Soal Proyek Mati Kontrak di Buton Selatan, Aparat Penegak Hukum Diminta Turun Tangan

Deni Djohan, telisik indonesia
Minggu, 17 Juli 2022
0 dilihat
Soal Proyek Mati Kontrak di Buton Selatan, Aparat Penegak Hukum Diminta Turun Tangan
Salah satu paket proyek di Kelurahan Lakambau, Kecamatan Batauga, yang tidak memiliki papan proyek. Diduga kuat, pekerjaan ini adalah satu dari sembilan paket Water Front. Foto: Dheny/Telisik

" Wakil Ketua satu DPRD Buton Selatan (Busel), Aliadi, angkat bicara terkait sejumlah proyek yang telah mati kontrak "

BUTON SELATAN, TELISIK.ID - Wakil Ketua satu DPRD Buton Selatan (Busel), Aliadi, angkat bicara terkait sejumlah proyek yang telah mati kontrak. Menurutnya, Aparat Penegak Hukum (APH) harus turun tangan.

"Apapun persoalan yang tidak sesuai prosedur, seharusnya diproses. Artinya, kalau memang proyek di Busel ini ada kesalahan baik itu dalam proses lelang, perencanaan dan lain sebagainya yang tidak sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa, itu harus diproses. Aparat Penegak Hukum (APH) harus turun tangan," beber Aliadi kepada Telisik.id, Jumat (15/7/2022).

Kata dia, rencana dewan melakukan pemanggilan terhadap pihak terkait tidak mungkin tidak dilakukan apabila kasus ini telah terkuak. Bila perlu, dewan bakal mengagendakan rapat kerja bersama OPD terkait.

"Kita akan pertanyakan sejauh mana kasus ini. Kan harus ada alasan kenapa bisa ada keterlambatan kerja," tambahnya.

Ketua PPD Hanura Busel ini menilai, sebelum pembebasan lahan clear, seharusnya pemda tidak boleh merencanakan pembangunan di lahan tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya hambatan pembangunan daerah.

"Kalau kita lihat sepintas, harusnya tidak ada masalah. Sebab paket proyek sudah ditender. Tapi kalau lahannya bermasalah kemudian tetap dipaksakan pembangunan di atas lahan tersebut, itu mubazir dan kasus ini bagian dari temuan," katanya.

Lebih jauh dikatakan, kendati hal ini bukan bagian dari potret buruknya kinerja birokrasi, namun dapat dipastikan fenomena ini tidak terlepas dari carut marut birokrasi yang hanya dalam kurun waktu seminggu sudah dilakukan perombakan.  

Baca Juga: Banyak Paket Proyek di Buton Selatan Sudah Mati Kontrak

"Harapan saya, pemda harus jeli melihat setiap persoalan di daerah. Dan semua dilakukan sesuai dengan aturan. Artinya harus transparan. Bila perlu, libatkan penegak hukum dalam prosesnya," harapnya.

Sebelumnya, penasehat Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Penyambung Lidah Rakyat (Gempur), La Rizalan menyoroti sejumlah paket proyek yang waktu kerjanya telah habis alias mati kontrak. Celakanya, belum ada progres kegiatan terhadap proyek tersebut.

Misalnya paket proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), Dinas Lingkungan Hidup (DLH) serta Dinas Perumahan dan Pemukiman.

Untuk Dinas PUPR, kata dia, seluruh proyek Water Front yang dipusatkan di Kecamatan Batauga dan dipecah menjadi sembilan paket, diduga kuat telah mati kontrak.

Hal serupa juga terjadi di Dinas Lingkungan Hidup. Proyek dudukan patung anggota kepolisian yang gugur dalam peristiwa ledakan bom di Lawela puluhan tahun lalu juga sama sekali belum dikerjakan. Padahal antara rekanan dan pemda melalui Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) telah berkontrak beberapa bulan lalu. Patung-patung itu kini hanya disimpan di kantor DLH tanpa tujuan dan manfaat yang jelas.

"Sebenarnya kami sudah jenuh dengan polemik di Busel ini. Banyak sekali deretan kasus yang sudah memiliki cukup bukti. Namun lagi-lagi tidak memiliki kepastian hukum. Sebut saja tambahan penghasilan pegawai (TPP) atau honor tambahan penghasilan (Tamsil) yang tidak terbayarkan. Kurang bukti apa lagi kasus ini?," ungkapnya.

Kemudian, tambahnya, kasus dermaga tak bertuan yang hingga kini tidak jelas. Kalau tidak diketahui siapa pemiliknya, dermaga itu harus disegel. Lalu Amdal dan pembebasan lahan RSUD Busel.

"Semua itu pelanggaran kasat mata. Tapi sampai hari ini tidak ada kepastian hukum," tuturnya.

Selain itu, masih banyak kasus yang hingga kini tidak memiliki kepastian hukum. Padahal dugaan kerugian daerah dalam kasus tersebut sangat fantastis nilainya.

"Tapi seperti saya katakan sebelumnya, kami ini bukan penegak hukum," katanya.

Menanggapi hal itu, PPK sembilan paket Water Front yang juga pejabat PUPR Busel, Dani Darwis mengakui adanya keterlambatan pengerjaan sejumlah paket tersebut. Kata dia, matinya kontrak itu disebabkan pembebasan lahan yang bermasalah.

"Iya karena semua terkendala di masalah lahan," kata Dani Darwis melalui pesan WhatsApp-nya.

Ketika ditanya, bagaimana dengan proses perencanaan yang terkesan tidak mempertimbangkan soal lahan, pria yang akrab disapa Obet ini mengaku, permasalahan selalu datang saat pelaksanaan.

"Dalam perencanaan tidak ada masalah. Tapi ya begitumi di Busel saat pekerjaan akan dimulai, selalu saja ada yang komplain tentang lahan. Begitu yang selalu saya dapatkan tapi tahun ini sangat ekstrem untuk kita lakukan mediasi," bebernya.

"Kalau yang di Lawela itu ada beberapa oknum desa yg komplain," tambahnya.

Celakanya, proyek Water Front yang dipecah menjadi sembilan paket ini tak semua dikerjakan di darat. Sebagian di tempatkan di laut. Misalnya di Kelurahan Lakambau, Kecamatan Batauga. Disitu, tak ada hak masyarakat untuk komplain.

Baca Juga: Korban Pembantaian KKB Papua 12 Orang, 3 dari NTT

"Kalau di laut itu yang komplain para petani rumput laut," tambahnya.

Terhadap sejumlah paket yang telah mati kontrak karena lahan tersebut, kata dia, pihaknya akan melakukan addendum atau penambahan waktu kerja.

Senada dengan Kadis Lingkungan Hidup Busel, La Singepu. Kadis yang merangkap PPK ini juga mengakui bila keterlambatan pelaksanaan proyek dudukan patung itu terjadi karena polemik lahan yang belum dibebaskan.

Terhadap kelanjutan waktu kerja, kata dia, pihaknya akan memberikan addendum kepada kontraktor pelaksana.

"Kita akan addendum," pungkasnya. (A)

Reporter: Deni Djohan

Editor: Haerani Hambali

Baca Juga