JaDi Sultra Sorot Pelibatan Kades dan Pelanggaran Prokes di Pilkada 2020

Kardin, telisik indonesia
Senin, 30 November 2020
0 dilihat
JaDi Sultra Sorot Pelibatan Kades dan Pelanggaran Prokes di Pilkada 2020
Ketua Presidium JaDI Sultra, Hidayatullah. Foto: Repro google.com

" Terhadap dua isu sentral ini, maka kami mengingatkan bahwa ada sanksi pidana dan administrasi yang dapat menjerat para pelaku pelanggaran. "

KENDARI, TELISIK.ID - Pilkada serentak di Sultra tinggal sembilan hari lagi, yakni pada 9 Desember 2020. Namun terdapat beberapa catatan dari berbagai pihak.

Di tengah kontroversi Pilkada 2020 ini, antara tunda dan lanjut dengan jaminan kebijakan ketat oleh Pemerintah, aparat keamanan dan penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) baik itu protokol kesehatan (Prokes) COVID-19 maupun pelanggaran yang bersifat administrasi, pidana dan etik.

Setelah Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Sultra melakukan monitoring, diskusi terbatas, laporan maupun informasi dari berbagai sumber baik kalangan penggiat Pilkada maupun praktisi politik lokal itu sendiri, serta berbagai dokumentasi masa kampanye di tujuh Pilkada se-Sultra yang dishare di media sosial seperti Facebook maupun group diskusi WhatshApp, ada dua isu sentral yang menjadi sorotan JaDI Sultra.

Ketua Presidium JaDI Sultra, Hidayatullah menuturkan, dua sorotan itu, yakni adanya upaya-upaya peserta dan tim kampanye untuk mengajak para kepala desa maupun aparaturnya dalam membantu salah satu pasangan calon. Kedua, pelanggaran protokol kesehatan COVID-19 pada masa kampanye.

Terhadap dua isu sentral itu, fakta di lapangan disimpulkan, yakni pertama, terhadap upaya pelibatan kepala desa atau aparatur desa dengan modus tangan tak terlihat (invisible hand) dalam tindakan individu-individu, baik dalam bentuk membantu proses data nama-nama warga setempat yang mendukung dan/atau ikut membantu penyaluran sumber daya Paslon Cakada (uang dan/atau barang).

Kedua, kata dia, pelanggaran protokol kesehatan COVID-19 pada masa kampanye dengan modus Paslon maupun tim kampanye menggelar kampanye terbatas dengan memasang tenda yang tertutup terbatas hanya 50 orang di dalamnya, tetapi massa simpatisan yang berada di luar ruangan dibiarkan ikut seakan-akan kehadiran mereka bukan karena ajakan tetapi spontanitas.

"Terhadap dua isu sentral ini, maka kami mengingatkan bahwa ada sanksi pidana dan administrasi yang dapat menjerat para pelaku pelanggaran," sebut Hidayatullah, Senin (30/11/2020).

Kata dia, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, mengatur larangan kepala desa dan perangkatnya dalam politik praktis dan kampanye.

Itu terdapat dalam pasal 29 huruf (b), membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu, huruf (g) disebutkan bahwa kepala desa dilarang menjadi pengurus partai politik dan pada huruf (j) dilarang untuk ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah.

"Dalam Undang-Undang tersebut, kepala desa memiliki peran sebagai pihak yang netral. Kepala desa dilarang untuk ikut serta dalam politik praktis, tidak bisa menjadi pengurus partai politik atau anggota partai politik dan tidak dapat juga menjadi tim kampanye atau tim sukses peserta Pemilu atau Pilkada," jelas Hidayatullah.

Kata dia, perangkat desa yang terdiri dari sekretariat desa, pelaksana kewilayahan, dan pelaksana teknis juga dilarang untuk terlibat dalam politik praktis.

Baca juga: Mulai Panas, Baliho Balon Bupati Busel Dirusak OTK

Hal itu diatur UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dalam pasal 51 huruf (b) membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu huruf (g) disebutkan bahwa kepala desa dilarang menjadi pengurus partai politik dan pada huruf (j) dilarang untuk ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah.

Sedangkan dalam UU No 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, pada pasal 70 ayat (1) huruf (c) disebutkan, dalam kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan kepala desa atau sebutan lain/lurah dan perangkat desa atau sebutan lain/perangkat kelurahan.

Pasal 71 ayat (1) disebutkan, pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan kepala desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.

"Sanksi terhadap kepala desa dan perangkat desa yang melanggar larangan dalam politik praktis tertuang dalam UU No. 6 Tahun 2014," jelasnya.

Hidayatullah menerangkan, pasal 30 ayat (1) menjelaskan, kepala desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis.

Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.

"Pasal 52 ayat (1) Perangkat Desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis," tuturnya.

Sedangkan dalam UU No. 10 Tahun 2016 jo. UU No. 1 Tahun 2015 pada pasal 71 ayat (5) dalam hal gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan walikota atau wakil walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota.

Pasal 188, setiap pejabat negara, pejabat ASN, dan kepala desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu bulan atau paling lama enam bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 600 ribu atau paling banyak Rp 6 juta.

Sementara pasal 189, calon gubernur, calon bupati, dan calon walikota yang dengan sengaja melibatkan pejabat BUMN, pejabat BUMD, ASN, anggota Polri, anggota TNI, dan Kepala desa atau sebutan lain/Lurah serta perangkat desa atau sebutan lain/perangkat Kelurahan sebagaimana dimaksud Pasal 70 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu bulan atau paling lama enam bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 600 ribu atau paling banyak Rp 6 juta.

Baca juga: Disebut Bisa Menang Bila Curang, Jubir Paslon TERBAIK Nilai Bentuk Provokatif

Dalam pemilihan kepala daerah, kepala desa dan perangkat desa dapat dikenai sanksi pidanan bila terbukti melakukan pelanggaran dengan melakukan keputusan seperti kegiatan-kegiatan serta program di desa dan juga melakukan perbuatan atau tindakan yang mengarah keberpihakan kepada salah satu pasangan calon atau calon kepala daerah yang terindikasi merugikan calon lain misalnya ikut serta dalam kegiatan kampanye.

"Demikian juga calon kepala daerah yang melibatkan kepala desa dan perangkat desa dapat dikenai sanksi pidana sebagai calon kepala daerah," jelasnya.

Untuk diketahui, terdapat beberapa bentuk kampanye pilkada yang dilarang di tengah pandemi COVID-19.

Pelaksanaan Kampanye pilkada 2020 dilaksanakan dengan metode:

1. Pertemuan terbatas.

2. Pertemuan tatap muka dan dialog.

3. Debat publik atau debat terbuka antar-pasangan calon.

4. Penyebaran bahan kampanye kepada umum.

5. Pemasangan alat peraga kampanye.

6. Penayangan iklan kampanye di media massa cetak, media massa elektronik, media sosial, dan/atau media daring; dan/atau

7. Kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang dilaksanakan dalam bentuk kampanye melalui media sosial dan media daring.

Pasal 58 ayat (1) Peraturan KPU 13/2020 mengatur agar partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon, tim kampanye, dan/atau pihak lain mengutamakan metode kampanye pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka dan dialog melalui media sosial dan media daring.

Jika pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka dan dialog tidak dapat dilakukan melalui media sosial dan media daring, pertemuan dilakukan dengan ketentuan:

1. Dilaksanakan dalam ruangan atau gedung.

2. Membatasi jumlah peserta maksimal 50 orang dan memperhitungkan jaga jarak minimal 1 meter antarpeserta kampanye, serta dapat diikuti melalui media sosial dan media daring.

3. Wajib menggunakan alat pelindung diri minimal berupa masker yang menutupi hidung dan mulut hingga dagu.

4. Menyediakan sarana sanitasi yang memadai minimal berupa fasilitas cuci tangan dengan air mengalir dan sabun, dan/atau cairan antiseptik berbasis alkohol (handsanitizer); dan

5. Wajib mematuhi ketentuan mengenai status penanganan COVID-19 pada daerah pemilihan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dan/atau gugus tugas percepatan penanganan COVID-19.

Baca juga: RAPI Akan Menang jika Pilkada Muna Tak Curang

Kegiatan yang dilarang dalam kampanye

Partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon, tim kampanye, dan/atau pihak lain dilarang melaksanakan kegiatan dalam bentuk:

a. rapat umum;

b. kegiatan kebudayaan berupa pentas seni, panen raya, dan/atau konser musik;

c kegiatan olahraga berupa gerak jalan santai, dan/atau sepeda santai;

d. perlombaan;

e. kegiatan sosial berupa bazar dan/atau donor darah; dan/atau

f. peringatan hari ulang tahun partai politik.

Bagi pihak yang melanggar larangan tersebut dikenai sanksi:

a. peringatan tertulis oleh bawaslu provinsi atau bawaslu kabupaten/kota pada saat terjadinya pelanggaran; dan/atau

b. penghentian dan pembubaran kegiatan kampanye di tempat terjadinya pelanggaran oleh bawaslu provinsi atau bawaslu kabupaten/kota jika tidak melaksanakan peringatan tertulis dalam waktu 1 jam sejak diterbitkan peringatan tertulis.

Terhadap dua isu sentral tersebut, Hidayatullah berharap, dapat menjadi perhatian semua pihak dan terkhusus kepada pengawas Pilkada (Bawaslu) untuk serius mengawasi dan ikut memperkuat pranata-pranata sosial agar publik terlibat masif dalam pengawasan terhadap pelanggaran Pilkada.

Penyelengara (KPU dan Bawaslu) agar dapat memberikan jaminan yang terukur bahwa Pilkada 2020 dalam masa pandemi COVID-19 ini berlangsung demokratis dan berkualitas. Tidak dapat dibanggakan bahwa Partispasi pemilih yang tinggi tetapi akibat dari buah mobilisasi dan transaksi bukan atas kesadaran dan kecerdasan politik warga yang memilih," pungkasnya. (B)

Reporter: Kardin

Editor: Fitrah Nugraha

TAG:
Artikel Terkait
Baca Juga