Pesan Foto Wisuda ala Kaleng Khong Guan
Haidir Muhari, telisik indonesia
Selasa, 30 Juni 2020
0 dilihat
Foto Wisuda La Ode Fitra Erizal. Foto: Ist.
" Tapi mungkin karena ini kenapa (saya) tetap maju; saya memang orang yang tidak bisa berjalan mundur, yang saya bisa berjalan itu hanya maju saja. Berjalan ke samping apalagi, ndak bisa saya Bang. "
KENDARI, TELISIK.ID - "La Ode Fitra Erizal Mahasiswa Administrasi Pendidikan Konsentrasi Teknologi Informasi dan Komunikasi dengan IPK 3,63 Predikat Kelulusan Pujian," ucap pembawa acara wisuda, di hotel termegah di Kota Kendari, 9 April 2018.
Dalam pada itu ia terkenang pesan bapaknya. Bapak adalah tongkat tekad dalam kehidupannya, namun tak bisa membersamainya. Bapaknya telah lebih dulu manut panggilan Ilahi, sejak Fitrah menjalani semester dua di Universitas Muhammadiyah (UM) Kendari. Dalam keterbatasan fisiknya, ayahlah yang jadi penopang untuk melanjutkan studi.
"Apapun yang dikatakan mamamu, kalau ko ingin sekolah, pergilah! Saya akan tanggung semua kebutuhan-kebutuhanmu. Jika saya harus menjual rumah ini untuk membiayai kuliahmu, akan saya lakukan," kenangnya, mengingat pesan bapaknya beberapa tahun silam.
Usai penamatan Madrasah Aliyah, Ia mengutarakan niatnya untuk melanjutkan studi, menjadi mahasiswa, seperti orang kebanyakan. Ibunya tidak memberikan izin karena pertimbangan kondisi fisik Fitra yang terbatas. Tahulah Ibu, manusia yang dipenuhi cinta. Ia seperti bumi, yang menghampar cinta, menjaga sepenuh hayat, menumbuhkan kemurnian sepenuh hati.
Bapak kandungnya meninggal sejak usia Fitra dua bulan. Belum jua Ia bisa merangkak, bapak telah lebih dulu paripurna dalam keharibaan Ilahi. Ibunya lalu menikah lagi. Bapak tirinya inilah yang menjadi tongkat tekad menghadapi cemooh, dan pandang sinis dunia. Recik di masa lalu itu mungkin yang menjadikan ia pemalu.
"Saya sering gak pede dilihatin banyak orang," tulisnya melalui pesan WhatsApp (23/6/2020).
Gembira, haru, dan syukur terpancar megah di setiap wajah-wajah di dalam aula pinisi hotel bag pemata hijau itu. Seperti telah dimafhumi, wisuda adalah momen yang paling berarti bukan hanya bagi mahasiswa, tetapi juga orang tua dan keluarga yang turut menyaksikan.
Segala kecapaian, debar penantian, terbayar dengan capaian gelar sarjana. Wisuda memang sepele, acara intinya hanyalah pemindah tali toga, tapi seremonialnya sangat dinantikan.
Orang akan mengenakan pakaian terbaik, para ayah mengenakan setelah jas dengan memakai sepatu kulit, dilengkapi songkok baru yang menggantikan mahkota raja-raja zaman dulu, atau kain batik berlengan panjang yang juga tak kalah istimewanya.
Baca juga: Ani, Selempangmu Menegur Kami
Kaum Ibu bisa lebih berwarna-warni lagi. Setelah kebaya dengan bawahan kain sarung, ditopang sepatu berhak bak bertabur mutiara, atau juga dengan bawahan sarung adat, tidak lupa lipstik dan bedak. Tidak hanya orang tua, semua keluarga yang hadir mengenakan sebaik-baik pakaian. Wisuda adalah momentum paling istimewa dan dinantikan. Hari raya bagi orang tua mahasiswa. Riuh dan bising.
Dalam riuh dan bising itu, pasang mata stay on menyaksikan mereka yang nama-namanya dipanggil. Dalam liput gembira bak hari raya, suara pewara bag petik yang memantik senar-senar debar di dada setiap orang. Dalam debar menanti giliran untuk ke depan.
Fitra memang tak seperti orang kebanyakan. Kerap berkawan dengan tongkat untuk menyangga langkahnya. Menjalari punggung bumi, setapak demi setapak. Celananya kerap terkoyak di bagian lutut ke bawah karena bergesekan dengan tanah, ubin, aspal, dan apa saja di permukaan bumi.
Ia maju ke depan memenuhi panggilan pewara, tongkat itu masih menopang langkahnya. Sesaat ia menjadi sorot mata banyak orang, beberapa mulut terkatup menyaksikannnya. Beragam raut ekspresi nampak.
Pembaca yang budiman, saya sedikit terkendala untuk menggambarkan suasana itu. Ada kegagapan untuk menjabarkan peristiwa itu. Ada haru, ada inspirasi, ada sedih, ada introspeksi.
Terlebih jika kita lebih jauh melihat tapak-tapak yang dilaluinya. Lahir dalam keterbatasan bukanlah pilihan. Dua bulan setelah ia menghirup udara bumi, bapaknya meninggal. Bukanlah sesuatu yang mudah menghadapi kehidupan dalam kondisi seperti itu. Manusia di bumi tak semuanya mengerti hakikat hidup, sinis, kejahilan, cemooh tanpa belas kasih, kerap harus ditelannya tanpa bisa membalas.
Dalam keterbatasan itu ia tak pernah surut. Tekadnya telah terlatih dengan gempur ombak besar yang berjejal dalam perjalanan dari Tampara, Pulau Kaledupa, Wakatobi menuju Kendari.
Kelulusannya di UM Kendari seakan menjadi bukti ketangguhannya. Selama empat tahun lebih menjalani kuliah, seperti mahasiswa umumnya.
Baca juga: Corona Merampas Impian Gadis itu ke Negeri Sakura
Menanjaki puluhan anak tangga di kampus akhlakul karimah itu, untuk mengurus administrasi perkuliahan di lantai tiga. Tidak hanya sekali atau dua kali, tapi berpuluh-puluh kali.
Selama kuliah ia tiga kali pindah indekos, di Lorong 555, kemudian Lorong Cendana, dan terakhir di Pondok Ceria. Jaraknya ke kampus sekitar 500 meter. Ia sudah terbiasa menjalari permukaan bumi menuju kampus, kadang juga nebeng di motor teman.
Tak hanya itu, ia juga kerap mondar-mandir menjalari kulit bumi untuk menunai sayup seru muazin di Masjid Mawadatullah Muhammadiyah. Dalam keterbatasan seperti itu, ia masih kukuh mendirikan salat lima waktu. Ia menginsyafi Tuhan tak pernah bermain-main dengan ciptaan-Nya, Tuhan Maha Titi saat membentang titian takdir kepada seluruh makhluk-Nya.
"Tapi mungkin karena ini kenapa (saya) tetap maju; saya memang orang yang tidak bisa berjalan mundur, yang saya bisa berjalan itu hanya maju saja. Berjalan ke samping apalagi, ndak bisa saya Bang", tulisnya melalui pesan WhtasApp. Saya membayangkan senyumnya yang merekah dan gaung suara tawanya.
Wisuda dalam liput gembira itu, tak luput doa ia langitkan untuk Bapaknya. Saat saya tanya jika wisuda itu Bapak membersamainya, hanya ada kalimat singkat untuk itu.
"Kalau dipikir-pikir itu pasti akan jadi wisuda paling indah," ungkapnya.
"Dimana tempat berfoto, kita harus berfoto untuk dijadikan pajangan di ruang tamu," kenangnya. Kalimat itulah yang mampu terucap seusai wisuda dari lisan Ibunya.
Dalam kalimat itu ada haru yang terpendam, spirit bahagia, dan keyakinan yang teguh. Tentang keyakinan yang kukuh, tak sedikitpun keraguan. Ada pesan untuk masa depan.
"Apalagi saya sudah seperti sekarang, beliau belum sempat melihat keberhasilanku. Sampai sekarang, kalau ditanya siapa bapakku, saya pasti jawabnya dia", tutup Fitra. Kini ia telah diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Wakatobi.
Biarlah foto di ruang tamu menitip pesan kepada setiap yang datang. Biarlah sejarah mengukir dengan teguh bahwa setiap anak yang dilahirkan dari rahim seorang Ibu adalah pejuang. Walau foto itu seperti gambar kaleng Khong Guan.
Reporter: Haidir Muhari
Editor: Haerani Hambali