Pembangunan Bendungan Ameroro, Dua Kepala Desa di Konawe Saling Klaim

Nur Khumairah Sholeha Hasan, telisik indonesia
Jumat, 17 Juni 2022
0 dilihat
Pembangunan Bendungan Ameroro, Dua Kepala Desa di Konawe Saling Klaim
Bendungan Ameroro di Kecamatan Uepai, Kabupaten Konawe, saat proses pengerjaan. Foto: Repro Google maps

" Saling klaim inilah yang mengakibatkan Kepala Desa Baruga dan Kepala Desa Tawarotebota meributkan masing-masing batas wilayah desa mereka "

KENDARI, TELISIK.ID - Pembangunan Bendungan Ameroro yang berada di Kecamatan Uepai, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, menimbulkan polemik.

Hal itu dipicu lantaran Desa Tawarotebota mengklaim wilayahnya ikut terdampak oleh pembangunan waduk Bendungan Ameroro.

Sementara Kades Baruga, Askun menyebutkan, hanya 3 desa yang terdampak yaitu Desa Amaroa, Tamesandi dan Desa Baruga. Sedangkan Desa Tawarotebota tidak termasuk wilayah terdampak waduk Bendungan Ameroro.

Saling klaim inilah yang mengakibatkan Kepala Desa Baruga dan Kepala Desa Tawarotebota meributkan masing-masing batas wilayah yang mereka yakini.

Askun menjelaskan bahwa Desa Baruga sudah lama mekar dari Desa Tawarotebota bahkan sebelum adanya pembangunan bendungan tersebut.

Selama ini kata Askun, tidak pernah ada kegaduhan ataupun ribut-ribut masalah wilayah ataupun batas tanah. Lain cerita setelah adanya pembangunan waduk Ameroro. Desa Tawarotebota mengklaim jika batas wilayah itu adalah wilayah Desa Tawarotebota.

Askun mengungkapkan, untuk wilayah pemukiman, Desa Baruga berbatasan dengan Desa Tawarotebota. Tetapi untuk menuju lokasi atau wilayah waduk, Desa Tawarotebota diputus oleh tiga desa, yakni Desa Humboto, Matahoalu dan Langgomea. Sedangkan Desa Baruga tidak terputus ketika menuju wilayah hutan ataupun dampak bendungan tersebut.

Baca Juga: Pencairan Dana OPD di Muna Barat Ditunda Sementara, Ini Penyebabnya

"Ini yang saya herankan. Kenapa saat pembangunan waduk Ameroro baru mereka komplain jika di wilayah pembangunan tersebut wilayah mereka," ujar Askun, Kamis (16/6/2022).

Dia melanjutkan, Desa Baruga sendiri memiliki area penggunaan lain (APL) bersertifikat sejak 2006, 2012 hingga 2017.

"Kenapa komplain sekarang setelah ada waduk? Sedangkan kita ada dana desa dan bantuan lainnya. Sebelum ada waduk mereka tidak pernah komplain," katanya.

Hal senada diungkapkan salah satu pendamping Desa Baruga, La Ode Sabri. Dia mengatakan, secara lokasi peta, Desa Tawarotebota berada di antara 3 desa yakni Desa Amaroa, Desa Tamesandi dan Desa Baruga.

"Jarak antara Desa Tawarotebota dan Desa Baruga itu jauh, bahkan diantarai oleh 3 desa sekaligus. Tapi kenapa mengklaim jika batas-batas tanah yang berada di Desa Baruga adalah milik Desa Tawarotebota," ujarnya heran.

Dia juga menyayangkan dengan adanya klaim sepihak dari Kades Tawarotebota mengakibatkan Desa Baruga baik dalam proses administrasi dan sebagainya dialihkan ke Desa Tawarotebota.

La Ode Sabri juga menyayangkan adanya perbedaan antara Peraturan Bupati Konawe dengan Nomor 70 tahun 2021, tertanggal 31 Desember 2021 dengan rekomendasi DPRD Konawe Nomor 170/177/2022 terkait Penanganan Dampak Sosial Masyarakat di Kecamatan Uepai dalam proyek Bendungan Ameroro.

"Dalam surat tersebut, Desa Baruga tidak masuk dalam daftar desa terdampak menurut surat DPRD, sedangkan kenyataan di lapangan sangat berbeda, Desa Baruga sendiri masuk dalam wilayah terdampak sesuai surat dari Bupati Konawe, "ujarnya.

Dihubungi terpisah, Kepala Desa Tawarotebota mengatakan, batas tanah yang dikomplain oleh Kepala Desa Baruga sebagai batas tanah wilayah adalah bagian dari wilayah Desa Tawarotebota.

"Batas sudah sesuai wilayah masing-masing desa. Saya tidak pernah komplain, itu sudah sesuai Peraturan Daerah (Perda) Nomor 40 Tahun 2020. Desa Baruga itu ranahnya daerah perkampungan," katanya.

Dia melanjutkan, Desa Baruga merupakan pemekaran dari Desa Tawarotebota di tahun 1997. Sedangkan Desa Tawarotebota merupakan mekaran dari Desa Uepai.

Baca Juga: Masuk Program Nasional, Pembangunan Bandara Kolaka Utara Didampingi Kejati

Saat Telisik.id menelusuri dan ingin mewawancarai Kepala Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) IV Sulawesi Tenggara, Agus Safari, belum bersedia diwawancarai.

"Maaf, kalau untuk surat yang masuk, kita memang sudah periksa, tapi tidak jelas maksudnya apa. Kadi pimpinan juga nda paham permasalahannya di sana seperti apa," kata Dastin Atira selaku staf piket.

Dia melanjutkan, jika memang di wilayah tersebut bermasalah, seharusnya dari awal pihak pekerja waduk bendungan akan melapor pada pimpinan BWSS.

Dia menambahkan, pelaporan tersebut bukan mengatasnamakan masyarakat melainkan diwakili oleh perseorangan yang juga bukan seorang kepala desa.  (A)

Penulis: Nur Khumairah Sholeha Hasan

Editor: Haerani Hambali

Artikel Terkait
Baca Juga