Pemerintah Berencana Naikkan Lagi Iuran BPJS Kesehatan 2022

Muhammad Israjab, telisik indonesia
Sabtu, 28 November 2020
0 dilihat
Pemerintah Berencana Naikkan Lagi Iuran BPJS Kesehatan 2022
BPJS Kesehatan berencana akan kembali menaikkan iuran pada tahun 2022. Foto: Repro CNBC Indonesia

" Ini akan mempengaruhi besaran iuran JKN dan perlu adanya penyesuaian besaran iuran. "

JAKARTA, TELISIK.ID - Saat ini, pemerintah tengah mengkaji iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Kajian dilakukan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) bersama otoritas terkait.

Kajian ini mengenai penerapan kelas standar untuk peserta BPJS Kesehatan yang ditargetkan bisa diimplementasikan pada 2022 mendatang.

Dengan rencana adanya rawat inap kelas standar ini, maka sistem kelas 1,2 dan 3 yang saat ini berlaku akan dihapuskan. Sehingga kelas standar hanya akan terbagi menjadi dua kriteria yakni, kelas untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan kelas untuk peserta non-PBI.

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pun memberikan sinyal kuat bahwa akan ada perubahan dalam sistem BPJS Kesehatan sehingga iurannya harus dinaikkan.

Terawan menjelaskan, penyesuaian iuran JKN akan didasari kebutuhan dasar kesehatan (KDK) sesuai dengan Perpres 64 Tahun 2020 pasal 54A dan 54B, yang mengamanatkan untuk melakukan peninjauan ulang atas manfaat JKN agar berbasis KDK dan rawat inap kelas standar.

"Ini akan mempengaruhi besaran iuran JKN dan perlu adanya penyesuaian besaran iuran," jelas Terawan saat melakukan rapat bersama Komisi IX DPR. Dilansir CNBC Indonesia, Sabtu (28/11/2020).

Perhitungan iuran itu akan menggunakan metode aktuaria dan mempertimbangkan KDK, kelas standar, inflasi kesehatan, dan perbaikan tata kelola JKN.

Selain itu, besaran iuran yang baru pun akan menyesuaikan manfaat-manfaat yang ditetapkan pemerintah nantinya.

Menurutnya, setidaknya terdapat dua dasar penentuan manfaat JKN berbasis KDK. Pertama, berdasarkan pola penyakit di wilayah Indonesia.

Kedua, berdasarkan siklus hidup dan pelayanan kesehatan yang diperlukan sesuai kelompok usia atau jenis kelamin.

Baca juga: Kominfo Dorong Transformasi Digital Inklusif

Di sisi lain, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Tubagus Achmad Choesni mengatakan, pihaknya telah melakukan forum group discussion (FGD) oleh berbagai rumah sakit, baik rumah sakit publik dan swasta. Mulai dari regional Barat, Tengah, dan Timur.

Hasil FGD dengan antar RS tersebut, hasilnya, 72 persen RS setuju, 16 persen RS tidak setuju, dan 12 persen tidak tahu.

"Yang belum menyetujui, karena agak concern dengan kesiapan infrastruktur dan harus melakukan tahapan secara baik. Sementara yang 12 persen tidak tahu akan diperbaiki dengan konsultasi publik," ujar Choesni.

Sampai saat ini, DJSN memiliki empat opsi skenario pentahapan kelas standar.

Skenario pertama, kelas standar dilakukan di RS Vertikal, RS Pemerintah lainnya dan RS Swasta. Skenario kedua, kelas standar kemungkinan akan dilakukan di RS Pemerintah dan RS Swasta.

Sementara Skenario ketiga, penerapan kelas standar disesuaikan dengan bed occupancy ratio (BOR).

BOR merupakan angka yang menunjukkan persentase penggunaan tempat tidur di unit rawat inap atau bangsal.

"Kabupaten/kota dengan BOR di bawah 40 persen, kabupaten/kota dengan BOR 41 persen sampai 69 persen, serta kabupaten/kota dengan BOR di atas 70 persen," jelas Choesni.

"Skenario keempat dengan melihat kesiapan pemerintah daerah, terkait supply side," kata Choesni melanjutkan.

Berdasarkan pengawasan Dewan BPJS Kesehatan di lapangan, sampai dengan Oktober 2020, fasilitas kesehatan (faskes) belum memahami bagaimana definisi dari kelas standar.

Oleh karena itu, pemerintah diminta untuk melakukan komunikasi, koordinasi dan sosialisasi secara insentif dan transparan khususnya dengan asosiasi rumah sakit dan pemerintah daerah.

Baca juga: Ustadz Abu Bakar Ba'asyir Kini Dirawat di Rumah Sakit

"Informasi yang diperoleh, faskes belum tepat dan jelas mengenai rencana implementasi KDK dan kelas standar. Faskes membutuhkan persiapan, dan seperti apa kriterianya," jelasnya.

"Melakukan sosialisasi intensif kepada faskes terkait rencana penerapan KDK dan kelas standar agar tidak berdampak pada risiko reputasi bagi BPJS Kesehatan," kata Chairul melanjutkan.

Menurut Chairul, batas waktu peninjauan manfaat perlu disepakati seluruh stakeholder organisasi profesi dan asosiasi faskes.

Juga mesti jelas seperti apa definisi, kriteria, dan ruang lingkup KDK dan kelas standar, khususnya dengan organisasi profesi dan asosiasi rumah sakit.

Anggota DJSN Muttaqien menjelaskan, jika mengenai besaran iuran, sampai saat ini pihaknya masih membuat beberapa simulasi dan menarik data yang ada di BPJS Kesehatan. Diakuinya, penetapan iuran ini akan dilakukan dengan sangat hati-hati.

"Agar memperkuat ekosistem JKN untuk keberlanjutan dan peningkatan kualitas JKN. Juga masih menunggu keputusan final dari kebijakan manfaat terkait Kebutuhan Dasar Kesehatan, yang juga akan memiliki pengaruh kepada besaran iuran nanti," kata Muttaqien kepada CNBC Indonesia, dikutip Sabtu (28/11/2020).

Sebelumnya, Saleh Partaonan Daulay, anggota Komisi IX DPR pernah mengusulkan agar besaran iuran BPJS Kesehatan, jika kelas standar diterapkan dengan nilai Rp 75.000. Karena berhitung berdasarkan aktuaria kelas 3 dan kelas 2.

"Secara umum, mungkin bisa dibayangkan itu kelas standar antara kelas 3 dan kelas 2. Di atas kelas 3, tapi tidak sampai kelas 2," terang Saleh.

Untuk diketahui, penerapan kelas standar merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004, tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Yang seharusnya kelas standar sudah bisa diterapkan 2004 silam. Namun, proses penyusunan kriteria baru berlangsung sejak 2018 lalu.

Kelas standar untuk peserta BPJS Kesehatan artinya, semua fasilitas dan layanan kesehatan akan disamaratakan, tidak ada sistem kelas 1, 2, dan 3, yang selama ini berjalan. (C)

Reporter: Muhammad Israjab

Editor: Haerani Hambali

TAG:
Baca Juga