Harga Gabah dan Beras Melonjak Tajam, Petani Dianggap Belum Sejahtera

Ayu Safitri, telisik indonesia
Kamis, 22 Februari 2024
0 dilihat
Harga Gabah dan Beras Melonjak Tajam, Petani Dianggap Belum Sejahtera
Distanak sebut lonjakan harga beras tak menjamin kesejahteraan petani ikut meningkat. Foto: Ist.

" Harga pangan khususnya beras saat ini sedang mengalami kenaikan. Namun hal tersebut ternyata belum berimbas pada meningkatnya kesejahteraan petani "

KENDARI, TELISIK.ID - Harga pangan khususnya beras saat ini sedang mengalami kenaikan. Namun hal tersebut ternyata belum berimbas pada meningkatnya kesejahteraan petani.

Diketahui, lonjakan harga beras di pasaran mulai dirasakan oleh pedagang jelang Pemilu 14 Februari 2024 lalu.

Anton, salah satu distributor beras di Mandonga, Kota Kendari, mengatakan saat ini ia menjual beras dari Konawe, namun jika harganya terus naik, maka ia akan mengimpor beras dari Sulawesi Selatan dengan harga yang relatif lebih murah.

Lonjakan harga tersebut, ternyata belum memberikan hasil timbal balik kepada para petani khususnya di Sulawesi Tenggara. Hal ini disebabkan karena mata rantai perdagangan beras yang begitu panjang, sehingga mengakibatkan petani tidak menikmati hasil produksi beras yang dijual dengan harga tinggi.

Baca Juga: Kanwil Kemenkumham Sulawesi Tenggara Diganjar Penghargaan, Kategori Pelaksanaan SPAK dan SPKP Terbaik 2023

Kesejahteran petani bergantung dari berapa hasil bersih yang diterima petani jika dibandingkan dengan harga produksinya.

Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Provinsi Sulawesi Tenggara, La Ode Muh Rusdin Jaya, mengungkapkan bahwa kenaikan harga gabah kering dan beras saat ini jika tidak mampu memenuhi biaya produksi yang dikeluarkan, maka tidak akan mampu meningkatkan kesejahteraan petani saat ini.

“Tingginya harga beras belum mampu mengangkat kesejahteraan petani secara signifikan, karena faktor produktivitas dan perdagangan petani yang masih rendah," ujarnya.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan, jika produktivitas rata-rata petani 4-5 ton atau masih ada yang 3 ton, kemudian bisa didorong naik jadi 10 ton per hektare, baru dikatakan berpengaruh.

"Bila luas lahan persawahan yang dimiliki petani hanya 1-3 hektar, tentu hasilnya hanya bisa menutupi biaya produksi dan pengolahan saja. Selebihnya beras yang dihasilkan hanya untuk dikonsumsi oleh keluarga petani itu sendiri,” tandas alumni doktoral Universitas Haluoleo (UHO) itu.

Produktivitas yang tinggi dapat didukung dari kualitas benih yang bagus dan edukasi, serta pendampingan terhadap petani untuk mengelolaan sawah yang tepat. Misalnya, hal teknis dari pertanian dalam mengantisipasi hama atau mempertahankan kesuburan.

Selain itu, polemik disparitas harga petani dengan konsumen juga sangat tinggi. Hal tersebut tidak menguntungkan kedua belah pihak, baik produsen maupun konsumen.

Baca Juga: Hampir Setahun Terbengkalai, Gedung SD Terbakar di Kendari Kini Ditumbuhi Rerumputan

Artinya, petani tidak menikmati keuntungan dari kenaikan harga beras yang diterima hanya seolah-olah ada kenaikan, padahal tidak dinikmati apalagi di level konsumen.

“Parahnya lagi di level produsen atau petani itu sekaligus net konsumen ketika masa panen. Betapa berat beban petani kita. Sebagai produsen dia tidak untung, lalu harus membeli beras yang jauh lebih mahal lagi,” kata dia.

Upaya pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara untuk mengatasi problematika harga beras tersebut melalui Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan adalah memaksimalkan dan meningkatkan pemberian benih padi berkualitas, pemberian pupuk, pemberian pencegahan hama, pemberian bantuan alsin, peningkatan sarana dan prasarana serta infrastruktur pertanian.

Semua hal itu dilakukan dalam upaya meningkatkan produksi dan produktif di tingkat petani, sehingga pada akhirnya kesejahteraan petani di Sulawesi Tenggara bisa dinikmati dari tahun ke tahun. (B)

Penulis: Ayu Safitri

Editor: Fitrah Nugraha

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baca Juga