22 Juta Pekerjaan di Negara Kaya Hilang, Pengangguran Melonjak Gila Akibat COVID-19

Ibnu Sina Ali Hakim, telisik indonesia
Jumat, 09 Juli 2021
0 dilihat
22 Juta Pekerjaan di Negara Kaya Hilang, Pengangguran Melonjak Gila Akibat COVID-19
Ilustrasi PHK akibat COVID-19. Foto: Repro Kompas.com

" Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyatakan 22 juta pekerjaan di negara-negara kaya di dunia hilang akibat pandemi COVID-19 yang melanda dunia sejak 2020 lalu. "

CALIFORNIA, TELISIK.ID - Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyatakan 22 juta pekerjaan di negara-negara kaya di dunia hilang akibat pandemi COVID-19 yang melanda dunia sejak 2020 lalu.

Akibatnya, dalam waktu enam bulan belakangan, jumlah pengangguran meningkat gila-gilaan hingga 60 persen. Jumlah ini terus meningkat hingga kuartal I 2021. Bahkan proyeksi lembaga tersebut, tingkat pengangguran akan berkembang pesat dalam jangka panjang.

Menurut OECD, pemulihan ekonomi yang terjadi di berbagai negara pada saat ini belum bisa memulihkan pasar kerja. Pasar kerja kemungkinan baru pulih seperti masa sebelum pandemi pada 2023.

"Pemulihan ekonomi yang kuat sedang berlangsung di negara-negara OECD. Namun, itu belum sepenuhnya diterjemahkan ke dalam pekerjaan baru yang cukup untuk mengembalikan tingkat pekerjaan ke tingkat pra-pandemi di sebagian besar ekonomi anggota," ungkap OECD dalam laporannya, seperti dikutip dari Cnnindonesia.com, Jumat (9/7/2021).

Lebih lanjut, OECD juga mencatat pandemi juga telah membuat 3 juta orang yang baru lulus gagal mendapat pekerjaan. Ini jumlah yang besar dan membalikkan tren dalam satu dekade terakhir.

Tak hanya penurunan lapangan kerja, OECD juga menyebut pandemi juga menurunkan penghasilan pekerja. Penurunan paling terasa terjadi pada pekerja yang berpenghasilan rendah ketimbang yang tinggi.

Tercatat, gaji mereka turun lebih dari 28 persen di seluruh negara maju. Kendati begitu, OECD menangkap fakta lain.

Di beberapa negara ekonomi utama, sejumlah rekrutmen tenaga kerja mulai terjadi. Itu salah satunya terjadi di Inggris.

Baca juga: Di Tengah Perhelatan Piala EURO, Kasus COVID-19 di Inggris Dilaporkan Naik Empat Kali Lipat

Baca juga: 30 ABG Ribut di Pesawat Gegara Tolak Pakai Masker, Penerbangan Tertunda

Namun para perekrut mau tidak mau harus meningkatkan gaji pekerja dengan kenaikan yang cukup tinggi dalam tujuh tahun terakhir.

Mereka juga mencatat Amerika Serikat menjadi negara dengan pemulihan pasar kerja paling tinggi. Tingkat pengangguran di Negeri Paman Sam yang saat puncak pandemi melonjak ke kisaran 15 persen, Juni 2021 kemarin sudah berhasil ditekan lagi jadi 5,9 persen.

OECD juga menemukan tingkat pengangguran dunia juga mulai turun dari 8,8 persen pada April 2020 menjadi 6,6 persen pada Mei 2021. Namun, tingkatnya belum pulih seperti masa sebelum pandemi.

Atas temuan ini, OECD memberi masukan kepada seluruh pemerintah untuk terus meningkatkan kualitas pekerja melalui berbagai pelatihan. Khususnya di sektor industri hijau dan digital serta sektor yang masih cukup efektif dijalankan meski ada pembatasan.

Tak ketinggalan, OECD juga meminta pemerintah setiap negara untuk tetap memberikan dukungan bantuan kepada pekerja, meski hal ini tak bisa diberikan terlalu lama karena akan menumpuk beban fiskal pemerintah.

"Penarikan dukungan fiskal terlalu cepat akan berisiko membahayakan pemulihan. Tapi di sisi lain, mempertahankan dukungan terlalu lama juga akan berisiko membahayakan kekuatan dan kualitas pemulihan jangka panjang dengan memperlambat realokasi modal dan tenaga kerja yang diperlukan di seluruh perekonomian," tutup Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann.

Sebelumnya juga dilansir CNBC, Presiden Bank Dunia (World Bank) David Malpass menyebut bahwa pandemi COVID-19 mungkin telah mendorong sebanyak 100 juta orang masuk ke dalam jurang kemiskinan yang ekstrim.

Angka itu jauh lebih tinggi dari sekitar 60 juta orang yang sebelumnya diprediksi oleh lembaga keuangan yang berbasis di Washington, AS, itu. Bahkan, Malpass menyebut bahwa angka itu bisa lebih tinggi jika pandemi memburuk atau berlarut-larut.

Situasi ini mengharuskan kreditor mengurangi jumlah hutang yang dimiliki oleh negara-negara miskin yang berisiko, lebih dari komitmen untuk menangguhkan pembayaran hutang. (C)

Reporter: Ibnu Sina Ali Hakim

Editor: Haerani Hambali

Artikel Terkait
Baca Juga