wanita muda itu, terjadi percakapan sebentar di antara mereka, lalu sebakul ikan dipindahkan ke dalam ember putih yang dipegangnya tadi, lalu dijunjung di atas kepalanya yang telah dilapisi kongko. Dan sebakul lagi dioperlah pada tukang ojek, yang akan mengantar ibu muda itu ke pasar nanti, setelah ikan yang dijunjungnya dijual keliling kampung laku terjual.
Sementara ibu-ibu yang lain tampak masih memilih-milih ikan yang masih segar dan yang sudah melek dengan gerakan terburu-buru seolah-olah sedang diburu anjing, sebagian lagi ada yang sudah menjunjung ember-ember ikan di atas kepalanya dan berlalu cepat bersama tukang ojek langganannya, dan tinggal beberapa saja yang masih bernegosiasi harga dengan pelingkar yang tak kunjung usai.
Baca juga: Mengenal Siti Afiah, Nenek 69 Tahun Raih Gelar Doktor Predikat Cumlaude
Narasi di atas adalah sepenggal kisah kehidupan para perempuan jibu-jibu di pesisir pantai Pulau Tomia. Mereka juga adalah ibu (entah mengapa pekerjaan ini memang hanya dilakoni oleh ibu-ibu dan sebagian kecil oleh laki-laki yang tentunya sudah berkeluarga).
Mereka adalah perempuan-perempuan perkasa yang bekerja semenjak subuh mulai runtuh hingga panas matahari memanggang, untuk keluarga kecil mereka di rumah yang perut-perut kecilnya selalu minta diisi. Jibu-jibu, pekerjaan ini terdengar kasar, dengan penghasilan yang tak menentu, seperti musim angin. Namun, mereka tetap gigih, bangun pagi-pagi sekali menuju dermaga yang jarak tempuhnya lumayan jauh untuk sebuah harapan.
Lalu, tidakkah Anda penasaran apa itu jibu-jibu? Deskripsi singkat di atas barangkali telah membawa pikiran Anda pada sebuah pemahaman sederhana bukan? Bahwa jibu-jibu identik dengan penjual ikan.
Ya, pemahaman Anda tidaklah salah. Namun, di Tomia, Kabupaten Wakatobi, ada sedikit perbedaan pemberian istilah untuk penjual ikan, dan ayo kita sama-sama telusuri asal muasalnya.
Jibu-jibu konon berasal dari Bahasa Ambon. Di pulau terpencil Tomia, Kabupaten Wakatobi, di zaman dulu sebelum datangnya para pengungsi Kerusuhan Ambon 1999, orang mengenal penjual ikan dengan istilah papodaga kenta (papodaga=pedagang, kenta=ikan). Setelah datangnya eksodus Ambon 1999, orang lebih sering menggunakan istilah jibu-jibu daripada papodaga kenta.
Di Ambon sendiri orang mengenal dua istilah untuk penjual ikan yaitu papalele dan jibu-jibu. Dengan nama yang hampir seirama, Di Pulau Morotai, Propinsi Maluku Utara, penjual ikan dinamai dibo-dibo. Bagaimana dengan di daerah Anda?
Di Tomia, orang juga mengenal istilah papalele yang ditujukan untuk para pedagang ikan sama halnya dengan istilah jibu-jibu. Namun istilah papalele pada penerapannya ternyata ditujukan pada segala macam penjual pinggiran, seperti: penjual buah, ikan, sayur, dan lain-lain. Beda halnya dengan jibu-jibu yang hanya ditujukan secara khusus untuk penjual ikan saja.
Penjual ikan dengan model menjual sendiri hasil tangkapannya, tidaklah disebut jibu-jibu. Begitu pula seorang istri yang menjual ikan hasil tangkapan suaminya tidaklah disebut jibu-jibu.
Dalam masyarakat Tomia, jibu-jibu secara spesifik ditujukan pada orang-orang yang membeli ikan dari tangan pertama yaitu nelayan, dan menjualnya pada tangan distributor ke tiga atau langsung pada konsumen. Jadi, pemahaman sederhananya, jibu-jibu adalah para pebisnis ikan di tingkat bawah.
Baca juga: Cinta Lama Bersemi di Jembatan Teluk Kendari
Untuk lebih memahami tentang kehidupan seorang jibu-jibu, berikut saya memilahnya dalam tiga sub pokok.
1. Jibu-jibu sebagai Penopang Ekonomi Keluarga
Semakin kecil sebuah pulau maka semakin luas lautnya. Semakin luas lautnya, maka semakin dominan masyarakatnya menggantungkan hidup pada sektor kelautan. Begitupun dengan kondisi geografis Kepulauan Wakatobi. Yang sebagian besar terdiri dari perairan laut, yakni sekitar 95,71 %. Sedangkan luas daratannya hanya mencapai 4,29 %. Sehingga masyarakat banyak mencari hidup dari hasil-hasil laut, mulai dari petani agar-agar, petani teripang, nelayan, penambang pasir, penyelam ikan, petani garam, hingga jibu-jibu.
Dari sekian banyak pekerjaan tersebut di atas, jibu-jibulah yang paling dominan. Jumlah mereka cukup banyak terutama (didominasi oleh perempuan), mereka ada di setiap kampung, di jalanan, hadir di setiap sudut pasar, suaranya terdengar lantang di jalanan di kala pagi, siang, sore, hingga malam hari.
Mereka bekerja berburu dengan waktu dan melepas gengsi! Mereka harus cepat menjual ikannya sebelum membusuk! Itu motto utama yang dipegang oleh seorang jibu-jibu jika ingin sukses. Mereka bangun pagi-pagi sekali, bergerak menuju dermaga atau pantai tempat para pelingkar biasanya berlabuh. Berhadapan dengan pelingkar juga bukan perkara mudah.
Apalagi jika seorang jibu-jibu dilihatnya masih muda, kadang digombali juga. Dalam keadaan seperti ini, iman seorang perempuan jibu-jibu, yang juga berperan sebagai istri, dipertaruhkan antara kesetiaan pada suaminya dan pekerjaannya.
Dari tangan pelingkar yang baik hati mereka bisa mendapatkan ikan dengan harga yang cukup murah. Walau tanpa uang sekalipun, cukup dengan modal kepercayaan dari pelingkar mereka bisa mendapatkan ikan, menjualnya ke pasar atau keliling kampung, setelah itu barulah harga ikan dibayar ke pelingkar.
Jika musim angin, inilah masa yang tersulit bagi seorang jibu-jibu. Musim angin adalah saat-saat kencang ombak di laut sehingga pelingkar sulit mendapatkan ikan. Lalu harga ikan tiba-tiba melonjak naik di pasar. Saat-saat tersulit seperti ini pelingkar biasanya tak mau menjual ikan tangkapannya pada jibu-jibu. Mereka lebih memilih menjualnya langsung pada konsumen. Jibu-jibu pun tak mati akal. Mereka berusaha membujuk pelingkar langganannya agar bisa memberinya ikan walau cuma sedikit.
Ingat, jibu-jibu telah mengorbankan banyak waktu, dan uang transportasi untuk sampai ke dermaga, jadi mereka pantang pulang dengan tangan kosong. Namun, sekeras hati apapun mereka untuk mendapatkan ikan, kalau pelingkar tak mempunyai stok ikan yang cukup untuk para pelanggannya, apa mau dikata, jibu-jibu terpaksa pulang dengan kekecewaan.
Kekecewaan hari itu tak membuat mereka patah semangat. Besok subuh mereka dengan sabar menanti lagi di pantai dengan penuh harap. Meskipun mereka sadar bahwa angin masih kencang. Masih selalu ada keyakinan di hati kecil, bahwa mereka bisa mendapatkan ikan hari itu, walau dengan harga mahal setinggi langit. Jika kebetulan seorang saja yang mendapatkan ikan, maka mereka akan saling berbagi dengan kawan-kawan dekatnya sesama jibu-jibu.
Baca juga: Kopi Kahianga, Surga Wakatobi yang Kerap Luput Perhatian
Saat musim angin kencang, tentu ombak-ombak di laut cukup besar, menjaring ikan menjadi begitu sulit, sehingga para pelingkar sedikit saja yang melaut. Kalau sedikit saja pelingkar yang melaut, berarti sedikit pula ikan yang didapat. Karena sebab-sebab itu beberapa jibu-jibu memilih istirahat menjual. Namun, justru di musim kencang angin inilah, jibu-jibu yang masih bertahan menanti pelingkar di tepi pantai justru mendapatkan banyak untung sebab ikan yang tiba-tiba naik harga!
Di musim ikan melimpah, para jibu-jibu bisa mendapatkan seember ikan dengan harga Rp 30.000—Rp 50.000. Dari modal Rp 30.000 mereka bisa mendapatkan untung bersih Rp 100.000—Rp 150.000. Namun jika musim kencang angin, seember saja bisa dikenai harga Rp 100.000 s/d Rp 250.000 oleh pelingkar.
Di musim ikan melimpah juga, biasanya para pelingkar akan menjual ikan-ikan hasil tangkapannya pada kapal penampung dulu, barulah terakhir dijual kepada para jibu-jibu. Ikan-ikan hasil tangkapan pelingkar hanya ada dua macam saja, yaitu momar dan komu.
Di musim kencang angin, tentu hasil tangkapan sedikit sehingga tak cukup dioper pada kapal penampung. Saat itu pelingkar cuma punya dua pilihan; menjual sendiri ikannya pada konsumen, atau pada para jibu-jibu dengan harga tinggi.
Walaupun harga ikan mahal, keuntungan yang bisa didapat jibu-jibu biasanya lebih besar lagi. Sebab, mereka bisa bebas memasang harga yang tinggi, dan konsumen mau tak mau harus membeli, karena stok ikan terbatas, dan tidak semua jibu-jibu mendapatkan ikan di saat-saat seperti itu. Sehingga keuntungan bersih yang mereka dapatkan kadang bisa mencapai Rp 300.000.
Jika penghasilan rata-rata seorang jibu-jibu saja dalam sehari sebesar Rp 100.000, maka dalam sebulan ia bisa mendapatkan Rp 3.000.000. Sebuah harga yang cukup untuk membayar kelelahannya setelah seharian bekerja, dan mencukupi kebutuhan keluarga kecilnya.
Lalu, apa sesungguhnya kendala terberat dari pekerjaan ini?
“Kalau musim hujan datang bertepatan dengan musim ikan, oh Tuhan, rasanya kami tidak akan pernah beristirahat seharian. Kalau musim hujan, ikan-ikan kami diselamatkan dengan diasapi pakai kayu, tempurung, sabut kelapa, pelepah daun kelapa atau apa saja yang penting bisa dipakai untuk mengasapi ikan, namun bahan-bahan itu sulit ditemukan!”, keluh seorang wanita jibu-jibu paruh baya.
"Ikan-ikan komu, momar yang telah diasapi juga harus dijemur di bawah sinar matahari agar lebih awet lama. Ikan asap yang sudah keras karena terjemur matahari juga lebih banyak peminatnya. Tapi kalau musim hujan, kami mau menjemurnya dimana coba? Pilihannya kami hanya bisa mengangin-anginkannya di dalam nyiru agar tidak berjamur," sambungnya.
Baca juga: Sepenggal Kisah Benteng Tua Takimpo di Buton
Sebenarnya ada alternatif kedua selain diasapi, yaitu ikan-ikan itu dibuat pindang. Mengerjakannyapun sederhana. Ikan diberi garam, daun sereh, asam jawa , dan sedikit air, lalu dididihkan di atas tungku atau ompor. Namun, peminat ikan pindang tidak banyak, berbeda dengan ikan asap, walau yang sudah keras sekalipun biasanya selalu laku di pasar.
Jadi, di saat ikan melimpah dan tidak banyak yang laku, lalu harus segera dibawa pulang ke rumah, untuk diasapi atau dipindang, untuk dijual kembali pada sore dan malam hari adalah sebuah resiko yang harus diambil seorang jibu-jibu, sebelum ikannya membusuk, dan tentu saja sebelum kerugian yang ia dapatkan!
Sebagai istri yang memiliki suami dengan mata pencaharian yang tidak menetap di kampung, berpenghasilan di bawah standar kebutuhan rumah tangga, maka jibu-jibu adalah pekerjaan yang lumayan untuk bertahan hidup. Begitupun bagi mereka yang memiliki suami-suami pelayar dan perantau, maka jibu-jibu adalah pilihan yang cukup menguntungkan.
“Dulu saya pernah berjualan kue keliling kampung, tapi hasilnya tidak seberapa. Sudah terlalu banyak orang yang berjualan kue. Saya coba juga bercocok tanam, juga sama saja. Lalu ada kawan yang mengajak jualan ikan. Awalnya susah, mendengar cibiran orang terasa menyakitkan, apalagi bagi seorang saya yang sudah ditinggal suami. Tapi lama-lama saya menjadi terbiasa, dan cukup untuk menghidupi dan menyekolahkan anak-anak saya”. Demikianlah penuturan seorang ibu rumah tangga kepada saya via telepon.
2. Jibu-jibu sebagai Seorang Ibu
Ibu, di samping perannya sebagai pelindung bagi anak-anaknya, juga adalah istri bagi suaminya. Seorang ibu yang memilih total mendedikasikan hidup sepenuhnya sebagai ibu rumah tangga, yang dua puluh empat jam berada di rumah untuk melayani kebutuhan keluarga kecilnya, tentu saja sebuah tugas yang cukup berat.
Apalagi jika anak-anaknya masih dalam usia rawan (0-5 tahun). Dalam usia dini seperti ini, ibu benar-benar fokus menjaga si anak, sebab si anak belum mampu menjaga dirinya sendiri. Seorang ibu harus menyediakan banyak waktu bersama anaknya, memastikan gizinya terpenuhi, memberi tempat tidur yang hangat, melindunginya dari bahaya-bahaya luar yang mengancam fisik si anak.
Belum pula ia harus sigap melayani kebutuhan suami, memastikan makanan selalu ada di atas meja, pakaian dan rumah yang bersih, mendidik anak-anaknya, dan mungkin yang terakhir itulah yang tersulit dilakukan oleh seorang ibu.
Jika seorang ibu yang bukan pekerja, di dalam rumah saja sudah begitu kerepotan mengurus rumah dan keluarga kecilnya, lalu bagaimana dengan seorang ibu pekerja di luar rumah? Apalagi ia seorang jibu-jibu?
Kita ambil contoh sederhana. Seorang ibu usia empat puluhan dari sebuah kampung pesisir, sebut saja ibu itu bernama Wa Ce, harus membantu suami menafkahi tiga orang anaknya: satu orang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi, dan dua orang di sekolah menengah pertama.
Suaminya hanya pelayar di negeri orang dengan penghasilan yang tak menentu. Sebab penghasilan sang suami tak mencukupi biaya pendidikan anak-anak yang kian hari kian melangit, terpaksalah Wa Ce meninggalkan bertani (dimana pekerjaan ini sudah turun-temurun dilakoni oleh keluarganya) dan memilih jibu-jibu, pekerjaan baru yang lebih pelik dan beresiko, namun cepat mendatangkan rupiah.
Contoh lain, seorang ibu muda, berstatus janda, sebut saja namanya Wa De, usia sekitar 27 tahun, memiliki seorang anak perempuan usia 7 tahun dan seorang anak laki-laki usia 5 tahun, memilih menjadi jibu-jibu dan meninggalkan pekerjaan lamanya sebagai penjual kue.
Ia pikir tak ada yang bisa menafkahi kedua anaknya kalau hanya berharap pada hasil jualan kue yang tak seberapa. Ia menitipkan anaknya pada tetangga dekatnya ketika ia harus pergi bekerja. Tetangganya sangat memakluminya. Sebab dia adalah seorang janda. Anak-anaknya juga pada akhirnya menjadi lebih mandiri karena telah terbiasa ditinggalkan oleh ibunya.
Seorang lagi, sebut saja bernama Wa Be, terpaksa mengambil jalan hidup sebagai jibu-jibu karena suaminya yang sakit keras bertahun-tahun, dan tak bisa lagi bekerja seperti biasa.
Wa Be, Wa Ce maupun Wa De adalah ibu-ibu tangguh, yang secara sadar mengambil jalan sebagai jibu-jibu karena desakkan ekonomi.
Lantas, bagaimana ibu-ibu ini mengolah rumah tangganya di antara pekerjaan menjual ikan yang harus berburu dengan waktu? Sanggupkah mereka? Mari kita melihat bagaimana Bu Wa Ce, menaklukan pekerjaannya!
Pantai Bontu-Bontu adalah pantai yang sering digunakan para pelingkar untuk berlabuh, selain Dermaga Usuku. Karena jarak Pantai Bontu-Bontu begitu jauh dari rumahnya, jaraknya sekitar delapan kilometer, maka ia harus bangun lebih cepat, menyiapkan sarapan pagi dan makanan siang sekaligus untuk dua orang anaknya yang berusia belasan.
Pada pukul empat subuh, ia bersama ibu-ibu lain berdiri di tepi jalan raya, menunggu mobil angkutan yang akan membawa mereka ke pantai tadi. Jikalau mobil yang ditunggu tak kunjung datang, mereka akan berjalan kaki subuh itu juga, ke pusat kecamatan dengan jarak tempuh sekitar tiga kilometer, menuju rumah si sopir. Dari sana, dengan mobil mereka akan dibawa ke pantai dan menunggu sampai pagi menjelang, sampai kapal-kapal pelingkar bermunculan dari arah timur Selat Kasilapa.
Baca juga: Kearifan Lokal: Matinya Tumbu Gulupu
Jika sedang bernasib baik, mereka, termasuk ibu Wa Ce akan mendapatkan banyak ikan dengan harga yang murah dari pelanggan tetapnya. Tapi jika nasib baik tak berpihak, kadang tak ada sedikitpun ikan yang didapat untuk dijual (biasanya hal ini terjadi pada musim angin).
Jika ikan telah didapat, ia akan menjualnya berkeliling kampung, mulai dari Bontu-Bontu, melewati tiga kampung hingga sampai ke Usuku, pusat kecamatan dengan berjalan kaki. Atau ada juga yang langsung menjualnya ke Usuku, karena di sana jumlah konsumen jauh lebih banyak ketimbang dari kampung-kampung lain.
Kawan-kawannya sesama jibu-jibu ada juga yang berjualan menggunakan sepeda motor, dan tentu jauh lebih ringan, dibandingkan dirinya yang harus menjunjung ikannya sambil berjalan kaki sambil menjunjung ember ikan.
Wa Ce, yang ingin sekali hadir di rumah kala anak-anaknya membutuhkan, melepas anak-anaknya pergi sekolah di pagi hari dan menyambut mereka saat pulang sekolah, dengan perut keroncongan dan wajah kelelahan di siang hari tak tercapai.
Di saat-saat di mana ia dibutuhkan kala pagi dan siang hari, ia sedang berjuang di luar, berteriak-teriak di sepanjang jalan sambil menjunjung ikan di atas kepalanya yang dilapisi kongko.
Ia berjalan kaki, memasuki setiap gang-gang sempit, maupun jalan-jalan besar beraspal dan berdebu, di antara sengatan sinar mentari, berteriak dari rumah ke rumah langganannya, agar suaranya didengar pelanggan dan calon pembeli baru, agar ikannya bisa laris secepatnya dan bisa pulang ke rumah sebelum sore, sebelum ikan yang dijualnya membusuk.
Jikalau ikan mentah laris terjual semuanya, ia pulang dengan wajah penuh kemenangan. Membayangkan ia bisa mengirimkan uang semester untuk anaknya bulan depan yang bersekolah di kota. Atau membeli sepatu baru dan buku untuk anaknya di sekolah menengah. Atau... ia bisa membayangkan pulang istirahat dengan tenang.
Tapi, bagaimana jika ikannya tak habis terjual semuanya? Terhadap ikan mentah dan sudah hampir membusuk, apa yang harus dilakukannya? Maka ia harus pulang ke rumah sesegera mungkin, lalu menggarami ikan-ikan itu, menjemur dan mengasapinya.
Ikan asap alias ikan asar pun harganya sama dengan yang dijual mentah. Jadi, kelelahan menggarami, menjemur dan mengasapi tak meningkatkan nilai jual ikan sama sekali. Hal itu sungguh melelahkan, namun masih jauh lebih baik, daripada ikan-ikannya dibiarkan membusuk dan dibuang.
Di sore hari ia sudah bisa menjual ikan asarnya keliling kampung. Jika ikannya tidak terjual habis, ia bisa membawanya ke pasar malam. Barulah di malam hari ia bisa beristirahat dengan tenang, dan memulihkan kembali tenaga, agar besok subuh ia bisa lebih cepat bangun pagi.
Baca juga: Jurnalisme Sastrawi: Prasangka Media terhadap Etnik Tionghoa
3. Jibu-jibu dalam Pandangan Masyarakat
Jibu-jibu di Kepulauan Wakatobi umumnya, dan di Tomia khususnya, lebih banyak dilakoni oleh perempuan-perempuan usia 20 tahun ke atas. Dan entah mengapa, dari sekian banyak perempuan yang menghuni pulau ini, hanya perempuan-perempuan yang sudah berkeluargalah yang melakukan pekerjaan ini. Bahkan sebagian kecil nenek-nenek bisa kita jumpai di sudut pasar menjual ikan asap.
Mengapa perempuan yang dominan melakoninya? Ada apa dengan lelaki? Dan mengapa hanya mereka yang sudah berkeluarga? Dari hasil pengamatan dan wawancara dengan beberapa orang jibu-jibu dan warga saya bisa menganalisanya sebagai berikut:
Di Pulau Tomia dan daratan Wakatobi umumnya berbatu-batu cadas, tak ada kesuburan. Sehingga lelaki banyak mencari hidup di perantauan, baik sebagai pelayar, pekerja serabutan, atau apa saja agar bisa mendapatkan uang untuk menghidupi keluarganya di kampung halaman.
Karena kondisi seperti inilah, maka jumlah laki-laki yang bekerja dan menetap di kampung menjadi berkurang. Para istri ditinggalkan dan tidak dibawa serta ke tanah rantau bersama suaminya. Istri-istri yang ditinggalkan sementara oleh suami mereka inilah...kemudian mencari penghidupan sebagai jibu-jibu untuk membantu sang suami.
Mengapa bukan pemuda pemudi yang belum berkeluarga? Ya, karena tingkat gengsi mereka lebih besar. Mengapa harus ibu-ibu dan bapak-bapak yang sudah berkeluarga? Ya, karena mereka punya tanggung jawab yang lebih besar.
Di Tomia, perempuan-perempuan yang bekerja di luar rumah adalah hal yang biasa. Perempuan dan laki-laki punya derajat yang sama dalam dunia kerja.
“Bukan saja di sini, perempuan-perempuan manapun di dunia ini bahkan bisa melakukan pekerjaan apapun tanpa laki-laki, terkecuali membuat anak itu harus dikerjakan bersama-sama”, kelakar seorang ibu.
Perempuan-perempuan Tomia telah terbiasa hidup di daratan berbatu-batu cadas yang keras, yang membuat mereka tangguh untuk menghadapi kerasnya kehidupan seperti yang dilakukan oleh jibu-jibu.
Di Tomia, perempuan yang memancing di laut itu hal yang biasa seperti yang dilakukan oleh perempuan-perempuan Suku Bajo, dan apalagi mereka yang hanya bekerja sebagai jibu-jibu. Walau kadang mereka melakukannya karena keterpaksaan atau hanya untuk mencari tambahan sampingan.
Dari semua penjelasan di atas, penulis menarik sebuah kesimpulan sederhana bahwa...perempuan-perempuan ini memilih bekerja sebagai jibu-jibu, karena untuk mencari penghasilan tambahan, keterpaksaan, dan secara sadar memilih jibu-jibu sebagai sebuah pekerjaan yang menjanjikan!
Ket. Kongko= alas kepala yang biasanya diambil dari baju, kain dan semacamnya. Dengan tujuan melindungi kepala dari tekanan barang berat saat dijunjung. (*)
#Ditulis di Morotai