Kisah Manis Terapis Anak Autis

Haidir Muhari, telisik indonesia
Sabtu, 09 Mei 2020
0 dilihat
Kisah Manis Terapis Anak Autis
Leni Bahrin, SE, terapis anak autis di Lembaga Pendidikan Aksara. Foto: Ist.

" Saya merasa sangat bersyukur bisa mengajar di sana. Saya bisa ketemu anak-anak yang berkebutuhan khusus. "

Mengajar bukanlah hal yang mudah. Apalagi kepada anak yang berkebutuhan khusus ditambah lagi di musim pagebluk sedemikian ini.

Leni Bahrin, alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) Institut Agama Islam Negeri  (IAIN) Kendari, tidak pernah bermimpi akan menjadi pengajar. Namun, demikianlah alur hidup, ia mengalir dalam lajurnya sendiri. Sangat kontras, seorang sarjana ekonomi mengajar. Lebih lagi kepada anak autis.

"Saya merasa sangat bersyukur bisa mengajar di sana. Saya bisa ketemu anak-anak yang berkebutuhan khusus," cerita Leni mengungkap bahagianya, senyum tersimpul, aura cerah memancar dari wajahnya ovalnya.

Wanita yang juga kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) itu mengajar dari Senin hingga Sabtu di Lembaga Pendidikan Aksara. Ia mengajar dua jam untuk setiap anak.

Baca juga: Corona Merampas Impian Gadis itu ke Negeri Sakura

Dia sudah terbiasa, malah mulai ketagihan mengajar anak autis. Kerap suntuk untuk menyiapkan materi sesempurna mungkin, ternyata siswanya tidak bisa hadir karena belum tidur atau hal lain. Galib, tangannya berbarut akibat dicakar saat mengajar karena anak didiknya sedang tantrum.

Ia mengampuh terapi wicara pada anak autis. Membimbing anak didiknya untuk bisa berbicara bukanlah hal remeh.

Membimbing anak autis untuk sekadar melafalkan huruf A, I, U, E, atau O butuh waktu lama. Tidak bisa jika hanya ambil ringkas. Tidak bisa hanya menitip buku kepada siswa untuk dicatat, lalu gurunya menyusup atau mengendap, merabot hak siswa untuk mendapatkan ilmu.

Sekadar untuk melafalkan huruf 'a' saja harus ulang-aling. Sudah berkali-kali ia coba dengan berbagai macam ekspresi ala badut, dan ternyata hanya dibalas plonga-plongo oleh anak didiknya. Semua itu terbalas saat anak didiknya bisa mengeja huruf 'a' saja.

Baca juga: Kisah Apriyani Rahayu Jualan Sayur di Konawe Hingga Jadi Pemain Bulutangkis Kelas Dunia

"Masya Allah senang sekali", ungkapnya bersamaan dengan seluruh ekspresi sejuta-juta bahagia. Laksana paceklik mencekik, tanaman bahkan tumbuhan sudah mulai mengering, pasokan pangan sudah tinggal segenggam, lalu bulir-bulir hujan turun membasahi bumi. Juga seperti mualaf yang baru pertama kali melakoni puasa Ramadan, menahan dahaga, menyeka lapar, lalu adzan magrib berkumandang di langit bermega jingga.

Ia akhirnya memetik banyak hikmah di balik keterbatasan anak didiknya. Ada intan berlian emas permata menguntai-untai, kurikulum yang tak pernah lekang, masa belajarnya sepanjang masa (long life) yaitu kesyukuran dan keikhlasan.

Citanya semakin menggebu. Mengajar bukanlah perihal kewajiban material, melainkan keterpanggilan jiwa, keturutan moral dalam membangun kemanusiaan.

Pagebluk COVID-19 telak mengarak manusia menuju alam virtual, memasuki dunia dalam kaca atau the mirror era. Segala-galanya mendadak berbasis daring. Bahkan beberapa hari yang lalu Menteri Nadiem melantik secara daring pejabat lingkup Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

"Susah juga kalau ngajar online anak autis," ungkapnya.

Baca juga: Histeria Mahasiswi Indonesia di Negeri Episentrum Corona

Mengajar anak autis berbasis daring adalah kerumitan bin kepelikan. Secara, tatap muka langsung saja perkembangan anak didiknya menggerumit, lamban.

Kebijakan sekolah mengikuti instruksi pemerintah untuk merumahkan seluruh insan pendidikan. Terapis dan anak didik diliburkan sampai batas waktu pagebluk ini usai.

Anak didik belajar di rumah. Pihak sekolah mengirimkan materi, lalu orang tua yang mengambil peran sebagai terapis. Pihak sekolah memantau via daring dari video yang dikirimkan oleh orang tua anak didik.

Kini, rindu menggebuknya, membuat sesak-sumpek dalam dadanya. Ia tak sabar nian menanti saat-saat pagebluk usai, bak anak gadis yang menanti sang pujaan hati.

Reporter: Idi

Editor: Rani

Baca Juga