Menelisik Cerita Fiktif La Bolontio hingga Intervensi Ternate terhadap Buton
Deni Djohan, telisik indonesia
Jumat, 08 Januari 2021
0 dilihat
Parodi peperangan yang dilakoni masyarakat. Terlihat mereka saling serang. Foto: Ist.
" Bagi masyarakat Buton, La Bolontio merupakan momok yang sangat menakutkan. Bagaimana tidak, bajak laut asal Tobelo itu kerap mengancam keamanan masyarakat Buton pada masa kerajaan atau sekitar 600 tahun lalu. "
BAUBAU, TELISIK.ID - Bagi masyarakat Buton, La Bolontio merupakan momok yang sangat menakutkan. Bagaimana tidak, bajak laut asal Tobelo itu kerap mengancam keamanan masyarakat Buton pada masa kerajaan atau sekitar 600 tahun lalu.
Banyak versi sejarah Buton menceritakan tentang kisah tragis terbunuhnya bajak laut asal Tobelo itu. Namun, untuk memastikan La Bolontio yang tewas saat itu, pembunuh harus mempersembahkan salah satu organ tubuh La Bolontio.
Terlepas dari organ apa yang dipersembahkan, semua sependapat bahwa pembunuh bajak laut bermata satu itu adalah Raja Buton ke enam yang juga Sultan Buton Pertama, La Kilaponto atau Sultan Murhum.
Pembunuhan itu terjadi melalui sayembara terbuka oleh raja kelima Buton, La Molae. Hadiah dalam sayembara itu adalah tahta. Artinya, siapa saja yang berhasil membunuh La Bolontio maka dialah pengganti La Molae menjadi raja keenam di Buton.
Dalam catatan sejarah Buton, kisah heroik La Kilaponto itu terjadi di teluk Kapontori, Desa Bone Tiro, Kecamatan Kapontori, Kabupaten Buton. Dengan tehnik melemparkan pasir menggunakan kaki tepat di mata, La Bolontio roboh dengan sabetan pedang La Kilaponto.
Baca juga: Kisah Pak Bin, Tukang Pijat Keliling Jakarta yang 3 Kali Naik Haji
Namun belakangan diketahui, kisah La Bolontio adalah cerita fiktif atau sejarah yang tak pernah ada sepanjang masa pemerintahan kerajaan berlangsung. Nama La Bolontio muncul hanya untuk memuluskan La Kilaponto menjadi raja di Buton. Bagaimana tidak, La Kilaponto atau Sultan Murhum bukanlah seorang putra mahkota. Sementara pada masa kerajaan, Buton masih menganut sistem monarki absolut atau kepemimpinan mutlak berdasarkan turunan.
Kisah ini diungkap oleh tokoh masyarakat Kepton yang juga pemerhati budaya Buton, Samsu Umar Abdul Samiun. Kata dia, pengangkatan Murhum sebagai raja pengganti La Molae mendapat penolakan dari para putra mahkota.
"Sehingga dibuatkanlah rekayasa cerita. Cerita itu adalah kisah La Bolontio. La Bolontio ini cerita fiktif atau tidak pernah ada. Sebab untuk memasukkan Murhum sebagai raja, La Molae (raja Buton kelima) harus menabrak sistem yang sudah ada," tutur Umar Samiun pada salah satu kegiatan ritual adat belum lama ini.
Berdasarkan silsilah, lanjut dia, Murhum merupakan cicit dari raja ke tiga Buton, Bataraguru. Bataraguru memiliki dua orang istri. Dari istri pertama melahirkan tiga orang anak yakni Raja Manguntu, Tua Maruju dan Tua Rade. Tua Rade yang merupakan bungsu dari Bataraguru kemudian menggantikan ayahnya Bataraguru sebagai Raja keempat di Buton. Sedang dari istri kedua atau selirnya menurunkan seorang anak bernama Kiy Jula.
Baca juga: Kesultanan Buton, Sistem Pemerintahan Tertua hingga Bergabung dengan Indonesia
Setelah menjadi Raja keempat, Tua Rade kemudian mengangkat kakak-kakaknya sebagai pembesar di kerajaan yang kemudian di fermentasi dengan sebutan Bonto Ogena. Sedangkan anak dari istri kedua yakni Ki Jula tak mendapat jabatan apa-apa.
Karena tidak mendapat jabatan, Ki Jula kemudian berangkat menyepikan diri di puncak tertinggi depan pulau Buton, yakni pulau pancana yang saat ini dikenal dengan pulau Muna. Bukit tersebut kini disebut dengan bukit Kiy Jula.
"Dari Ki Jula inilah yang kemudian banyak melahirkan Sultan di Buton atau dikenal dengan Kamboru-mboru Tanailandu," bebernya.
Setelah kepemimpinan berganti dari raja Tua Rade ke Raja La Molae atau raja Buton kelima, nasip saudaranya, Kiy Jula mulai ia terpikirkan. Di saat bersamaan, Kiy Jula sudah memiliki turunan banyak namun tak mendapat jabatan apa-apa. Diantaranya adalah Sultan Murhum.
"Raja Molae kemudian mengambil dan mengasuh Murhum sejak kecil. Artinya, La Molae sudah lebih dulu memastikan pewaris tahtanya nanti adalah Murhum," ungkapnya.
Berbeda dengan peneliti sejarah Buton, La Ode Yusri. Dimana menurutnya, terpilihnya La Kilaponto menggantikan Raja La Molae sebagai Raja keenam Buton merupakan sebuah kudeta senyap paling mula di Buton.
Baca juga: Pesta Kampung Waoleona, Jejak Perlawanan Sultan Himayatuddin terhadap Kesultanan Buton
Kendati begitu, ia juga mengakui bila kisah La Bolontio adalah sejarah fiktif atau rekaan istana untuk kepentingan La Kilaponto menjadi penguasa di Buton.
"Untuk menggali sejarah itu kita harus ketahui dulu siapa sebenarnya La Kilaponto ini, mengapa harus dia yang menggantikan La Molae. Padahal dia bukan putra mahkota. Saat itu, Buton masih menggunakan sistem menganut turun temurun. Sehingga seharusnya tahta itu dilanjutkan oleh anak, kemenakan, paman atau sepupu. Artinya, yang akan jadi pemimpin ini harus mempunyai kedekatan genelogi dengan pemimpin sebelumnya," tutur La Yusrie sapaan akrab La Ode Yusri.
Berdasarkan aturan kerajaan, lanjut dia, yang paling berhak menggantikan raja La Molae saat itu adalah anak Raja Manguntu yang tidak lain adalah kemenakannya, La Kasituri. Namun seketika tahta itu direbut oleh seorang yang tak memiliki hak dalam urusan kekuasaan, yakni La Kilaponto yang tidak lain adalah cucu dari Kiy Jula atau anak bataraguru dari istri selirnya.
Namun, kata dia, konflik itu sudah terjadi sejak raja ketiga Buton, Bataraguru masih berkuasa. Kedua anaknya yakni raja Manguntu dan Tua Maruju diam-diam berseteru rebut kuasa menggantikan ayahnya.
Menyadari akan hal itu, Raja Bataraguru kemudian mengangkat anak bungsunya, Tua Rade untuk menggantikan dirinya. Selain itu, pengangkatan Si Bungsu itu juga merupakan jalan tengah guna menghindari perseteruan berkepanjangan.
"Sedangkan kedua anaknya yang berseteru itu diangkat menjadi penasehat. Pesannya agar membimbing adiknya sehingga tidak salah jalan," tambahnya.
Tak terima dengan itu, Raja Manguntu dan Tua Maruju keluar dari istana. Raja Manguntu pergi ke Busoa dan kemudian menjadi raja di Batauga. Sedangkan Tua Maruju pergi Todanga dan juga menjadi raja Todanga.
Polemik kepemimpinan penerus tahta untuk menggantikan Raja keempat, Tua Rade kembali terjadi. Dalam rumah tangganya, Tua Rade tidak memiliki anak atau putra mahkota untuk menggantikan dirinya sebagai raja keenam. Karena tak dikaruniai anak, Tua Rade menunjuk kemenakannya yang tidak lain anak Tua Maruju, yakni La Molae atau Sangia I gola.
Sementara itu, anak Raja Manguntu yang digadang-gadang juga akan melanjutkan tahta Tua Rade, La Katituri harus kecewa dengan keputusan itu.
"Akhirnya yang terjadi adalah keduanya keluar. Tapi setelah La Molae menjadi raja anaknya kembali ke kerajaan. Tujuannya adalah rekonsiliasi," ungkapnya.
Namun, lanjut dia, Raja Manguntu yang terlalu kecewa masih belum menerima tawaran itu. Ketika Tua Maruju mengejar dia ke Batauga, Raja Manguntu meninggalkan Batauga menuju Ponto, Mawasangka yang saat ini Kabupaten Buton Tengah. Di Ponto ini La Kilaponto sempat menjadi Raja.
Raja Manguntu datang sebelum masa kepemimpinan kakek La Kilaponto, Sugi La Ende. Karena sudah tersisih dari kerajaan Buton dan tak punya pilihan lain, Raja Manguntu kemudian membangun kekuatan dengan berkoalisi bersama Kerajaan Muna.
Bangunan aliansi inilah yang kemudian berhasil dijalankan pada masa La Kilaponto yang memperhadapkan La Molae dengan La Kilaponto dan dibekingi oleh Raja Manguntu.
"Dari kisah ini, saya menyebutnya adalah kudeta paling mula di Buton. Sebab, Murhum adalah orang yang tidak berhak menduduki tahta sesudah Raja La Molae mengingat dirinya adalah bukan dari putra mahkota. Jadi ini adalah pengkudetaan yang sengaja digelapkan oleh kita orang Buton," ucapnya.
Setelah La Kilaponto naik tahta dengan cara tidak benar, tambah dia, dirinya harus menutup segala apa yang telah ia melakukan. La Kilaponto kemudian mereproduksi narasi cerita-cerita La Bolontio.
"Jadi cerita La Bolontio ini adalah rekaan semua. Sehingga jika ditanya La Bolontio ini dari mana, sudah pasti dari La Kilaponto yang membuat narasi rekaan untuk melegitimasi dia mengambil kekuasaan di Buton," tambahnya.
Tidak hanya kekuatan Kiy Jula bersama koalisinya Kerajaan Muna saja yang menggulingkan kekuasaan saat itu. Kesultanan Ternate juga ikut andil dalam pengkudetaan senyap itu. Di sini, Ternate berkepentingan menjadikan sistem pemerintahan Buton dari kerajaan menjadi kesultanan. Dan semua itu mulus berjalan. La Kilaponto menjadi Raja, pemerintahan Buton beralih dari kerajaan menjadi kesultanan.
Baca juga: Viral di TikTok, Pencipta Lagu Semua Berlalu Ternyata asal Baubau
"Jadi kekuasaan di Kerajaan Buton ini diperebutkan oleh dua kelompok saja, yakni kelompok permaisuri dan kelompok selir," akunya.
Menurutnya, sangat sulit meluruskan fakta ini. Sebab bakal berhadapan dengan sejarah yang terlanjur tercatat oleh istana. Apalagi, istana adalah pihak otoritas untuk menceritakan sejarah pada masa itu. Namun, ia juga menilai jika sumber luar istana tak bisa pula diabaikan. Apalagi sumber itu mendekati benar adanya.
"Saya bukan tidak percaya istana. Tapi istana juga punya kepentingan untuk menulis apa-apa yang baik bagi mereka. Sebab sejarah itu hanya milik penguasa. Mereka menulis dengan sesuatu yang baik untuk kepentingan mereka. Jadi sumber istana tidak seluruhnya saya percaya," tegas panitia tim pengusulan pahlawan nasional Oputa yikoo itu.
Guna melanjutkan penelitiannya, ia mengaku bakal kembali mengunjungi Ternate meski titik terang dari peristiwa itu sudah ia temukan. (B)
Reporter: Deni Djohan
Editor: Fitrah Nugraha