Maahir: Bersepeda Merajut Nusantara

Haidir Muhari, telisik indonesia
Selasa, 24 November 2020
0 dilihat
Maahir: Bersepeda Merajut Nusantara
Muhammad Maahir Abdullah, merajut nusantara dengan sepedanya. Foto: Repro Headtopics.com

" Sekaligus saya ungkapkan kekhawatiran soal pemanasan global karena salju di sana sudah banyak mencair. Pemandu di sana juga bilang kalau dulu salju di sini lebih luas lagi. "

JAKARTA, TELISIK.ID - Pria berusia 25 tahun itu terlihat haru dan menitikkan air mata mendapati salju terakhir di puncak Carstenz, Jayawijaya, Papua.

Muhammad Maahir Abdullah, telah menaklukan seven summits, tujuh puncak gunung tertinggi di Indonesia. Terakhir di puncak Carstenz, Jayawijaya, Papua.

Selain puncak Carstensz Pyramid yang juga termasuk seven summits adalah Puncak Indrapura, Gunung Kerinci, Jambi; Gunung Rinjani, Lombok; Puncak Mahameru, Gunung Semeru, Jawa Timur; Puncak Rantemario, Gunung Latimojong, Enrekang; Gunung Binaiya, Pulau Seram, Maluku; dan Gunung Bukit Raya, Katingan.

Dalam video yang viral itu ia tak kuasa menahan air matanya. Ia prihatin atas salju yang semakin sedikit, akibat pemanasan global. Lalu dengan tangannya menyeka air yang meretas tak terbendung.

"Sekaligus saya ungkapkan kekhawatiran soal pemanasan global karena salju di sana sudah banyak mencair. Pemandu di sana juga bilang kalau dulu salju di sini lebih luas lagi," ungkapnya dilansir dari kompas.com.

Dengan sepedanya berjenis MTB Federal Bobcat keluaran tahun 1993 itu, Ia telah melintasi seluruh provinsi di Indonesia. Dengan sepedanya itu ia telah menempuh jarak 21.926 km sejak 11 Maret 2018.

Tepat 10 November 2020 siang ia sampai di pintu gerbang kantor PMI Jakarta Selatan, setelah 975 hari menyusuri nusantara dengan sepedanya. Sedari pagi orang telah berkumpul di tempat itu, mengelukan, dan menantikan kehadirannya.

Kebahagiaan tak mampu lagi dibendungnya. Dengan penuh kesadaran ia melompat dari sepedanya lalu menempelkan dahinya, bersujud syukur.

Baca juga: Mario Balotelli, Mawar dari Afrika

Ingatannya di masa lalu sekelebat terpampang di depannya. Tepatnya saat kelas V di di SD Negeri 15 Ciracas Jakarta.

Berawal dari peta dunia yang terpampang di dinding kelasnya. Maahir kecil mengukur luas wilayah Indonesia dengan jengkalnya.

Sejak saat itu ia menyadari bahwa Indonesia bukan hanya jalan dari rumah ke sekolahnya, Indonesia bukan hanya Jakarta. Indonesia setara luasnya dengan empat negara di Eropa.

Sejak saat itu mimpinya teguh untuk menjelajahi Nusantara. Mimpi itu terus bersangkar dalam kesadarannya.

Dalam sujud syukurnya, keharuannya meliputi. Betapa tidak banyak orang yang meragukannya untuk mewujudkan mimpinya menjelajahi Indonesia, apalagi bersepeda seorang diri.

Ia bahkan dianggap gila. Namun, ia tak mau patah arang. Seperti kata bijak, mimpi bukanlah sesuatu yang disaksikan dalam tidur, mimpi yang sesungguhnya adalah yang membuat orang tak bisa tidur.

Ia terbangun dari sujud syukurnya, bergegas menghampiri ibunya. Pertahanannya untuk tidak menitikkan air mata akhirnya roboh. Dalam pelukan hangat sang Ibu Sumaryati (51), tangisnya pecah. Kelembutan hati seorang Ibu pun turut larut dalam tangisan itu.

Begitulah, tak ada lagi kata-kata di kebahagiaan tertinggi, hanya tangisan. Pun kata-kata sirna di kesedihan terendah, tersisa tangisan.

Tangisan mereka pun akhirnya berpadu. Rasa rindu, haru, bahagia, dan bangga larut dalam tangisan itu. Itu adalah pertemuan mereka pertama, sejak Maahir merajut dengan sepedanya 2,5 tahun lalu.

Baca juga: Ivan Fernandez, Sosok Malaikat Sportivitas

Dalam pelukan hangat seorang Ibu, rasa apa yang akan luput dari seorang anak. Seorang ibu tidak hanya memeluk dengan fisiknya, melainkan doa, seluruh jiwa, sesegenap semesta. Belaian tangan Ibu adalah tarian semesta dalam iring dendang nada abadi kepada sang kecil di alam asali, sebelum ada di pentas bumi.

Dalam ekspedisi jelajah nusantara itu, alumni Pendidikan Bimbingan Konseling Universitas Indraprasta, Jakarta, juga mendirikan taman baca. Hal itu dimaksudkan untuk meningkatkan minat baca generasi muda Indonesia.

Targetnya mendirikan sepuluh taman baca di Indonesia. Namun karena kendala biaya, ia baru bisa mewujudkan empat taman baca di seluruh Indonesia.

"Dari target sepuluh taman bacaan, kami hanya bisa menuntaskan empat karena sempat terkendala biaya pengiriman buku," ujarnya.

Hal lain yang ia targetkan adalah membuat catatan perjalanan selama ekspedisi itu. Catatan itu ia maksudkan sebagai panduan ekspedisi di seluruh provinsi di Indonesia.

"Pada akhir perjalanan, saya akan membuat buku. Bermaksud menjadi literasi karena selama ini belum ada panduan untuk ekspedisi seluruh provinsi di Indonesia," ungkapnya seperti dilansir dari trenddjakarta.com.

Dari Maahir kita belajar tentang kesaktian mimpi. Kita juga belajar tentang kiprah nyata pemuda merajut Indonesia pusaka dalam bingkai keberagamaan. Juga pelajaran lainnya yang sama berharga.

Pulihlah Indonesia kita. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya. Selamatlah rakyatnya, puteranya, pulaunya, lautnya, semuanya. (C)

Reporter: Haidir Muhari

Editor: Fitrah Nugraha

TAG:
Baca Juga