Menjadi Tuna Aksara, Pemulung Ini Tidak Menyerah

Nadwa Rifada, telisik indonesia
Rabu, 06 April 2022
0 dilihat
Menjadi Tuna Aksara, Pemulung Ini Tidak Menyerah
Ningsih, yang kesehariannya memulung sedang beristirahat duduk beralaskan kardus bekas. Foto : Nadwa Rifada/Telisik

" Apa pun profesinya, puasa sudah menjadi keharusan untuk ditunaikan, termasuk mereka yang beprofesi pemulung "

KENDARI, TELISIK.ID - Puasa sudah menjadi kewajiban setiap umat muslim. Apa pun profesinya, puasa sudah menjadi keharusan untuk ditunaikan, termasuk mereka yang beprofesi pemulung.

Adakalanya kita dapati beberapa pemulung tidak berpuasa sehingga ketika mendapati mereka yang berpuasa membuat kita tersenyum.

Ningsih salah satunya. Ia adalah seorang perempuan paruh baya yang tinggal seorang diri di sebuah kost di jalan Saranani, dekat Eks MTQ. Kehidupannya yang serba pas-pasan tidak membuatnya menyerah. Ningsih bahkan masih tetap bisa berpuasa sekalipun harus memulung.

Sejak pagi, Ningsih memulai aktivitasnya dengan berkeliling memulung. Berbekal gerobak panjang, Ningsing mengumpulkan sejumlah barang bekas seperti kardus, botol dan barang-barang lainnya untuk ditimbang.

Sayangnya, hari ini tidak seperti biasanya. Ningsing hanya memperoleh sedikit botol bekas dari hasil memulungnya untuk ditimbang. Membuat Ningsing sedikit lemas dan merasa kelelahan.

Tanpa ingin melanjutkan memulung, Ningsih akhirnya memilih beristirahat di pinggir jalan raya sekaligus duduk menanti uluran tangan dari orang lain.

Ningsih mengungkapkan, dirinya tidak seperti kebanyakan perempuan paruh baya lainnya, yang pintar dan memiliki pendidikan tinggi.

Baca Juga: Sepasang Pemulung dengan Kisah Masa Lalu yang Pahit

"Saya ini tidak pintar, gak ngerti baca. Berbeda dengan perempuan-perempuan sekarang ini pintar-pintar," ungkap Ningsih.

Karena faktor ekonomi, Ningsih sejak lama tidak mengenyam pendidikan sebagaimana mestinya. Orang tuanya yang tidak mampu membiayainya sekolah memaksa Ningsih untuk tidak pernah merasakan pendidikan seperti yang seharusnya

Bagaimana kehidupan sekolah, Ningsih tidak pernah merasakan itu. bagaimana rasanya bermain bersama anak-anak lain di taman sekolah, diajar oleh guru, mengikuti setiap upacara, semuanya tidak pernah Ningsih alami.

Masa-masa sekolah adalah masa-masa yang paling tidak bisa dilupakan. Tertawa, bercanda, dimarahi guru, dihukum, semuanya adalah kenangan yang tidak bisa kembali terulang. Dan Ningsih menjadi satu dari sekian banyaknya pemulung yang kurang beruntung dan harus kehilangan masa itu.

Baca Juga: Kisah Pedagang Sapu Lidi Jalanan jadi Guru Ngaji

Pada akhirnya, Ningsih tumbuh besar menjadi seorang tuna aksara (tidak bisa baca). Dan hanya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dengan memulung.

Kadangkala Ningsih harus merasakan lelahnya memulung dan menahan rasa sakit yang seringkali menderanya. Ningsih pernah mengalami sakit dan karena sakitnya itu ia harus berjalan ngesot sambil memulung. Bagi Ningsih ujian terberatnya adalah saat harus menahan sakit. Sebab jika ia sakit, tidak akan ada orang yang membantunya. Ningsih hanya bisa diam dan manahan sakit yang sering menyerangnya.

Tidak ada siapa pun yang menginginkan kehidupan, seperti hidup yang dialami Ningsih. Menjadi pemulung, yang terkadang menahan sakit seorang diri, Tidak bisa baca tulis dan membiayai hidup seorang diri. Orang lain yang berada diposisi Ningsih bisa jadi akan menyalahkan takdir. Namun Ningsih tidak. Berusaha tetap sabar dan bisa menerima takdir.

Harapannya, semoga orang-orang yang mengalami hal yang sama dengannya bahkan lebih buruk, mampu menjalani hari dengan lebih baik. Berharap orang-orang sepertinya mendapat perhatian lebih dan uluran tangan dari mereka yang lebih beruntung. (A)

Reporter: Nadwa Rifada

Editor: Kardin

Baca Juga