Pilkada Usai, Potensi Jokowi Tiga Periode bersama Prabowo Menguat
Rahmat Tunny, telisik indonesia
Kamis, 17 Desember 2020
0 dilihat
Direktur Eksekutif Indo Barometer, M. Qodari. Foto: Ist.
" Khususnya oleh partai-partai menengah dan kecil, tapi menurut saya partai-partai besar seperti PDIP, kemudian Gerindra dan Golkar ada kemungkinan menolak. "
JAKARTA, TELISIK.ID - Direktur Eksekutif Indo Barometer, M. Qodari menyampaikan pandanganya terkait dinamika politik pada tahun 2021 setelah rampungnya gelaran Pilkada serentak 2020, yang berlangsung di 270 daerah di Indonesia pada 9 Desember lalu.
Menurut Qodari, kondisi akan aman karena tidak ada peristiwa politik besar seperti Pilkada Serentak 2020. Hal tersebut merujuk Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota pada tahun 2021, 2022 dan 2023 nanti, tidak akan ada pemilihan kepala daerah.
Pilkada serentak total baru dilaksanakan November 2024 usai Pemilu April tahun yang sama.
“Jadi tidak ada pilkada pada tahun 2022 dan 2023 jika melihat peraturan yang ada di UU nomor 10 tahun 2016. Artinya, tidak ada Pilkada Gubernur di daerah strategis seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur,” kata Qodari dalam webinar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Kamis, (17/12/2020).
Hanya saja, lanjut Qodari, kemungkinan di tahun 2021 akan ada pembahasan mengenai revisi UU Pilkada dan Pemilu oleh DPR. Dimana isu yang akan dibahas di antaranya terkait kemungkinan akan diadakan lagi Pilkada tahun 2022 dan 2023.
“Khususnya oleh partai-partai menengah dan kecil, tapi menurut saya partai-partai besar seperti PDIP, kemudian Gerindra dan Golkar ada kemungkinan menolak,” ungkapnya.
Penolakan tiga partai tersebut, kata Qodari, dengan syarat mereka sudah mempunyai rencana atau kesepakatan mengenai ‘design’ politik pada Pilpres 2024 yang akan datang.
Baca juga: Temukan Pelanggaran di Pilwali Surabaya, MaJu Ajukan Gugatan Ke MK
“Design politiknya seperti apa, ada beberapa kemungkinan termasuk kemungkinan-kemungkinan yang ‘extreme’ atau luar biasa,” jelasnya.
Qodari menerangkan, kemungkinan yang luar biasa itu setidaknya ada dua, pertama, kemungkinan Joko Widodo maju Presiden untuk ketiga kalinya, tetapi kali ini dengan Prabowo Subianto sebagai Wakil Presidennya. Tentu saja hal ini memerlukan amandemen UU Dasar 1945,” bebernya.
Kedua, lanjut Qodari, Prabowo maju sebagai calon Presiden dengan wakilnya berasal dari PDI Perjuangan.
“Kemungkinan skenario pertama bisa saja terjadi untuk menciptakan stabilitas politik sekaligus menghindari pemilu yang mengerikan, seperti pada Pilpres sebelum-sebelumnya yang melahirkan dikotomi Cebong dan Kampret,” terangnya.
Lebih lanjut, Qodari menilai sosok Jokowi dan Prabowo merupakan representasi atau simbol dari pengelompokan di masyarakat Indonesia, sedemikian hingga pada momentum Pilpres 2019 terlahir istilah ‘cebong’ dan ‘kampret’ yang bertahan sampai saat ini.
Jika keduanya bergabung maka tidak ada lagi dikotomi ‘cebong’ dan ‘kampret’ pada pemilu yang akan datang.
“Makanya kemungkinan semacam itu bisa saja terjadi, yaitu demi menjaga stabilitas dan menghindari Pemilu Presiden yang mengerikan dimana terjadi pembelahan seperti halnya cebong dan kampret di Pilpres 2019 lalu,” tutup sarjana psikologi UI dan master ilmu pemerintahan Essex University, Inggris itu. (C)
Reporter: Rahmat Tunny
Editor: Fitrah Nugraha