Indonesia Masuk Negara Maju, Hipmi: Hati-Hati Jebakan Batman

Sumarlin, telisik indonesia
Selasa, 25 Februari 2020
0 dilihat
Indonesia Masuk Negara Maju, Hipmi: Hati-Hati Jebakan Batman
Ketua BPP Hipmi Mardani H. Maming. Foto: Istimewa

" Misalnya jumlah pengusaha kita masih sedikit dari total populasi. Sedangkan syaratnya minimal 14 persen dari jumlah penduduk. Saat ini, jumlah pengusaha kita masih di bawah 5 persen. "

JAKARTA, TELISIK.ID - Amerika Serikat menaikkan Indonesia menjadi negara maju. Dengan demikian, Indonesia keluar dari daftar negara berkembang. Selain Indonesia, ada China, Brasil, India, dan Afrika Selatan yang 'naik level' jadi negara maju.

Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) Mardani H.Maming mengingatkan agar berhati-hati dengan status tersebut. 

“Mesti berhati-hati. Jangan sampai ini cuma jebakan batman saja,” ujar Maming dalam keterangannya, Selasa (25/2/2020) di Jakarta.

Baca Juga : Antisipasi Bencana di Sultra, Basarnas Gelar Pelatihan Water Rescue

Maming mengatakan, anggapan bahwa Indonesia memang memiliki potensi dan kapasitas ekonomi yang besar sangat tepat. Namun untuk melangkah menjadi negara maju, masih membutuhkan langkah yang panjang dan membutuhkan waktu.

 “Misalnya jumlah pengusaha kita masih sedikit dari total populasi. Sedangkan syaratnya minimal 14 persen dari jumlah penduduk. Saat ini, jumlah pengusaha kita masih di bawah 5 persen,” papar Maming.

Sebab itu, Maming mengingatkan jangan sampai isu negara maju untuk Indonesia hanya menjadi jebakan batman. Sebab, dengan menjadi negara maju, kata Maming, Indonesia harus kehilangan banyak fasilitas sebagai negara berkembang. 

 “Misalnya Indonesia akan kehilangan fasilitas Generalize System of Preference (GSP) atau keringanan bea masuk impor barang ke Amerika Serikat (AS). Dengan menjadi negara maju fasilitas begini bisa hilang,” papar Maming.

Baca Juga : Pemkot Kendari Serahkan Lima Raperda ke DPRD

Maming juga mengingatkan, kemungkinan pencabutan status sebagai negara berkembang ini merupakan bagian dari strategi perang dagang yang sedang dilancarkan oleh negara-negara maju. Sebagaimana diketahui GSP merupakan sebuah sistem tarif preferensial yang membolehkan satu negara secara resmi memberikan pengecualian terhadap aturan umum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). 

“Bisa jadi ini merupakan bagian dari masalah-masalah yang disengketakan ke WTO saat ini. Kita mesti melihat potensi ke sana,” papar Maming.

Sebab itu, Hipmi berharap agar pemerintah melalui Kementerian Perdagangan memperkuat negosiasi-negosiasi, menyusul sikap dari Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) yang mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang itu. 

“Kita kan sedang fight juga agar ekspor kita lebih besar lagi untuk atasi defisit neraca dagang. Jangan sampai keringanan bea masuk impor barang ke AS ini terganggu lagi. Ini kan fasilitas yang diberikan untuk negara-negara kurang berkembang (LDCs) dan negara berkembang,” ujar Maming.

Baca Juga : Sekjen DPP Rasakan Denyut Kebangkitan Hanura di Sultra

Sumarlin

Baca Juga