Ivan Fernandez, Sosok Malaikat Sportivitas

Haidir Muhari, telisik indonesia
Selasa, 03 November 2020
0 dilihat
Ivan Fernandez, Sosok Malaikat Sportivitas
Ivan Fernandez Anaya (belakang) dan Abel Mutai (depan). Foto: Repro coscienzeinrete.net

" Tetapi apa arti kemenangan saya? Apa kehormatan medali ini? Apa yang akan dipikirkan oleh ibu saya?. "

SPANYOL, TELISIK.ID - Pria kelahiran 19 Juni 1988 dalam Kompetisi Burlada Navarre, Spanyol, membuka mata dunia tentang harga sebuah kemenangan.

Pria itu adalah Ivan Fernandez Anaya. Kisahnya ini terjadi pada 2 Desember 2012 silam. Delapan tahun sudah kejadian ini berlalu, tetapi spirit kisah itu takkan lapuk dimakan waktu.

Pergelaran lari maraton itu, Fernandez tepat berada di posisi kedua dan agak jauh dari Abel Mutai. Mutai adalah pelari asal Kenya yang meraih medali perunggu lari maraton kategori 3.000 meter dalam olimpiade London.

Mutai melesat agak jauh dari Fernandez. Ketika akan memasuki finis, Mutai melambat dan berhenti. Jarak ke garis finis masih sekira 10 meter.

Tak ada angin, tak ada hujan, dan tak ada cedera yang dialami Mutai. Sekonyong-konyong ia berhenti.

Melihat itu, Fernandez yang berada di posisi kedua mengerti bahwa Mutai mengira sudah melampaui finis. Ia lalu berteriak memberi tahu pelari Kenya itu agar terus berlari.

Namun, Mutai yang orang Kenya tidak melakukan apa-apa dengan teriakan Fernandez. Mutai tentu tak memahami kata-kata Fernandez yang berbahasa Spanyol.

Menyadari itu, Fernandez lalu mendempeti Mutai. Ia tepat berada di sisi belakang, tak mau mendahului dan memanfaat kekeliruan Mutai.

Baca juga: Putri Asal Kendari Ini Berkiprah di Kancah Nasional

Ia mendorong Mutai sehingga mereka bisa tetap berlari dan Fernandez tetap berada di sisi belakang. Akibat sikapnya itu, Mutai meraih kemenangannya.

Sikapnya itu mengundang tanya hadirin dan wartawan yang menyaksikan pertandingan itu. Setelah mereka mencapai garis finis dan pertandingan berakhir, Fernandez pun dicerca dengan pertanyaan.

“Mengapa Anda melakukan ini?,” tanya wartawan menelisik alasan Fernandez melakukan perbuatan yang tidak lumrah dalam pertandingan.

“Mimpi saya adalah bahwa suatu hari kita dapat memiliki semacam kehidupan komunitas di mana kita mendorong diri kita sendiri dan saling membantu untuk menang," terangnya dengan nada ringan.

Wartawan itu belum puas dengan jawaban Fernandez. Ia mempertegas pertanyaan sebelumnya.

“Tapi mengapa Anda membiarkan orang Kenya menang?,” selidik wartawan itu.

“Aku tidak membiarkan dia menang, dia akan menang. Perlombaan ini adalah miliknya,” jawab pelari yang dilatih oleh Santi Perez ini.

Baca juga: Oki Setiana Dewi, Panutan Muslimah Indonesia

“Tapi Anda bisa menang!,” todong wartawan tadi.

“Tetapi apa arti kemenangan saya? Apa kehormatan medali ini? Apa yang akan dipikirkan oleh ibu saya?," jawabnya sambil melihat ke wartawan tersebut.

Kisah Fernandez itu seperti oase di padang gurun. Era kekeringan moral dan kesemrawutan etik yang dinamai disrupsi, memotret buas manusia melakukan segala apapun untuk menang. Fernandez seperti suluh di gelap mata manusia dari simpang sportivitas.

Sportivitas adalah mutiara tiada tara. Kemenangan hakiki adalah keteguhan kepada nilai sportivitas padahal ada kesempatan terbuka untuk orang tidak terlalu menyoalkan sikap itu.

Nilai-nilai luhur itu penting untuk terus ditransmisikan hingga generasi nun jauh di sana. Rumah adalah the guardian of etics. Keluarga adalah tempat penyemaian paling baik. Ibu adalah madrasatul 'ula.

Betapa hebat Ibunya yang menanamkan sportivitas hingga di posisi yang bisa saja orang lain memaklumi jika Ivan mengambil kesempatan untuk tidak memedulikan Abel. Ibulah yang menjadi alasannya untuk tetap baik.

Sebagai apresiasi atas sikap Fernandez kisah ini banyak dimuat di berbagai media. Alur kisah ini pun disadur dari berbagai media itu dengan beberapa perubahan.

Kita tentu bisa mengambil pelajaran yang berharga dari kisah tersebut. Terima kasih Ivan Fernandez Anaya. Terima kasih juga untuk Ibumu. (B)

Reporter: Haidir Muhari

Editor: Fitrah Nugraha

TAG:
Baca Juga