Masjid Pathok Negoro Dongkelan, Tempat Ibadah Sekaligus Benteng Pertahanan
Affan Safani Adham, telisik indonesia
Jumat, 21 Agustus 2020
0 dilihat
Masjid Pathok Negoro Nurul Huda Dongkelan, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul. Foto: Repro wijna.web
" Oleh karena itu oleh Sultan Hamengkubuwono I beliau diangkat menjadi pejabat pathok negoro. "
YOGYAKARTA, TELISIK.ID - Masjid Pathok Negoro Dongkelan Kauman atau sering juga disebut Masjid Nurul Huda, merupakan salah satu Masjid Pathok Negoro Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Sekaligus berfungsi sebagai benteng pertahanan untuk menangkal serangan musuh.
Masjid Pathok Negoro ini merupakan salah satu bagian dari Kasultanan Yogyakarta yang patut diapresiasi. Dalam istilah Jawa, pathok adalah kayu atau bambu yang ditancapkan sebagai penanda. Adapun negari, negara atau negoro adalah wilayah kerajaan. Jadi, Masjid Pathok Negoro merupakan sebuah tanda batas kekuasaan raja.
Masjid Pathok Negoro Dongkelan, Bantul, DIY, didirikan pada tahun 1775. Waktu itu bersamaan dengan dibangunnya serambi Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta.
Pendirian masjid ini merupakan penghormatan bagi Kyai Sayihabuddin atau Syeh Abuddin atas jasa-jasanya terhadap Sultan Hamengkubuwono I ketika berkonflik dengan Raden Mas Said atau Sri Mangkunegara yang berjuluk Pangeran Sambernyawa.
Pada saat Sultan Hamengkububowono I menduduki tahta kerajaan beliau merasa terganggu dengan naik tahtanya Pangeran Sambernyawa dengan gelar KGPAA Mangkunegara I yang merupakan menantunya sendiri.
Sultan ingin mengalahkan menantunya tersebut, tapi tanpa merasa membunuhnya. Maka, Sultan Hamengkubuwono meminta bantuan Kyai Syihabudin dan menjanjikan posisi patih kepada Kyai Syihabuddin jika mampu mengalahkan Pangeran Sambernyawa.
Kemudian, Kyai Syihabuddin mampu menyelesaikan konflik antara Sultan Hamengkubuwono I dan Pangeran Sambernyowo tanpa melukai pangeran Sambernyowo. Tapi Sultan Hamengkubuwono I tidak bisa memenuhi janjinya untuk menjadikan Kyai Syihabuddin menjadi patih karena pada saat itu posisi tersebut telah ditempati Tumenggung Yudanegara.
Lalu, Kyai Syihabuddin diangkat menjadi penghulu keraton yang pertama. Tetapi beliau menjabat tidak lama karena kecewa terhadap Sultan Hamengkubuwono I. Karena kekecawaanya tersebut Kyai Syihabuddin mendapat julukan Kyai Dongkol (kecewa). Karena perubahan ucapan, nama Kyai Dongkol berubah menjadi Kyai Dongkel, kemudian tempat tinggal beliau disebut Dongkelan.
Dijelaskan Muhammad Burhanudin, Abdi Dalem Masjid Pathok Negoro Dongkelan, Kyai Syihabuddin adalah orang yang yang ahli fiqih. "Oleh karena itu oleh Sultan Hamengkubuwono I beliau diangkat menjadi pejabat pathok negoro," jelasnya.
Baca juga: Amalan yang Disunnahkan di Bulan Muharram
Karena diangkat menjadi pejabat Pathok Negoro, maka beliau dibuatkan Masjid Pathok Negoro. Sebelumnya, Kyai Syihabuddinn bertempat tinggal di timur sungai Winongo. Karena syarat pembangunan Masjid Pathok Negoro tidak boleh sejajar dengan keraton, maka beliau pindah ke barat sungai Winongo.
Pada saat itu masjid yang berada di wilyah Dongkelan, Kauman, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, menyerupai bangunan Masjid Gedhe Kauman. Terdapat kolam di halaman masjid, kuburan yang terletak di barat masjid, beduk beserta perangkat pegawai yang bertugas mengurusi masjid.
Dijelaskan oleh Burhanudin, Masjid Pathok Negoro Dongkelan pernah dibakar habis oleh pihak Belanda semasa perang Diponegoro pada tahun 1825. "Pada saat itu, yang tersisa hanya batu penyangga tiang masjid atau umpak," terang Burhanudin, Jumat (21/8/2020).
Setelah dibakar, masjid tersebut dibangunn kembali dengan sangat sederhana. Atap masjid hanya terbuat dari ijuk dengan mustaka dari tanah liat.
Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII, masjid tersebut dibangun kembali pada tahun 1901. Bentuk bangunan masjid dibuat seperti semula. Kemudian pada tahun 1948 dilakukan pembangunan serambi masjid.
Seperti halnya Masjid Pathok Negoro lain di Yogyakarta, Masjid Nurul Huda Dongkelan yang sederhana juga berfungsi sebagai tempat beribadah. Dan masjid ini tetap menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat sekitar.
Suasana tenang penuh kesederhanaan, masih tercermin hingga sekarang. Arsitektur masjid yang dibangun Keraton Yogyakarta sebagian masih menyisakan kekhasan masjid keraton pada masa itu. Pilar-pilar penyangga masjid tampak minimalis, hanya ada sedikit goresan motif ukiran. Lantai masjid yang dulunya berwarna hitam, kini hanya digantikan keramik putih polos.
Beduk warna coklat kusam berusia 116 tahun di sayap utama serambi masjid juga masih terdapat di masjid ini. Bangunan masjid ini terhitung kecil dibandingkan Masjid Pathok Negoro lainnya, yaitu seluas lebih kurang 200 meter persegi.
Reporter: Affan Safani Adham
Editor: Haerani Hambali