Lestarikan Budaya Buton Lewat Pergelaran Koja-Koja Poadati
Deni Djohan, telisik indonesia
Sabtu, 16 Januari 2021
0 dilihat
Suasana pertemuan di aula Metro intertement Baubau. Foto: Deni Djohan/Telisik
" Ini juga merupakan keinginan dari generasi muda agar bagaimana tokoh adat ini bisa menjadi panutan masyarakat. "
BAUBAU, TELISIK.ID - Guna mengembalikan keaslian nilai budaya dan adat istiadat Buton, sejumlah pemerhati budaya yang tergabung dalam forum pemerhati budaya Buton (FPBB) menggelar pertemuan di Aula Metro, Sabtu (16/01/2020).
Pertemuan dengan tema "Koja-koja Poadati" ini mengangkat judul, pelembagaan adat dan tradisi Buton kini dan masa yang akan datang.
Koordinator forum pemerhati budaya Buton, La Ode Azlan Aziz mengatakan, kegiatan ini bertujuan untuk menyempurnakan kembali budaya Buton pada tatanan original atau keasliannya.
Caranya, kata dia, dimulai dengan mengumpulkan masyarakat adat dari kelompok bangsawan Walaka maupun Kaomu atau biasa disebut kadie to nunca (dalam). Sehingga lembaga adat yang ada saat ini dapat terlegitimasi oleh masyarakat dan pemerintah baik daerah maupun provinsi.
"Ini juga merupakan keinginan dari generasi muda agar bagaimana tokoh adat ini bisa menjadi panutan masyarakat," ungkap Aba sapaan akrab La Ode Azlan Aziz.
Pasalnya, lanjut dia, telah banyak contoh yang terjadi hari ini bahwa nilai budaya sudah bias dari originalnya. Bahkan hal itu sudah terimplementasi pada kehidupan masyarakat Buton.
"Usai kegiatan ini masih ada pertemuan berikutnya untuk menindaklanjuti pertemuan ini," pungkasnya.
Baca juga: Pemkab Konawe Peduli Kesehatan dengan Tanggap Tangani Pasien COVID-19 di Tengah Pandemi
Salah satu tokoh masyarakat Kepton yang juga pemerhati budaya Buton, Samsu Umar Abdul Samiun mengungkapkan, menanggapi positif pertemuan tersebut. Pasalnya, fenomena kelembagaan adat yang ada saat ini sudah tidak sesuai dengan nilai sesungguhnya.
"Saya pikir ini pemikiran-pemikiran yang sangat bagus sekali karena coba dicari satu rumusan yang tepat sehingga nanti kelembagaan adat Buton dilahirkan itu benar-benar lahir dalam keadaan normal supaya kelembagaan adat yang dilahirkan itu benar-benar mendapat legitimasi dari masyarakat," paparnya.
Dalam pertemuan tersebut, lanjut dia, masih ada beberapa peserta yang tidak paham akan sejarah sehingga dengan mudah dirusak oleh pihak tertentu. Sehingga nilai originalnya hilang.
"Misalnya, polemik PO5. Gaungan PO5 ini sudah masif dilakukan. Padahal itu menghilangkan nilai originalnya. Seperti saya katakan tadi ada dua faktor yang menghilangkan nilai itu. Pertama bisa saja ditinggalkan oleh generasi. Kedua ada orang yang sengaja mengaburkan nilai itu lalu nilai originalnya tidak dibicarakan. Dan ini berbahaya jika dimiliki oleh orang yang memiliki status sosial," nilai mantan bupati Buton itu.
Menurutnya, di masa Walikota Amirul Tamim yang menjadikan Kota Baubau sebagai kota Semerbak tak jadi masalah. Pasalnya, hal itu tidak mengubah tatanan dan nilai budaya Buton. Berbeda dengan PO5 yang mengadopsi falsafah pemerintahan Buton kemudian dijadikan sebagai karya ilmiah.
"Menurut saya ini ilmu cocok logi. Bahkan bisa dikatakan sebagai plagiat. Sebab PO5 dengan sara patanguna itu sama, tak berbeda. Diktum yang ada dalam po5 itu sama dengan sara patanguna. Hanya saja sara patanguna itu 4 sedang Po5 itu diktumnya lima yang menambahkan satu pasal, pobinci-bincuki kuli. Padahal binci-binciki kuli ini sama juga, sudah ada sejak dulu. Ini kan ciplakan semua," nilainya.
Mantan ketua DPW PAN Sultra ini sependapat bila karya ilmiah po5 itu dibuat seperti penelitian soal Pancasila. Dalam temuan penelitian tersebut, Pancasila bukan hanya sebagai ideologi negara melainkan juga sebagai alat pemersatu bangsa.
Baca juga: OJK Investigasi Aduan Pemkab Muna Terkait Oknum Komisaris Bank Sultra
"Saya ingatkan, setiap mencetuskan rumusan, tidak boleh didepannya itu kata benda. Dia harus kata kerja. Saya contohkan tadi, Sara Patanguna. Sara ini lembaga pemerintahan atau kata kerja. Sekarang coba artikan saya makna PO5 itu. PO itu apa 5 itu apa. PO itu mangga, sedang lima itu jumlah. Sedang lima ini diambil dari sara patanguna ditambah dengan po binci-binciki kuli. Kalau dia bilang jangan samakan dengan itu, bagaimana caranya tidak bisa disamakan karena semua nya itu diambil dari yang sudah ada," jelasnya.
Ia mengaku, andai saat ujian desertasi tersebut dirinya terlibat sebagai penguji, dapat dipastikan karya ilmiah tersebut tak bakalan diterima.
"Saya juga berharap dengan pertemuan ini bisa membentuk kelembagaan adat seperti saat membentuk panitia proklamasi kemerdekaan," pungkasnya.
Senada dengan itu, mantan ketua DPRD Kota Baubau, Hasidin Sadif yang menerima positif kegiatan itu. Apalagi kegiatan tersebut bertujuan untuk mengangkat nilai-nilai budaya di masyarakat. Pasalnya, generasi saat ini sudah tak paham lagi akan nilai-nilai tersebut.
"Utamanya dalam pergaulan sesama. Interaksi dalam bergaul dan bercakap sudah tidak sesuai lagi dengan nilai yang ada. Baik itu yang lebih tua, adik-adik maupun yang saat ini," bebernya.
Ia berharap, pertemuan tersebut bisa mendapat titik terang hingga dapat terimplementasi ke masyarakat. (A)
Reporter: Deni Djohan
Editor: Fitrah Nugraha