21,4 Persen Tanah di Sultra Belum Bersertifikat, Menteri ATR Sebut Ratusan Hektare Harus Divalidasi Ulang

Erni Yanti, telisik indonesia
Kamis, 29 Mei 2025
0 dilihat
21,4 Persen Tanah di Sultra Belum Bersertifikat, Menteri ATR Sebut Ratusan Hektare Harus Divalidasi Ulang
Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid membeberkan data tanah di Sultra yang sudah tersertifikat dan yang belum memiliki kepastian hukum. Foto: Erni Yanti/Telisik/Ist.

" Dari seluruh bidang tanah yang terdaftar di Sultra, baru 78,5 persen yang telah bersertifikat dan 21,4 persen tanah belum memiliki kepastian hukum yang sah "

KENDARI, TELISIK.ID - Sebanyak 21,4 persen tanah di Sulawesi Tenggara (Sultra) belum tersertifikat hingga ratusan hektare yang sudah tersertifikat agar diupdate ulang.

Hal ini disampaikan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid berkunjung di Sultra. Dari seluruh bidang tanah yang terdaftar di Sultra, baru 78,5 persen yang telah bersertifikat dan 21,4 persen tanah belum memiliki kepastian hukum yang sah.

Hal ini menunjukan lemahnya kepastian hak atas tanah di daerah yang kerap menjadi sasaran investasi, terutama di sektor tambang dan perkebunan.

Ketidakpastian ini berpotensi menjadi akar konflik berkepanjangan, terutama di wilayah-wilayah yang telah lama digarap masyarakat.

Dalam sambutannya, Gubernur Sultra, Andi Sumangerukka menyampaikan, pemerintah daerah tengah merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagai pijakan dalam pembangunan wilayah.

Revisi RTRW ini diharapkan menjadi acuan penyusunan RTRW di tingkat kabupaten/kota, sekaligus mendukung kebijakan nasional dan pelestarian lingkungan.

"RTRW Provinsi Sulawesi Tenggara akan menjadi instrumen utama dalam membangun penataan ruang yang mendukung kebijakan nasional dan menjaga kelestarian lingkungan. Kami berharap dukungan dari Kementerian ATR/BPN agar RTRW ini segera ditetapkan," ujar Gubernur.

Baca Juga: Kepala BPN Kendari Dua Kali Mangkir RDP DPRD Sengketa Tanah

Namun, persoalan yang dihadapi tak hanya bersifat teknis administratif. Andi Sumangerukka juga menyoroti konflik agraria yang melibatkan koperasi dan masyarakat, terutama di wilayah Kabupaten Kolaka dan Bombana.

Di daerah ini, banyak kasus di mana klaim masyarakat terhadap lahan bertabrakan langsung dengan konsesi tambang yang telah diberikan kepada perusahaan.

"Kondisi tambang yang telah diberikan kepada perusahaan, namun telah lebih dahulu digarap oleh masyarakat, memicu ketegangan dan konflik terbuka," kata ASR.

Lebih lanjut, ia menyinggung praktik mafia tanah dan lemahnya pengawasan terhadap batas-batas lahan. Banyak klaim kepemilikan yang tidak didukung dokumen sah, sementara peta lahan pun tidak akurat. Ini menyebabkan tumpang tindih kepemilikan yang menyulitkan penyelesaian.

"Oleh karena itu, penting untuk mengintegrasikan wilayah pertambangan dengan keberlanjutan lingkungan. Zonasi wilayah harus diperhatikan secara menyeluruh agar tidak tumpang tindih dan menimbulkan konflik," tambahnya.

Nusron Wahid, menyampaikan bahwa kolaborasi lintas sektor sangat diperlukan dalam penyelesaian konflik agraria. Pemerintah daerah, khususnya kepala daerah selaku Ketua Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), dinilai memiliki peran penting dalam menetapkan subjek dan objek reforma agraria, sementara BPN bertugas melaksanakan sertifikasi tanah.

Masalah lainnya yang mencuat adalah dokumen tanah yang tidak dilengkapi peta dan rawan sengketa. Di Sulawesi Tenggara, terdapat 367.196 bidang tanah dengan kategori ini, mencakup 262.605 hektare yang perlu segera diperbarui dan divalidasi ulang.

Tak hanya itu, dari total 5.748 tempat ibadah di Sulawesi Tenggara, baru 24,95 persen yang telah memiliki sertifikat. Pemerintah menilai percepatan sertifikasi tanah wakaf penting dilakukan untuk melindungi aset keagamaan dari potensi penyalahgunaan atau sengketa di kemudian hari.

"Kita harus menjaga rumah ibadah seperti menjaga rumah sendiri. Jangan sampai anak cucu kita nanti tidak tahu bahwa tanah itu wakaf," tegas pejabat ATR/BPN.

Baca Juga: Penghuni Perumahan Bumi Arum Kendari Mogok Bayar Cicilan, Tuntut Penyelesaian Sengketa Tanah

Pemerintah Pusat juga mendorong integrasi data pertanahan (NIP) dengan data perpajakan (NOP) sebagai upaya meningkatkan pendapatan daerah dari sektor Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Program ini dinilai berhasil di beberapa daerah, bahkan mampu meningkatkan pendapatan hingga tiga kali lipat.

Kementerian ATR/BPN menargetkan seluruh bidang tanah, termasuk tanah wakaf, dapat tersertifikasi dalam tiga tahun ke depan.

Selain itu, penuntasan RTRW dan penyelesaian konflik agraria akan menjadi dua fondasi penting dalam memastikan keadilan agraria, keberlanjutan lingkungan, serta arah pembangunan yang terintegrasi.

"Masa jabatan ini adalah waktu untuk menyelesaikan, bukan mewariskan masalah. Mari jadikan Sulawesi Tenggara sebagai provinsi percontohan dalam reforma agraria, tata ruang, dan penyelesaian konflik pertanahan," pungkasnya. (B)

Penulis: Erni Yanti

Editor: Kardin

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Baca Juga