Zakat memiliki lima nilai yang sangat dahsyat. Foto: Rep zakat or.id
" Gerakan filantropi (kedermawanan) dalam pandangan orang beragama manapun, juga orang yang tidak beragama adalah kebaikan. Olehnya yang tidak melakukan gerakan filantropi (zakat, infak, sedekah, dan lainnya) adalah orang yang anti kemanusiaan. "
KENDARI, TELISIK.ID - Zakat adalah kewajiban bagi umat muslim sebagaimana telah disyariatkan oleh Allah SWT. Selain sebagai amanat religi, Majdah Amir mengungkapkan bahwa zakat juga memiliki nilai ekonomis, sosial, politis, dan etis.
Secara etimologi (bahasa) kata “zakat” diambil dari kata (az-zakah), sedang lafal (az-zakah) berarti tumbuh, baik, suci dan berkah. Syariat zakat dapat kita ditemui di banyak ayat Al-Quran. Dalam Quran surat at-Taubah (9): 103, Allah SWT memulai firmannya tentang zakat dengan 'khudz' yang merupakan fi'il amr, seruan, atau perintah.
"Ambilah zakat dari harta mereka guna membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui".
Dalam tafsir Nurul Quran dinyatakan bahwa perintah Tuhan ini (khudz) merupakan suatu dalil nan jelas yang dengan itu pemimpin pemerintah Islam berkewajiban mengambil zakat dari masyarakat. Ini dilakukan bukan dengan cara harus menunggu sampai orang-orang tersebut berkeinginan untuk membayarkan zakat setelah timbul kemauan mereka sendiri, dan jika tidak, mereka tidak membayarkannya. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa perintah tersebut bersifat umum tidak hanya kepada orang-orang yang mengakui dosa-dosa mereka dan mencampuradukkan antara amal kebaikan dengan perbuatan buruk.
Zakat bernilai religius karena merupakan salah satu rukun Islam. Melaksanakannya menjadi salah satu asas keimanan. Zakat adalah implementasi nilai ketakwaan seseorang.
Ust. Laode Baa S.Pd MA, pengasuh pondok pesantren Muhammadiyah Kendari menuturkan bahwa zakat memiliki nilai takwa, karena menunaikan perintah Allah SWT.
Orang yang tidak membayar zakat fitrah di bulan Ramadan diyakini amalnya terkatung antara langit dan bumi. Zakat adalah ibadah yang wajib dilakukan seseorang muslim sebagai rasa syukur kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.
2. Nilai Ekonomis
Bernilai ekonomis karena zakat menjadi sumber pendapatan abadi bagi masyarakat di negara Islam. Dengan adanya sumber tersebut, kemakmuran secara ekonomi akan terjamin.
Penerimaan dana zakat yang diterima oleh Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) pada tahun 2017 sebanyak Rp138.096.290.551 dan pada tahun 2018 sebanyak Rp153.153.229.174.
Belum lagi dengan infak dan sedekah. Pada laporan keuangan Baznas pada tahun 2017 jumlah penerimaan infak/sedekah sebesar Rp16.032.383.602, dan pada tahun 2018 sebesar Rp41.938.822.768.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) Universitas Muhammadiyah Kendari (UM Kendari) Samsul Anam SE MEcDev menyatakan bahwa mahasiswa FEBI UM Kendari menghitung dana solidaritas warga, termasuk badan usaha swasta dan kelompok sosial, sejak COVID-19 di Sulawesi Tenggara ditaksir mencapai Rp175.000.000.000 dalam waktu tiga bulan saja.
"Itu jika beras, telur, susu beruang, multi vitamin, migor, mie diuangkan. Belum termasuk bantuan uang-uang", tulisnya dalam pesan WhatsApp, Kamis (14/05/2020)
Ia melanjutkan bahwa warga Muslim Indonesia mendonasikan sekitar U$ 7-8 juta setahun kepada muslim di luar negeri.
"Meski kecil jika dibandingkan negara teluk. Tapi kalau melihat pendapatan perkapita warga kita ini tergolong hebat", ungkapnya.
Zakat juga bernilai politis karena negara turut ambil bagian dalam mengumpulkan dan membagikannya kepada mustahik (orang yang berhak menerima zakat).
Pengelolaan zakat di Indonesia telah diundangkan di era presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Pada pasal 1 poin 7 undang-undang ini menyebutkan bahwa Badan Amil Zakat Nasional yang selanjutnya disebut BAZNAS adalah lembaga yang melakukan pengelolaan zakat secara nasional.
Pasal 1 poin 8 disebutkan bahwa ada Lembaga Amil Zakat (LAZ) adalah yang dibentuk masyarakat yang memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain yaitu Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh Muhammadiyah (Lazismu), Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqoh Nahdlatul Ulama (NU Care-Lazisnu), Dompet Dhuafa Republika.
Walaupun zakat diatur juga oleh negara, zakat berbeda dengan pajak. Dr Majdah Amir Ulama perempuan dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, dalam bukunya Buku Pegangan Utama Fiqih Praktis Empat Mazhab menuliskan perbedaan zakat dan pajak sebagai berikut:
Zakat adalah ibadah yang wajib, karena itu menunaikannya harus dengan niat.
Pajak adalah murni kewajiban warga negara dan jauh dari nilai ibadah dan ketaatan kepada Allah SWT.
Zakat adalah sejumlah harta dengan nilai tertentu yang ditetapkan oleh Allah SWT, nilai minimalnya tidak berubah.
Perhitungan pajak dilakukan oleh wali atau pejabat terkait. Nilai pajak selalu berubah
Zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap dan permanen.
Pajak dilakukan untuk pelayanan publik di suatu negara.
Zakat hanya boleh diterima oleh golongan-golongan yang telah ditentukan.
Orang-orang segan membayar pajak sehingga menundanya.
Pembayar zakat tidak boleh turut merasakaan manfaat dari zakatnya.
Tingkat kewajiban membayar pajak tidak dapat disetarakan dengan zakat karena pajak adalah aturan manusia.
Zakat membersihkan harta, menyucikan pelakunya dari dosa, dan memberi keberkahan dalam harta.
Pajak dibayar oleh orang kaya untuk kemudian dikembalikan melalui layanan langsung atau tidak langsung. Maka, pajak tidak dapat menggantikan zakat yang manfaatnya tidak boleh turut dirasakan oleh pembayarnya, karena para penerima zakat adalah orang yang berstatus sosial berbeda dari pembayarnya.
Zakat bernilai sosial karena dapat menjadi semacam asuransi kesehatan atau bencana bagi masyarakat. Zakat juga membantu meningkatkan solidaritas, menghindarkan rasa iri dan menyatukan hati.
Zakat diambil dari orang muslim kaya untuk diberikan kepada delapan golongan yang berhak menerimanya seperti dijelaskan dalam Al-Quran surat At-Taubah (9) ayat 60, ada 8 golongan yang berhak menerima zakat. Pertama, fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta atau hasil usaha (pekerjaan) untuk memenuhi kebutuhan pokoknya dan tanggungannya. Kedua, miskin adalah orang yang mempunyai harta, tetapi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Ketiga, amil adalah panitia penerima atau pengelola yang bertugas mengumpulkan dan mendistribusikan zakat. Keempat, mualaf adalah kelompok orang yang baru masuk Islam dan butuh bantuan menguatkan keimanannya terhadap Islam. Kelima, riqab, hamba sahaya atau budak yang ingin memerdekakan dirinya.
Keenam, fii sabilillah yaitu orang yang berjuang di jalan Allah seperti berperang, berdakwah, dan menerapkan hukum Islam. Ketujuh, Ibnu Sabil yaitu orang yang terputus bekalnya dalam perjalanan/musafir, termasuk juga pelajar dalam perantauan. Kedelapan, gharim yaitu orang-orang yang memiliki hutang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan tidak sanggup membayarnya.
Dalam pengelolaan modern melalui LAZ, mustahik tidak akan tahu siapa yang memberinya zakat. Dengan ini maka mustahik dijaga marwahnya. Selain amil, mustahik dituntun juga untuk mendoakan muzakki (pemberi zakat), dengan demikian, maka ada tercipta ketenteraman sosial.
Zakat menjadikan perputaran ekonomi lancar, sehingga harta tidak hanya menumpuk pada orang-orang kaya. Dengan ini maka kesenjangan sosial akan semakin kecil. Terlebih manajemen zakat tidak lagi menyantuni, melainkan memberdayakan. Sehingga saat ini mustahik, ke depan bisa jadi muzakki.
Baznas dan LAZ telah banyak berperan di banyak bencana alam maupun non alam, baik di Indonesia maupun di luar negeri, dengan tanpa memandang embel-embel lahirian seperti suku, ras, agama, dan antar golongan. Dengan ini maka zakat meniscayakan fungsi kemanusiaan universal atau rahmatan lil alamin.
Zakat bernilai etis karena dengan berbagi kita dapat membersihkan jiwa dan menghendaki kedermawanan sosial (filantropis).
Dalam banyak kajian manusia juga digolongkan sebagai makhluk sosial, yang rentan untuk bersosialisasi, berinteraksi dengan sesamanya. Sejak manusia dilahirkan ke muka bumi hingga dimakamkan, manusia pasti selalu butuh campur tangan orang lain.
Zakat menyadarkan bahwa kehidupan yang dijalani manusia adalah kehidupan sosial yang menuntut untuk saling berbagi, saling mengisi, saling menopang, dan saling mendukung.
Gerakan filantropi (kedermawanan) dalam pandangan orang beragama manapun, juga orang yang tidak beragama adalah kebaikan. Olehnya yang tidak melakukan gerakan filantropi (zakat, infak, sedekah, dan lainnya) adalah orang yang anti kemanusiaan.