Suara Pemilih Pemula di Pemilu 2024, Sebagai Token Politisi atau Benar-Benar Didengar Aspirasinya

Ayu Safitri, telisik indonesia
Senin, 12 Februari 2024
0 dilihat
Suara Pemilih Pemula di Pemilu 2024, Sebagai Token Politisi atau Benar-Benar Didengar Aspirasinya
Pemilih pemula putus sekolah kerap menjadi token politisi dalam perhelatan demokrasi pemilu. Foto: Ayu Safitri/Telisik

" Pemilih pemula memegang peranan penting di Pemilu 2024. Namun mereka masih dipandang sebagai ‘token’ oleh politisi. Meskipun tidak sedikit yang sudah mulai berani menyuarakan aspirasi lewat media sosial "

KENDARI, TELISIK.ID - Pemilih pemula memegang peranan yang krusial dalam Pemilu 2024. Bagaimana tidak, mereka masih dipandang sebagai ‘token’ oleh politisi. Meskipun tidak sedikit pemuda yang sudah mulai berani menyuarakan aspirasi mereka lewat media sosial.

Menjelang pemilu, tagar-tagar politik di media sosial selalu menjadi trending topik. Mau tak mau, pemilih pemula minimal mengetahui tentang informasi perpolitikan yang sedang hangat. Tujuannya agar anak muda tidak lagi apatis dan mulai peduli dengan nasib negaranya, dengan mencoba beradaptasi mengulik literasi politik lewat dunia digital.

Akan tetapi, dunia digital itu bisa jadi tidak mudah, terlebih bagi pemilih pemula putus sekolah minim literasi dan minim pendidikan politik. Belajar literasi politik di ranah digital harus benar-benar cerdas dan selektif.

Oleh karena itu, tidak sedikit pemilih pemula putus sekolah tidak bisa menyalurkan suaranya secara independen, layaknya pemilih yang sudah dewasa yang mampu menimbang dengan baik keputusan politiknya.  

Dani merupakan salah satu yang termasuk pemilih pemula atau Gen Z. Ia tampak bersemangat saat ditanya mengenai nama masing-masing kandidat presiden dan wakil presiden. Bagaimana tidak, bagi Dani, media sosial menjadi andalannya untuk mendapatkan informasi terkini mengenai pemilihan umum (pemilu) pada 14 Februari. Pada pemilu kali ini ia perdana menyalurkan hak pilihnya.

“Kalau untuk info (pemilu) saya sering lewat sosial media. Bisa TikTok, bisa Instagram. Tapi lebih sering lihat di TikTok soalnya teman-teman banyak yang dapat informasi lewat situ,” tutur remaja berusia 20 tahun itu.

Baca Juga: Jangan Lakukan Ini di Masa Tenang Pemilu 2024, Bisa Kena Pidana

Meskipun begitu, masuk dalam kategori usia wajib pilih saja belum cukup. Mereka harus memenuhi syarat lainnya sebagai calon pemilih agar dapat ikut menyalurkan suara. Apalagi banyak pemilih pemula putus sekolah belum pernah mendapatkan informasi mengenai tahapan pemilu, karena tidak tersentuh sosialisasi. Bahkan tanggal pasti pemilu, lokasi hingga tata cara memilih pun mereka tak tahu. Mereka  berharap ada orang lain yang dapat menuntun mereka saat pemilihan nanti.

Dani mengaku hingga saat ini, selain belum mendapatkan informasi yang lengkap, mereka juga belum bisa menentukan sosok yang akan mereka pilih menjadi pemimpin kelak. Dani merasa tak ada caleg yang peduli dengan keberadaan mereka.

“Saya merasa tidak ada yang memperhatikan nasib kami,” ujarnya.

Dani adalah remaja putus sekolah yang berasal dari keluarga pra-sejahtera. Mereka juga merupakan bagian dari buruh pengepul sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Puuwatu.

Dani mengungkapkan, setiap pemilu, ia merasa ada pola yang terus berulang, dimana identitasnya sebagai kelompok marginal sering dimanfaatkan oleh para caleg untuk mendongkrak jumlah suara.

“Kaum marginal seperti kami sering digunakan sebagai alat politik. Bagi-bagi Bansos tiap jelang pemilu tak sekadar memberikan bantuan semata, melainkan upaya caleg mengikat warganya dalam ikatan pamrih politik. Kalau dibilang, sebenarnya tidak ada caleg yang peduli dengan keberadaan kami, makanya kalau ditanya soal caleg mana yang mau dipilih ya, saya jawab saja yang paling banyak uangnya itu yang nanti kita pilih,” tuturnya.

Dani mengatakan, kebanyakan dari teman-teman seumurannya juga berharap suara mereka didengar dan isu-isu yang mereka perjuangkan menjadi prioritas para calon pemimpin terpilih nantinya.

“Ya pada akhirnya, meskipun tidak diperhatikan, pilihan terakhir kita pilih saja caleg yang sering kasih bantuan, yang kita lihat di media sosial, atau caleg yang sudah pernah datang kasi bantuan untuk masyarakat di sini, itu yang kita pilih. Meskipun sebenarnya karena kami juga bagian dari negara ini, kami berhak untuk didengar dan diperhatikan,” keluhnya.

Berbeda dengan Dani, bagi Jumadil (22), pemilu selalu menjadi masa meresahkan dan masa para caleg mengumbar janji-janji manisnya.

Bukan tanpa alasan, laki-laki yang berprofesi sebagai tukang pikul asal Muna Barat ini, pernah punya pengalaman yang tidak mengenakkan dan terus menjadi trauma yang melekat hingga saat ini karena money politics yang dilakukan oleh caleg demi mendongkrak suara.

Rumah tempat tinggal Jumadil bersama orang tuanya didatangi oleh seseorang yang diketahui juga merupakan warga satu kampungnya tersebut. Orang itu meminta untuk memilih salah satu caleg yang direkomendasikan dengan iming-iming sejumlah uang.

“Saat itu, saya dan orang tua saya didatangi (malam hari) oleh seseorang yang saya kenal. Mungkin tim suksesnya dengan tujuan mengarahkan kami untuk memilih salah satu caleg yang mereka dukung. Ia menyodorkan selembar kertas berisi surat pernyataan bermaterai agar saya dan anggota keluarga saya setuju kemudian tanda tangani,” katanya saat ditemui di tempat kerjanya di Mandonga, Selasa (16/1/2024) lalu.

Kejadian tersebut sontak mengagetkan Jumadil. Pasalnya di tengah himpitan ekonomi keluarganya, mendapatkan uang secara cuma-cuma adalah hal yang langka. Terlebih uang itu bisa didapat hanya dengan menyumbangkan suaranya.

“Saya berumur 17 tahun saat itu, sangat naif hingga tanpa berpikir panjang saya setuju begitu juga orang tua saya. Dengan uang yang tergolong besar bagi kami sekitar Rp 1.000.000/1 suara. Namun, saat itu saya kaget karena begitu caleg tersebut tidak lolos, ia lantas meminta kembali materi yang sudah disepakati,” katanya.

“Saat itu saya hanya bisa pasrah, bingung harus mengadu kemana. Saya juga sempat takut jika mengadukan hal tersebut kepada pihak yang berwenang akan terkena imbas nantinya,” keluhnya.

Oleh karena itu, saat menghadapi pemilu seperti saat ini, Jumadil lebih memilih untuk pergi/tidak menetap di desanya, karena takut menghadapi tuntutan dan tekanan yang mungkin saja terulang kembali.

“Kalau saya pribadi mending pergi atau tidak memilih sama sekali (golput) karena sering kacau kalau pemilihan. Kemudian siapapun caleg yang naik, hidup saya dan keluarga saya tetap seperti ini saja (susah),” kata dia.

Sampai saat ini Jumadil belum menentukan paslon yang ia minati terlebih caleg daerah. Menurutnya, belum ada caleg yang menyuarakan visi misinya yang dapat berpihak kepada masyarakat kecil terlebih untuk anak muda seperti dirinya.

“Sejauh ini belum ada yang datang kampanye atau sosialisasikan visi misinya, apalagi yang datang melihat kami masyarakat kecil. Saya akan lihat caleg jika ada yang peduli dengan isu yang menjadi perhatiannya itu yang akan dipilih, kalau tidak ada berarti golput saja,” tutupnya.

Sementara itu, Pengamat Politik Universitas Muhammadiyah Kendari (UMK), Andi Awaluddin Ma’ruf mengatakan, berdasarkan data KPU pada pemilu lalu hingga sekarang, pemilih pemula atau Gen Z berjumlah sekitar 40 persen dari total keseluruhan jumlah suara. Namun, jika dilihat bagaimana kategorisasi jumlah pemilih pemula pada level angka putus sekolah (APS) sebenarnya ini adalah kelompok-kelompok yang rawan dalam kategori pemilih.

Berdasarkan riset yang sudah dilakukan dalam sebuah karya ilmiah, bahwa semua informan anak-anak putus sekolah ini mereka pernah mendapatkan imbalan berupa uang dan barang saat pemilu. Mereka menganggap bahwa kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung dan rugi (Devi Maharani, 2019), sehingga ini yang harus menjadi perhatian khusus.

Terlebih mereka yang putus sekolah biasanya mereka adalah kelompok marginal yang kondisi ekonominya pra-sejahtera. Itulah mengapa, besar kemungkinan kelompok inilah yang menjadi sasaran para caleg melakukan politik uang atau serangan fajar.

Ia juga mengungkapkan bahwa partai politik cenderung masih memandang suara pemilih pemula sebagai sesuatu yang harus direbut, dan bukan sebagai kelompok yang memiliki kepentingan. Mereka merasa tidak memiliki kekuatan mempengaruhi keputusan politik dengan meyakinkan pejabat publik agar bertindak sesuai kelompoknya. Kelompok kepentingan berasal dari status keanggotaan serta sumber daya manusia maupun dana dan jaringan yang dimiliki, sementara mereka merasa tidak memiliki itu.

“Masalahnya, masih ada (anak muda) yang menganggap politik bukan bagian dari mereka dan juga politik itu identik dengan hal yang kotor,” kata Andi.

Dilansir dari BBC news, persentase pemilih muda pada pemilu berdasarkan data KPU RI meningkat khususnya jenjang usia 17-21 tahun. Pada tahun 2019 berjumlah 54,5 persen dan pada tahun 2024 berjumlah 56,45 persen.

Menurut pengamat politik UM Kendari, Andi Awaluddin Ma’ruf, ada sejumlah masalah yang dihadapi generasi muda di Indonesia, antara lain terkait pendidikan, kesehatan dan lapangan pekerjaan.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, rata-rata pemuda Indonesia hanya mampu bersekolah selama 10,75 tahun. Artinya, kebanyakan dari mereka terpaksa putus sekolah ketika duduk di bangku kelas 2 SMA. Andi juga mengatakan banyak pemuda masih belum sejahtera secara sosial ekonomi.

Artinya berdasarkan data tersebut, pemilih pemula putus sekolah akan cenderung tidak peduli dan labil terhadap dunia politik karena minimnya pendidikan politik atau sosialisasi yang didapatkannya. Sehingga menyebabkan kesadaran dalam berpolitik kurang yang berdampak pada partisipasi, meskipun berada di era digital seperti saat ini.

Menurut Andi, gagasan dari ketiga bakal capres dan caleg masih terkesan generalis, dan belum membahas secara spesifik masalah-masalah yang dihadapi pemuda. Masih sekadar jargon politik. Sehingga, pemilih pun menjadi bingung ketika memilih calon berdasarkan program kerja yang mereka tawarkan.

Oleh karena itu, Andi berharap dalam Pemilu 2024 ini, politisi tidak hanya memandang kaum muda sebagai kelompok pemilih jangka pendek, melainkan sebagai komunitas yang harus diprioritaskan dalam merencanakan masa depan bangsa.

“Kami berharap pemerintah cukup menyelenggarakan pemerintahan yang baik dan bersih, tidak melakukan intervensi terhadap penyelenggara pemilu, masyarakat level bawah dan tetap pada koridor sebagaimana fungsi menjalankan pemerintahan. Untuk sementara ini kita berikan kepercayaan kepada KPU, Bawaslu maupun lembaga-lembaga penyelenggara pemilu agar menjalankan integritasnya secara bertanggung jawab, sehingga hasil pemilu ini lebih dipercaya oleh masyarakat,” kata Andi.

Sementara itu, Ketua KPU Kota Kendari, Jumwal Saleh mengungkapkan, terkait pemilih pemula, pihaknya sejak 2020 sudah melakukan sosialisasi. Beberapa di antaranya yaitu, sosialisasi di tiap-tiap sekolah, sosialisasi lewat media dan pemasangan spanduk-spanduk di beberapa titik wilayah kota, karena hal ini bukan saja menjadi tanggung jawab KPU tapi juga partai politik.

Sedangkan untuk sosialisasi terhadap pemilih pemula khususnya anak-anak putus sekolah, tidak semua bentuk sosialisasi tersentuh. Hal tersebut diketahui karena keterbatasan anggaran dan keterbatasan waktu.

“Bagi kami di KPU ada 8 segmen dalam penentuan sosialisasi pemilu. Jadi untuk pemilih pemula anak-anak putus sekolah itu masuk dalam kelompok marginal. Misalnya di TPA, tukang becak, pedagang-pedagang, di daerah pesisir seperti masyarakat nelayan itu kemarin juga kami lakukan sosialisasi,” jelasnya.

Diketahui, 8 segmen yang dimaksud tersebut adalah pemilih pemula, pemilih perempuan, pemilih marginal, pemilih keagamaan, pemilih disabilitas termasuk di dalamnya adalah basis netizen.

Sedangkan untuk kendala yang dihadapi KPU khususnya mereka yang tingkat literasinya kurang untuk mendorong partisipasi mereka pada pemilu saat ini, menurut Jumwal, yaitu menyadarkan mereka bahwa mereka punya hak konstitusional untuk memilih. Selain itu memodali literasi mereka terkait bagaimana tata cara menggunakan hak pilihnya. Untuk menjamin itu, diperlukan keterlibatan semua pihak seperti partai politik (parpol) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

“Untuk partai politik, tentu salah satu fungsi parpol adalah sebagai lembaga pendidikan politik. Harusnya parpol menggunakan fungsi itu (pendidikan politik) untuk masyarakat selain sebagai rekrutmen politik. Jadi kami harapkan semua stakeholder dapat terlibat, karena KPU sendiri punya keterbatasan,”  tutup dia.

Komisioner Sosialisasi Pendidikan Pemilih Partisipasi Masyarakat dan SDM KPU Kota Kendari, La Ode Arwahi, mengatakan bahwa tidak ada perlakuan khusus terkait pemilih pemula putus sekolah. Hal itu karena sosialisasi yang mereka lakukan khususnya segmen kaum marginal sudah meliputi mereka pemilih pemula dan anak-anak putus sekolah.

“Kami berharap jika memang sosialisasi yang dilakukan oleh KPU tidak dapat menjangkau mereka, pemilih pemula putus sekolah tidak melek politik di era perkembangan teknologi yang semakin pesat. Kemudian yang menjadi peran utama adalah keluarga dan lingkungan di sekitarnya,” kata dia.

Sementara itu, Andi Mansur, ketua DPD Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Kota Kendari, mengungkapkan bahwa pihaknya telah aktif melakukan pendidikan politik kepada masyarakat, dimana anak-anak pemilih pemula putus sekolah juga ikut menjadi bagian di dalamnya.

Pendidikan politik tersebut dilakukan guna membuka pengetahuan khususnya pemilih pemula putus sekolah agar menggunakan hak pilihnya sesuai hati nuraninya, dan mampu menjadi partisipan yang cerdas dengan pilihannya. Apalagi pemilu mendatang, suara anak mudalah yang turut menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin bangsa ke depannya.

Andi mengungkapkan, pendidikan politik sudah dilakukan pihaknya sejak lama. Salah satunya adalah pendekatan terhadap sekolah tertinggal yang melibatkan beberapa perwakilan dari berbagai lapisan masyarakat yang tersebar di beberapa wilayah di Kota Kendari. Partisipan di dalamnya termasuk pemilih pemula putus sekolah. Sekolah tertinggal itulah yang merangkul anak muda putus sekolah untuk mendapatkan pendidikan politik terlebih menjelang pemilu seperti saat ini.

Selain itu, ia juga melibatkan komunitas, lembaga masyarakat hingga influencer untuk menepis isu hoaks yang banyak beredar di media sosial dan di kalangan masyarakat saat ini.

“Harapan kami, dengan adanya langkah tersebut, anak muda dapat menyaring setiap informasi yang mereka terima. Jangan mudah dimanfaatkan dan termakan berita-berita politik yang sifatnya punya kepentingan apalagi berita hoaks. Manfaatkan pendidikan politik yang didapatkan baik dari keluarga dan lingkungan. Besar harapan kami, campur tangan semua pihak dapat meningkatkan antusiasme anak muda khususnya pemilih pemula putus sekolah,” pungkas dia.

Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum Kota Kendari (Bawaslu), Sahinuddin, mengungkapkan bahwa terkait money politics, pihaknya berupaya sedini mungkin berusaha melakukan pencegahan-pencegahan baik melakukan sosialisasi kepada masyarakat maupun kepada peserta pemilu itu sendiri.

Jelang pemilu, Bawaslu sudah intens melakukan patroli pengawasan. Patroli pengawasan tersebut sudah melibatkan semua stakeholder terkait, dengan melakukan patroli secara bersama-sama selama 24 jam, untuk memastikan bahwa benar-benar tidak ada money politics yang terjadi.

Baca Juga: Pengamat di Kendari Ungkap Politik Uang Jelang Pemilu Merusak Tatanan Demokrasi

Ia mengatakan bahwa Bawaslu juga bertanggung jawab dalam rangka meningkatkan partisipasi pemilu, terutama memastikan bahwa tidak hanya tinggi secara angka partisipasi, tapi juga memastikan bahwa peserta pemilu itu menggunakan hak pilihnya secara cerdas dan berkualitas. Jadi pendidikan politik itu sudah dilakukan oleh Bawaslu sejak jauh hari.

“Kalau sanksinya terkait money politics, sesuai ketentuan pasal 523 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bahwa tim kampanye jika melakukan tindakan money politics ada ancaman hukuman penjara. Terhadap caleg jika terbukti pidananya maka ada hukuman tambahan jika sudah inkrah dan terbukt, yaitu didiskualifikasi sebagai peserta pemilu,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Sahinuddin juga mengungkapkan bahwa Bawaslu juga menyusun Indeks Kerawanan Pemilu (IKP), yang bertujuan untuk melihat wilayah mana yang masuk dalam pemetaan wilayah berpotensi terjadinya pelanggaran. Daerah marginal seperti daerah pinggiran, pesisir dan pinggiran kota termasuk dalam daerah rawan. Itulah mengapa pihaknya intens melakukan pendidikan politik karena memang di sana yang menjadi sasaran.

“Indeks kerawanan pemilu di Sulawesi Tenggara saat ini masih dalam kategori sedang. Yang utama saat ini Bawaslu intens memberikan pendidikan politik terkait wilayah-wilayah mana saja yang berpotensi terhadap pelanggaran pemilu tersebut, seperti money politics. Sementara untuk pemetaannya sendiri, daerah pinggiran seperti Puuwatu, daerah pesisir seperti Purirano atau Bungkutoko, daerah padat penduduk seperti Mandonga itu yang menjadi sasaran utama kami intens melakukan pengawasan,” ujarnya.

Bawaslu berupaya semaksimal mungkin melakukan pencegahan supaya pelanggaran tersebut tidak terjadi. untuk mewujudkan hal tersebut tentunya dibutuhkan partisipasi dari masyarakat untuk melaporkan segala bentuk pelanggaran yang ditemukan agar segera ditindaklanjuti.

“Kami juga berharap adanya partisipasi masyarakat jika memang melihat pelanggaran atau baru ada potensi pelanggaran, untuk segera melapor ke Bawaslu terdekat agar dapat dilakukan upaya pencegahan. Kami berharap masyarakat juga bisa dengan keberanian tinggi melaporkan kepada pengawas pemilu, termasuk kami mendorong masyarakat agar berani menjadi saksi. Tidak perlu takut, Bawaslu menjamin segala kerahasiaan informasi pelapor, ” ujarnya. (A)

Penulis: Ayu Safitri

Editor: Haerani Hambali

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Artikel Terkait
Baca Juga